RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Rabu, 30 Desember 2009

Sepanjang tahun 2009, prestasi olahraga Indonesia belum menunjukkan kemajuan berarti

LAPORAN AKHIR TAHUN

Bersiap Menghadapi Tahun Kegetiran

Oleh : Mohammad Bakir

Sepanjang tahun 2009, prestasi olahraga Indonesia belum menunjukkan kemajuan berarti dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Beberapa target dapat dicapai, tetapi lebih banyak lagi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan memasuki tahun 2010 ini.

Perbaikan peringkat menjadi ketiga pada SEA Games XXV-2009 Laos—naik dari peringkat keempat di SEA Games 2007 Thailand—misalnya, memang tercapai. Namun, raihan 43 medali emas masih terlalu jauh dibandingkan dengan Thailand (86 medali emas) dan Vietnam (83), yang masing-masing menempati juara umum dan peringkat kedua.

Persoalan yang cukup menonjol menjelang dan selama SEA Games 2009 adalah dualisme pembinaan olahraga nasional. Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Mennegpora) memiliki Program Atlet Andalan (PAL) untuk membina atlet berprestasi, khususnya di nomor individu dan KONI Pusat menggelar pemusatan latihan nasional (pelatnas). Tujuannya sama, membina atlet meningkatkan performanya.

Tidak hanya di Tanah Air, di arena SEA Games Laos pun para atlet seperti terbagi dua. Itu ditandai paling tidak dari jatah jaket yang mereka pakai. Bahkan, tidak jarang masing-masing menonjolkan prestasi atletnya di tengah perolehan medali emas yang tersendat-sendat. Pengelola kedua program itu saling lempar tanggung jawab jika atlet binaan mereka terpuruk.

Wajar jika Mennegpora Andi Mallarangeng menegaskan, ke depan tidak ada lagi dualisme pembinaan olahraga nasional. Andi yang setia menunggui atlet Indonesia tampil di Laos melihat langsung kenyataan itu.

Padahal, kalau mau berbesar hati, program masing-masing memiliki kelemahan. PAL, yang hendak menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan secara paripurna, mengira dapat dengan mudah mengubah mindset atlet dan pengurus olahraga dalam waktu dekat. Memang, atletik misalnya dapat memenuhi target dan pencapaian yang dinginkan. Tetapi, balap sepeda, wushu, atau taekwondo belum menunjukkan hasil optimal.

Sementara itu, pelatnas masih tetap berkutat pada pola lama yang kurang disiplin dan terarah. Akibatnya sama, pencapaian target kurang optimal. Karate, misalnya, hanya tetap bertumpu pada Umar Syarief yang sudah berjuang sejak SEA Games 1995 di Chiangmai, Thailand.

Begitu pula sepak bola, yang selama tahun 2009 belum menunjukkan prestasi berarti di semua tingkatan usia. Penampilan tim nasional U-19 yang berlatih selama dua tahun di Uruguay pada Kejuaraan Asia di Bandung, U-23 di SEA Games, dan tim senior di kualifikasi Piala Asia 2011, tidak terlalu menggembirakan.

Ditekuk Singapura 0-1 dan Jepang 0-7, tim U-19 Indonesia bangkit dengan mengalahkan Taiwan 6-0 dan menahan imbang Australia 0-0. Tetapi, hal itu tak lagi berguna karena pada akhirnya Australia dan Jepang yang lolos ke babak berikutnya.

Di sisi lain, PSSI sibuk menjadi salah satu peserta yang menawarkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Penggarapan PSSI untuk hal ini pun terkesan setengah hati. Memang, urusan prestasi berbeda dengan pelaksanaan Piala Dunia. Tetapi, bukankah tak dapat disangkal bahwa pola kerja yang tak kunjung memunculkan prestasi menjadi cermin kurang bagusnya kinerja PSSI.

Tidak hanya sepak bola, bulu tangkis yang secara tradisional menjadi andalan Indonesia di arena internasional pun mulai terseok-seok. Di arena SEA Games pun, bulu tangkis hanya menyumbangkan empat medali emas, masing-masing dari be- regu putra, ganda putra, tunggal putra, dan ganda campuran.

Di arena super series, ajang kompetisi bagi atlet bulu tangkis terbaik dunia, Indonesia hanya meraih lima gelar. Begitu pula di arena kejuaraan dunia bulu tangkis di India. Indonesia sama sekali tidak kebagian gelar.

Di tengah keterpurukan itu muncul berita mengejutkan. Pasangan terbaik Indonesia, Markis Kido/Hendra Setiawan, mundur dari Pelatnas Cipayung akibat cedera. Sebagian orang meragukan kemunduran mereka hanya karena alasan cedera.

Kalaupun ada prestasi olahraga Indonesia yang menonjol, kita bisa menunjuk pada Chris John, petinju yang sudah 11 kali mempertahankan gelar di kelas bulu yunior versi WBC. Meski tidak fenomenal seperti Manny Pacquiao dari Filipina, yang merebut gelar juara dunia dari tujuh kelas yang berbeda, kehadiran Chris John seperti oase di padang pasir.

Memasuki tahun 2010, Indonesia dihadapkan pada beberapa agenda olahraga, seperti Asian Games, Islamic Solidarity Games, dan Asian Beach Games. Ketiga perhelatan itu bisa menjadi ukuran bagi Indonesia untuk menapak sukses prestasi pada SEA Games 2011.

Target juara umum pada 2011 sebaiknya tidak ditempuh dengan cara merekayasa cabang olahraga yang akan dipertandingkan. Akan lebih terhormat jika Indonesia menjadi juara umum dengan jalan memperbaiki prestasi pada cabang olahraga olimpiade.

Pada ajang SEA Games Laos, Singapura misalnya dapat meraih 14 medali hanya dari satu cabang olahraga, renang. Empat cabang—atletik, renang, menembak, dan senam—menyediakan jumlah medali lebih dari 100 buah. Jadi, perbaikan prestasi di empat cabang ini saja akan berpengaruh besar terhadap perolehan medali setiap negara.

Sayangnya, pembinaan keempat cabang ini di Indonesia belum optimal. Senam sepertinya sudah mati suri karena sepanjang tahun 2009 tidak terdengar satu pun kegiatan dari cabang ini. Atletik, renang, dan menembak memiliki kegiatan rutin yang cukup banyak, tetapi dampaknya belum terasa bagi pencapaian prestasi Indonesia di luar Asia Tenggara.

Tanpa perbaikan prestasi pada empat cabang ini, tahun depan rasanya belum akan terlihat prestasi yang cukup menonjol. Target mempertahankan tradisi emas di Asian Games November 2010 mungkin tak akan tercapai. Jadi, bersiaplah melihat Indonesia terseok-seok di arena olahraga.***

Sumber : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 02:51 WIB

Kini, di bidang Microchip juga telah dipetakan skenario untuk 20 tahun ke depan

LAPORAN IPTEK

Annus Horribilis? O Tempora! O Mores!

Oleh : NINOK LEKSONO

Menyusul terbakarnya istana, juga perpisahan Pangeran Edward dan istrinya, Sarah Ferguson, Ratu Elizabeth II menyebut tahun 1992 sebagai tahun mengerikan, atau annus horribilis. Makna tahun mengerikan waktu itu bertambah lagi saat dua bulan kemudian perpisahan Pangeran Charles dan Putri Diana diumumkan.

Ya, itulah salah satu babakan perjalanan bagi keluarga kerajaan Inggris. Kita bangsa Indonesia tampaknya juga akan mengakhiri tahun ini sambil bertanya, apakah 2009 juga annus horribilis bagi kita?

Kita memang seolah tak habis dirundung malang. Berlangsungnya pemilu legislatif dan pemilu presiden secara damai ternyata tak diikuti oleh ”masa-masa bahagia”. Setelah gugatan pemilu legislatif dan pemilu presiden, muncul serangkaian peristiwa yang begitu menyedot perhatian bangsa, mulai dari cicak vs buaya, Bank Century, hingga yang terakhir buku Membongkar Gurita Cikeas.

Mau tak mau, sebagian besar waktu, tenaga, dan pikiran pemerintah pun tersedot untuk menghadapi isu-isu besar tersebut.

Menyusuri bulan-bulan yang menyedot perhatian itu, yang seperti menyandera aktivitas penting lain, tak jarang disertai dengan tontonan niretika, orang pun teringat pada ucapan Cicero: O tempora! O mores!

Secara harfiah, ungkapan di atas berarti ”O, zaman! O kebiasaan itu! Namun, orang lalu mengartikannya: Sungguh, ini saat yang buruk!

(Sekadar melengkapi catatan sejarah, Cicero menyampaikan ungkapan di atas saat bicara di Senat Romawi. Ia membuka serangan terhadap Catiline, yang ia tuduh sedang berkomplot, dengan satu pertanyaan retorik. Pertanyaan itu berbunyi, ”Berapa lama Anda akan mempermainkan kesabaran kami, Catiline?” Lalu ia pun berseru, ”O tempora! O mores!” Ungkapan itu menjadi satu warisan bagi mereka yang ingin mengeluhkan zaman yang menyesakkan ini.)

Kinerja nyata

Menjelang tutup tahun, media pun menampilkan kilas balik tahun yang akan segera lewat. Di Newsweek (28/12), ada foto jembatan gantung panjang yang dimuat untuk melambangkan keberhasilan China mengatasi krisis dengan mengucurkan stimulus jitu. Senin lalu, China juga diberitakan meluncurkan kereta cepat berkecepatan 350 km/jam untuk menghubungkan kota-kota di wilayah selatan negeri. Ya, China terus melesat maju, bahkan tidak saja di muka bumi, tetapi juga ke ruang angkasa.

Dalam kaitan untuk menerobos kebuntuan mencapai kesepakatan baru untuk memerangi pemanasan global, The Economist (12/12) dalam rubrik ”Technology Quarterly” memuat generasi baru pembangkit listrik tenaga nuklir yang menjanjikan keamanan dan efisiensi baru.

Kemajuan lain juga diperlihatkan di wilayah kesehatan, di mana ada metode penyembuhan baru yang membuat pasien tak selalu harus dibedah. Teknik non-invasif yang melibatkan suara dan cahaya mengurangi kebutuhan untuk membedah.

Para ilmuwan kini juga terus memikirkan apakah kita sendirian di alam semesta ini, atau bahkan di semesta lain (lihat Scientific American, Jan 2010).

Kebutuhan Indonesia

Untuk menanggulangi berbagai tantangan yang ada, lebih-lebih untuk menarik bangsa ke aras kemajuan, Indonesia sesungguhnya membutuhkan banyak kemajuan iptek.

Di Kopenhagen, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca Indonesia hingga 26 persen sampai tahun 2020. Ini juga perlu disertai dengan peta jalan dan inovasi untuk mencapainya.

Dapat dipertanyakan, seberapa intensif kita mengupayakan riset untuk energi terbarukan seperti angin, surya, dan panas bumi? Bagaimana potensi riset yang ada di Tanah Air dapat didayagunakan untuk mendukung tekad Indonesia untuk ikut menanggulangi fenomena pemanasan global? Apa pula langkah yang dapat dilakukan untuk menanggulangi salinasi, juga rob di pesisir utara Pulau Jawa yang tampak semakin akut?

Masih dalam kaitan perubahan iklim, bagaimana pula langkah untuk membantu petani yang mulai kehilangan pegangan harus menanam apa pada musim apa? Cuaca semakin ekstrem dan semakin sulit diramalkan, apakah banyak hujan atau sangat kering, lalu bagaimana kita harus menghadapinya, karena ini juga terkait dengan kemungkinan semakin seringnya bencana datang.

Semua itu merupakan tantangan aktual yang dihadapi Indonesia sekarang ini, sementara di luar itu masih ada amanat konstan sebagai konsekuensi eksistensi negara ini di atas Cincin Api. Ancaman gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, juga terus bersama kita, hingga setiap kali kita akan ditagih mengenai kesiapan kita untuk menghadapi fenomena alam bawaan ini.

Ke masa depan

Di luar itu, seperti disinggung pada awal kolom ini, dalam melangkah ke masa depan, tak pelak lagi peranan teknologi informasi dan komunikasi sangat besar. Namun, teknologi informasi dan komunikasi sebagai fondasi zaman informasi juga mengalami kemajuan pesat.

Sejak dicanangkan tahun 1975, Hukum Moore berimplikasi bahwa peralatan komputer tak akan henti-hentinya terus semakin kecil, semakin cepat, dan semakin murah. Tren ini tentu harus dipahami karena ujung-ujungnya juga akan berimplikasi pada daya saing. Pengalaman di bidang seluler, dan sebelumnya di otomotif, yang membuat Indonesia tak lebih sebagai konsumen murni, apakah juga akan terus berlanjut?

Kini, di bidang microchip juga telah dipetakan skenario untuk 20 tahun ke depan sehingga manakala terlambat untuk mengikuti derap perkembangan ini, industri kreatif yang kita unggulkan sebagai tulang punggung perekonomian kita pada masa mendatang juga kurang bergigi.

Semoga nuansa annus horribilis karena tersandera oleh berbagai kasus pada tahun 2009 tak berkepanjangan memayungi langit Indonesia.***

Sumber : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 02:45 WIB

Tahun 1947 Sangat Penting Bagi India

FAKTOR

Seribu Tahun Menunggu Bangun dari Tidur Panjang

Oleh : TRIAS KUNCAHYONO

Ada dua tahun penting yang dikenang anak-anak India pada masa depan. Pertama tahun 1947 dan kedua tahun 1991.

Tahun 1947 sangat penting bagi India. Pada tahun itulah India merdeka, lepas dari jajahan Inggris, pemerintah kolonial yang menguasai India sejak abad ke-18.

Lalu, apa pentingnya tahun 1991? Pada tahun itu, India memutuskan untuk meliberalisasi ekonominya. Yang lebih penting lagi adalah bukan sekadar liberalisasi ekonomi, melainkan mulai saat itu India terbebas dari sikap budaya yang tecermin dalam rezim ekonomi inward looking-nya.

Apa yang disebut sebagai rezim ekonomi inward looking selalu diasosiasikan dengan Perdana Menteri Pertama India Jawaharlal Nehru dan penasihatnya, Mahalanobis. Namun, ”Nehruvian Vision” hanyalah manifestasi terakhir dari sikap budaya inward looking yang menguasai peradaban India hampir satu milenium.

Tahun 1991 menjadi titik balik India. Pada saat itulah India dipaksa untuk membuka dirinya terhadap dunia luar. Ibarat Restorasi Meiji di Jepang yang ditandai dengan kunjungan armada laut Amerika Serikat yang dipimpin Komodor Matthew Perry pada tahun 1854. Restorasi Meiji ini menandai pembukaan Jepang pada dunia luar.

Restorasi Meiji mendorong terjadinya perubahan besar-besaran dalam struktur politik dan sosial di Jepang. Sementara ”pembukaan” India tidak terbatas pada bidang ekonomi saja, tetapi pada semua aspek kehidupan. Dan, semua proses ”pembukaan” itu dipercepat oleh revolusi komunikasi yang terjadi secara bersamaan—televisi kabel, telepon seluler, dan internet.

Apa yang terjadi pada 1991 tidak mendadak begitu saja. Namun, benih-benih dari perubahan itu sudah mulai ditebar pada awal abad ke-19. Pada saat itulah mulai terjadi reformasi sosial, seperti diperkenalkannya bahasa Inggris. Proses itu berkembang secara bertahap dan sampai menembus pertengahan abad ke-20, saat India terbebas dari penjajahan. Kemerdekaan dan terlepasnya India dari kekuasaan kolonial telah mengakselerasi proses perubahan itu.

Secara ringkas demikianlah, Sanjeev Sanyal mengawali bukunya yang berjudul The Indian Renaissance, India’s Rise After A Thousand Years of Decline. Lewat bukunya ini, Sanjeev ingin menceritakan, India pada suatu masa pernah menjadi negara besar. India menjadi pemain utama dalam perdagangan dunia. Kemudian, India ”mengurung diri” dan kejayaannya pun pudar. Baru satu milenium kemudian, India terbangun dari tidur panjangnya.

Gambaran betapa India pernah menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia juga diungkapkan oleh Angus Maddison (The World Economy: Historical Statistics, OECD, 2003). Sumbangan India pada perekonomian dunia pada abad pertama mencapai 33 persen atau tiga kali lipat Eropa Barat dan lebih besar dibandingkan dengan sumbangan Kekaisaran Romawi yang hanya 21,5 persen. Adapun sumbangan China 26 persen.

India pernah mengalami zaman keemasan—sampai abad ke-11—baik di bidang ekonomi maupun budaya. Sumbangan India kepada dunia pun bisa lewat berbagai temuannya, antara lain yoga, aljabar, konsep nol, catur, bedah plastik, metalurgi, Hinduisme, dan Buddhaisme. Budaya Hindu tidak hanya berkembang di India, tetapi misalnya juga di Kamboja (Kerajaan Angkor) dan Nusantara (Majapahit).

Sejarah mencatat, India dikenal sebagai salah satu asal muasal peradaban manusia. Adalah Peradaban Lembah Indus atau yang juga dikenal dengan Peradaban Harappan yang berkembang antara 3300 dan 2000 SM. Peradaban itu berkembang di wilayah yang sekarang adalah India dan Pakistan bagian utara. Posisi India pada masa lalu sama dengan Amerika Serikat pada zaman kini.

Masa keemasan India mulai surut karena terjadi perubahan sikap budaya mereka, yakni dengan diciptakannya berbagai aturan yang membelenggu semua aspek kehidupan. Semangat inovasi pun mulai merosot dan akhirnya membawa India ke kemunduran.

Kini, India menjadi salah satu dari tiga kekuatan besar di Asia selain China dan Jepang. Semua itu terjadi tidak secara mendadak, tiba-tiba, tanpa usaha, tetapi dengan usaha yang luar biasa dan ketekunan.

Kapan kita akan sampai di sana? Apakah harus juga menunggu 1.000 tahun untuk bisa seperti India, China, dan Jepang? Mestinya tidak, bukan? ***

Sumber : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 03:20 WIB

Bakteri Kebal Desinfektan

KILAS IPTEK

Bakteri Pun Kebal Disinfektan

Sudah lama para ilmuwan tahu bahwa bakteri dapat terbiasa dengan disinfektan. Sejumlah penelitian terus mengarah pada satu kesimpulan, proses pemberian disinfektan dapat membuat bakteri kebal terhadap obat-obat atau antibiotik tertentu. Tim peneliti Universitas Nasional Irlandia, yang fokus pada penelitian bakteri-bakteri rumah sakit, menulis dalam jurnal Microbiology, saat ini merupakan waktunya berpikir ulang mengenai cara menangani berbagai infeksi. Penelitian menemukan bahwa penambahan disinfektan dalam jumlah banyak pada kultur bakteri Pseudomonas aeruginosa di laboratorium justru membuat bakteri tersebut semakin kebal. Tidak hanya kebal terhadap disinfektan, tetapi juga antibiotik jenis ciprofloxacin, bahkan tanpa terpapar sebelumnya.

Para peneliti melaporkan bahwa bakteri tersebut beradaptasi dengan mengeluarkan agen-agen antimikroba dari dalam sel-sel mereka. Cara adaptasi bakteri itu juga melalui mutasi DNA yang memampukan mereka kebal terhadap antibiotik tipe ciprofloxacin. Persoalan itu serius, apalagi bakteri Pseudomonas aeruginosa biasa dijumpai pada pasien dengan jenis penyakit berat. Bahkan, itu dapat menyebabkan berbagai infeksi, khususnya di antara orang-orang sakit dengan sistem kekebalan tubuh lemah, seperti pasien HIV, kanker, diabates, kebakaran parah, dan penyakit kerusakan genetik cystic fibrosis.

Fakta itu menjadi semacam simalakama. Di satu sisi disinfektan merupakan salah satu upaya menyembuhkan atau mencegah paparan penyakit, tetapi di sisi lain menjadi bagian dari persoalan. Bakteri yang kebal, menurut salah seorang penulis laporan Dr Gerard Fleming, bisa menjadi ancaman serius bagi para pasien rumah sakit.

Atas fenomena yang membahayakan itu, saat ini kian banyak lembaga penelitian medis yang berminat mendalami masalah itu. Awal tahun ini Uni Eropa mengeluarkan laporan baru yang menekankan pentingnya pemberian disinfektan secara ”tepat dan berhati-hati” untuk mencegah kekebalan bakteri terhadap antibiotik dan antiseptik tertentu. (BBC/GSA)***

Sumber : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 03:32 WIB

"Buah Yang Selalu Getir " Laporan Akhir Tahun 2009 Bidang Olahraga

Buah yang Selalu Getir

Oleh : MH SAMSUL HADI

Tahun 2009 yang segera berlalu terasa begitu lama bagi insan sepak bola nasional. Terasa lama bukan karena hari lebih panjang, tetapi akibat terlalu seringnya negeri ini menelan kegetiran tiada berkesudahan sepanjang tahun itu. Tumbangnya tim nasional 0-2 dari Laos di SEA Games, awal Desember lalu, jadi kado penutup tahun yang paling getir.

Laos merupakan negara Asia Tenggara ketiga paling bawah dalam peringkat terbaru FIFA (per 9 Desember 2009), yakni peringkat ke-178, setelah Brunei (191) dan Timor Leste (200). Kekalahan itu memberikan tamparan keras dan kekecewaan mendalam bagi pencinta sepak bola nasional.

Tahun 2008, ketika timnas senior terjegal di semifinal Piala AFF, sudah muncul sinyal peringatan bahwa Indonesia sudah menjadi kekuatan kelas dua di peta sepak bola ASEAN. Satu level di bawah Thailand, Singapura, dan Vietnam; sejajar dengan Myanmar dan Malaysia.

Kini, setelah takluk dari Laos plus kekalahan serupa 1-3 dari Myanmar di SEA Games lalu, sepak bola negeri ini kian turun kelas. Jika ini dibiarkan, jangan kaget jika suatu saat level tim ”Merah Putih” sejajar dengan Laos, Kamboja, Timor Leste, dan Brunei.

Myanmar sudah menaklukkan kita, Malaysia yang merebut emas sepak bola SEA Games mulai meninggalkan kita. Ini sungguh membuat pencinta sepak bola di Tanah Air gundah gulana. Boaz Solossa, Tony Sucipto, dan lain-lain diharapkan jadi tumpuan tiga-empat tahun ke depan.

Namun, potensi yang mereka miliki, seperti yang telah mereka perlihatkan di klub, gagal dikelola menjadi timnas yang tangguh. Nasib tim U-23 itu mirip dengan senior mereka yang tertatih-tatih mengikuti kerasnya persaingan di kualifikasi Piala Asia 2011.

Dipoles Pelatih Benny Dollo, timnas senior sejauh ini maksimal hanya bisa seri menghadapi Australia, Kuwait, dan Oman. Bambang Pamungkas dan kawan-kawan masih punya dua laga tersisa, menjamu Oman pada Rabu pekan depan dan tandang ke Australia, 3 Maret.

Namun, bukan rahasia bahwa tipis peluang mereka bisa lolos ke putaran final Piala Asia, yang tidak pernah absen diikuti Indonesia dalam empat turnamen terakhir sejak 1996. Ini jelas kemunduran, terlebih di Piala Asia 2004 dan 2007 pencapaian ”Merah Putih” naik ke urutan ketiga babak grup dan tidak lagi penggembira atau juru kunci seperti di Piala Asia 1996 dan 2000.

Pada strata lebih yunior, Indonesia juga terbata-bata. Timnas U-19, yang disiapkan dua tahun di Uruguay, gagal lolos ke putaran final Piala Asia U-19. Hanya timnas U-16 yang memberi senyuman. Mereka lolos ke Piala Asia U-16 2010.

Ironisnya, mereka bukan tim yang disiapkan PSSI dan dilatih di Uruguay. Pemain timnas U-16 dibentuk Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. Mereka cukup digenjot latihan di Bangkalan, Madura.

Problem kompetisi

Hasil itu buah yang harus dipetik akibat diabaikannya kompetisi usia muda oleh PSSI. PSSI lebih memilih jalan pintas, mengirim tim berlatih ke luar negeri meski sudah berkali-kali gagal. Merosotnya pencapaian timnas belum memperlihatkan kesinambungan antara kompetisi dan pengelolaan timnas.

Di satu sisi, kompetisi di level senior tetap berjalan, dengan segala karut-marut persoalan yang membelitnya, tetapi di sisi lain seperti tidak memberikan input apa-apa bagi timnas. Tidak jarang keduanya bergesekan, seperti pada awal tahun saat program timnas sampai menunda dimulainya putaran kedua Liga Super.

Liga yang pada 2009 memasuki tahun kedua dengan baju ”super” ternyata juga baru sebatas ingar-bingar di permukaan. Liga ini diklaim profesional, tetapi sebagian klub anggotanya masih menetek pada dana APBD. Ada klub musafir, berpindah dari satu kota ke kota lain; ada klub yang pengurusnya saling bertikai hingga tak mampu menggelar laga; ada pula klub yang tak mampu membayar hotel tempat pelatih menginap hingga ia diusir petugas hotel.

Bahkan, dalam beberapa segi, musim ini telah terjadi kemerosotan dibandingkan dengan musim lalu. PT Liga Indonesia, yang dulunya Badan Liga Indonesia, plin-plan dan bermuka ganda menerapkan standar kompetisi. Demi menyelamatkan kompetisi, itulah alibi mereka.

Ini contoh kecilnya. Persitara Jakarta Utara dilarang menjamu lawan-lawan mereka di Stadion Lebak Bulus, tetapi ”silakan” untuk Persija Jakarta. Persitara sendiri diperbolehkan menggunakan stadion standar mahasiswa, Stadion Soemantri Brojonegoro.

Sepanjang 2009 juga diwarnai jadwal kompetisi yang terus berubah. Ini terkait sempat dihentikannya izin menggelar pertandingan oleh aparat kepolisian di beberapa daerah karena pemilu. Polisi tentu bukan tidak punya alasan mengambil langkah itu.

Kompetisi sepak bola negeri ini sering diwarnai kerusuhan, di dalam maupun di luar lapangan, sudah seperti penyakit kronis. Di dalam lapangan, sedemikian parahnya kericuhan itu, polisi di Solo sempat menangkap pemain saat laga masih berjalan.

Peristiwa yang mungkin baru pertama di dunia sepak bola ini simbol betapa impotennya PSSI mengatasi masalah kericuhan itu. Di tengah kompetisi yang karut-marut, Persipura Jayapura juara Liga Super dan mewakili Indonesia di Liga Champions Asia 2010.

Masih dari dalam lapangan, final Copa Indonesia antara Sriwijaya FC dan Persipura juga ricuh. Persipura mogok dan Sriwijaya juara Copa. Tak lama setelah kejadian itu, pihak Dji Sam Soe selaku sponsor memutuskan tidak memperpanjang kontrak dengan PSSI.

Dalam percaturan antarklub di level Asia, mirip yang terjadi dengan timnas, klub negeri ini tidak mampu bersaing. Lihatlah, Sriwijaya dijadikan lumbung gol di Liga Champions Asia 2009, antara lain dilibas Shandong Luneng dan Gamba Osaka 0-5, disikat FC Seoul 1-5.

PSMS Medan, yang tampil di Piala AFC, agak lumayan. Mereka lolos dari babak penyisihan grup sebelum kandas di babak 16 besar, disingkirkan Chonburi FC, (Thailand), 0-4.

Kegetiran 2009 semakin komplet ketika, Juli lalu, Manchester United, juara Liga Inggris, batal beruji coba dengan timnas di Jakarta karena teror bom.

Piala Dunia

Di tahun yang penuh dengan kegetiran itu, apa yang dilakukan PSSI? Empat bulan pertama pada 2009, energi organisasi itu terkuras untuk menyelesaikan konflik ketua umumnya, Nurdin Halid, dengan FIFA.

Sejak Oktober 2007, kepemimpinan Nurdin dibekukan FIFA yang menemukan pelanggaran statuta saat Nurdin terpilih kedua kali sebagai Ketua Umum PSSI. Persoalan itu baru selesai, April 2009, ketika FIFA mengirim surat pengakuan kepada Nurdin atas rekomendasi Presiden Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) Mohamed bin Hammam.

Ini balas budi Bin Hammam atas dukungan PSSI kepadanya dalam perebutan kursi anggota Komite Eksekutif FIFA. Bukan itu saja, saat bermasalah dengan FIFA, Nurdin melalui koleganya di PSSI melontarkan sensasi dengan mencalonkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022.

Belakangan, PSSI menarik diri dari Piala Dunia 2018 dan bersaing untuk 2022. Menko Kesra Aburizal Bakrie sudah memberikan persetujuan terhadap langkah PSSI. Namun, langkah itu dinilai banyak kalangan sebagai diplomasi PSSI dengan FIFA, terutama agar persoalan Ketua Umum PSSI saat itu bisa diselesaikan.

Karena itu, wajar jika sampai hari ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum memberikan dukungan. Seperti berkali-kali ditegaskan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, PSSI sebaiknya berkonsentrasi pada peningkatan prestasi, bukan mengejar sensasi ingin menggelar Piala Dunia.

Bagaimana 2010?

Tidak ada jalan lain, harus ada pembenahan pada 2010 yang segera tiba. Untuk timnas, PSSI harus menyiapkan tim sematang mungkin. Kualifikasi Piala Dunia 2014, seperti diumumkan AFC, dimulai 8 Oktober mendatang, di samping juga Piala AFF.

Kompetisi juga harus diperbaiki. Dua pilar (timnas dan kompetisi) itulah yang seharusnya digarap serius PSSI, bukan fokus pada hal-hal sensasional, seperti tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 yang akan diumumkan Desember mendatang. Ini agar setidaknya ada secuil buah yang manis pada tahun 2010.***

Sumber : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 04:40 WIB



Kamis, 24 Desember 2009

Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahas

Majas

M a j a s

Dari Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis [1].

Daftar isi

1. Majas perbandingan

  1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
  2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
  3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
  4. Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
  5. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
  6. Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
  7. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
  8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
  9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
  10. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
  11. Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
  12. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
  13. Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
  14. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
  15. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
  16. Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
  17. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
  18. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
  19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
  20. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
  21. Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
  22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
  23. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.

2. Majas Sindiran

  1. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
  2. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
  3. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
  4. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
  5. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

3. Majas Penegasan

  1. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
  2. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
  3. Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
  4. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
  5. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
  6. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
  7. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
  8. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
  9. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
  10. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
  11. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
  12. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
  13. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
  14. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
  15. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
  16. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
  17. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
  18. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
  19. Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
  20. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
  21. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
  22. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
  23. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
  24. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
  25. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

4.Majas Pertentangan

  1. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
  2. Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
  3. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
  4. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
  5. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.***

Rujukan :

  • Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Tera, Yogyakarta.

Catatan kaki :

  1. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. 2002.

Terjadi Peningkatan Kejadian Bintik Matahari pada tahun 2013

Puncak Aktivitas Matahari Tahun 2013
JAKARTA - Hasil pengamatan Matahari sejak tahun 2000 menunjukkan jumlah bintik Matahari cenderung menurun hingga mencapai tingkat terendah tahun 2009. Namun, tahun depan diperkirakan mulai terjadi peningkatan kejadian bintik Matahari hingga mencapai puncaknya pada tahun 2013.

Hal ini dipresentasikan Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Clara Yono Yatini, dalam forum komunikasi kehumasan instansi pemerintah bertema ”Fenomena 2012”, di Jakarta, Selasa (15/12).

Sri Kaloka Prabotosari, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan, menambahkan, saat ini Matahari sedang berada pada awal siklus ke-24. ”Menurut perhitungan, puncak siklus terjadi pada sekitar tahun 2012-2013. Saat itu terjadi flare yang sangat besar,” ujarnya.

Munculnya prediksi Lapan, yang dikuatkan dengan data dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), menggugurkan prakiraan tahun lalu yang menyebutkan bahwa puncak bintik Matahari terjadi tahun 2012.

Meski demikian, lanjut Clara, aktivitas Matahari yang mengancam magnet dan lingkungan ionosfer dan atmosfer Bumi bukan hanya berupa bintik Matahari, melainkan ada fenomena lain, seperti flare, lontaran massa korona (corona mass ejection/CME), badai Matahari, dan partikel energetik.

Gangguan komunikasi

Hasil pengamatan sejak tahun 2000, ketika bintik Matahari mengalami penurunan, gangguan cuaca antariksa justru terjadi karena munculnya fenomena tersebut, yaitu pada tahun 2000, 2003, dan tahun 2005.

Gangguan pada tahun-tahun tersebut antara lain mengakibatkan gangguan komunikasi satelit dan blackout atau padamnya jaringan listrik di beberapa negara. ”Oleh karena itu, pemantauan dan antisipasi menjelang puncak aktivitas Matahari harus terus dilakukan,” katanya.

Bintik hitam Matahari mencapai jumlah tertinggi pada tahun 2013 hingga 90 buah. Namun, prediksi sumber lain menyebutkan 170 buah, sama dengan kejadian tahun 2000.

Di daerah bintik hitam itu terjadi puntiran garis medan magnet Matahari. Ini berpotensi menimbulkan flare atau ledakan di permukaan Matahari akibat terbukanya kumparan medan magnet. Selain melepaskan partikel berenergi tinggi, flare juga memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik dan menimbulkan badai Matahari. (YUN)***
Sumber : Kompas, Rabu, 16 Desember 2009 | 05:27 WIB

Foto Kondisi Masyarakat di Yahukimo, Papua


Foto Kehidupan Yahukimo

Foto-foto kondisi masyarakat di Kabupaten Yahukimo, Papua, karya peneliti Viktor Mambur dipasang saat diskusi publik "Laporan Investigasi & Etnophotography Bencana Kelaparan dan Kehidupan di Yakuhimo" di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (15/12). (Foto : Yuniadhi Agung)***

Sumber : Kompas, Rabu, 16 Desember 2009

Koloni Bunga Bangkai Ditemukan

FLORA LANGKA

Koloni Bunga Bangkai Ditemukan

REMBANG - Kesatuan Pemangku Hutan Mantingan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah menemukan kawasan koloni bunga bangkai Amorphophallus Sp. Di kawasan seluas 1 hektar itu terdapat 22 bungai bangkai dengan diameter umbi rata-rata sepanjang 20 sentimeter.

Administrator Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Mantingan Abdul Hasan, Selasa (15/12) di Rembang, Jawa Tengah, mengatakan, kawasan itu terletak di Desa Sukorejo, Kecamatan Sumber. Tepatnya di Petak 6 Resor Pemangku Hutan (RPH) Lohgede, Badan Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Sudo.

Petugas Perhutani menemukan koloni bunga bangkai itu ketika meninjau Petak 6. Petak tersebut merupakan lokasi percontohan pohon jati trubus atau pohon jati yang tumbuh dari tonggak jati tebangan lama.

”Di lokasi terdapat satu bunga yang sedang mekar, satu bunga yang menguncup, dan 10 umbi bunga bangkai. Sisanya merupakan umbi yang sudah diangkat pada saat pembersihan Petak 6,” kata Hasan.

Menurut Hasan, Perhutani akan menetapkan lokasi temuan sebagai kawasan konservasi bernilai tinggi. Perhutani juga akan memantau lokasi-lokasi lain yang dahulu pernah menjadi tempat tumbuh bunga bangkai, seperti di kawasan BKPH Demakan, Desa Trembes, Kecamatan Gunem.

Guna melindungi kawasan dan memantau perkembangan bunga bangkai, terutama di Petak 6 RPH Lohgede, Perhutani akan menempatkan dua mandor penjaga untuk mencegah pencurian.

Asisten Perhutani BKPH Sudo Lukman Jayadi mengatakan, pihaknya akan menjaga kawasan itu lantaran tidak tertutup kemungkinan muncul beberapa bunga bangkai lagi. Adapun bunga bangkai yang telanjur tercerabut akan ditanam di Hutan Kota Landoh. Di hutan kota itu saat ini terdapat 52 jenis tanaman langka khas Rembang. (HEN)***

Source : Kompas, Rabu, 16 Desember 2009 | 05:26 WIB

Kamis, 17 Desember 2009

Hongkong Bangun Jembatan Terpanjang di Dunia

Para pekerja ambil bagian dalam upacara peresmian awal pembangunan jembatan terpanjang yang menghubungkan Provinsi Guangdong (China), Hongkong, dan Makau, Selasa (15/12). (Foto : AFP)***

INFRASTRUKTUR

Jembatan Laut Terpanjang Dibangun

HONGKONG, Selasa - Pembangunan jembatan laut terpanjang di dunia, yakni sepanjang 50 kilometer, menghubungkan Hongkong, China, dan Makau, dimulai pada Selasa (15/12). Jembatan diperkirakan dirampungkan pada tahun 2015/2016 dan menghabiskan biaya sekitar 10,7 miliar dollar AS.

Jembatan itu dibangun untuk meningkatkan integrasi dan pertumbuhan Delta Sungai Mutiara (PRD). Kawasan PRD dijuluki sebagai lokomotif ekonomi China. Pembangunan jembatan diharapkan menghidupkan lagi aktivitas di kawasan PRD yang lesu akibat krisis ekonomi global itu.

Pusat manufaktur PRD ini juga menguasai hampir sepertiga dari total ekspor China. Sekalipun demikian, setelah dilanda krisis keuangan dan ekonomi global, banyak perusahaan di lingkungan PRD tertekan dan bahkan ada pula yang gulung tikar.

Belakangan ini muncul desakan untuk meningkatkan lagi kapasitas PRD sebagai pusat perdagangan, jasa, dan ekspor. Jembatan diharapkan membawa keuntungan ekonomi substansial bagi wilayah Guangdong dan kawasan lain masing-masing di China, Hongkong, dan Makau.

Chief Executive Hongkong Donald Tsang pada saat peluncuran proyek menjelaskan, pembangunan jembatan akan rampung pada 2015/2016. Panjang jembatan 50 kilometer, sekitar 23 kilometer di antaranya melintasi laut. Diharapkan, jembatan ini membawa keuntungan ekonomi yang mampu menghela kawasan tertinggal di Guangdong barat.

Biaya yang dianggarkan untuk konstruksi jembatan ialah 73 miliar yuan China, atau 10,7 miliar dollar AS. Hongkong berharap jembatan itu kelak berperan membawa manfaat ekonomi sekitar 45 miliar dollar Hongkong atau 5,8 miliar dollar AS dalam kurun waktu 20 tahun pertama.

Dalam cetak biru untuk wilayah itu yang dirilis Januari lalu, badan perencana ekonomi ternama Beijing mengatakan, PRD bisa menjadi pusat ekonomi terdepan dunia pada tahun 2010. Namun, sebuah studi mengkritik kajian itu karena tidak mempertimbangkan rendahnya tingkat daya saing dan inovasi.

Dipadu transportasi yang cepat dan nyaman, jasa keuangan Hongkong, pariwisata, perdagangan, dan logistik dapat membuat PRD dan daerah sekitarnya lebih baik lagi,” ujar Donald Tsang.

Kalangan pencinta lingkungan, seperti WWF, menentang proyek itu. Konstruksi jembatan dapat merusak ekosistem laut. (REUTERS/XINHUA/CAL)***

Source : Kompas, Rabu, 16 Desember 2009 | 04:16 WIB