RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Rabu, 24 Februari 2010

Obat Bermerek Kuasai Pasar. Perlu Kontrol Harga yang Kuat

Obat Bermerek Kuasai Pasar

Perlu Kontrol Harga yang Kuat

JAKARTA - Pelepasan harga obat pada mekanisme pasar mengakibatkan pasar dikuasai obat bermerek atau bernama dagang ketimbang obat generik. Padahal, obat bermerek dengan kandungan yang sama dengan obat generik harganya bisa jauh lebih mahal daripada obat generik.

Berdasarkan pemantauan, Senin (22/2), sejumlah dokter di beberapa puskesmas dan rumah sakit pemerintah masih tetap meresepkan obat bermerek untuk pasien. Kewajiban untuk meresepkan obat generik sesuai kondisi medis pasien belum sepenuhnya dipatuhi.

Akibatnya, pasien dirugikan karena harus membayar obat dengan harga jauh lebih mahal.

”Pemerintah harus berperan besar dan tegas dalam mengatur harga obat sehingga masyarakat tidak dirugikan,” kata Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia sekaligus anggota Tim Rasionalisasi Harga Obat Generik Nasional di Kementerian Kesehatan Marius Widjajarta.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2005 pasar obat nasional yang mencapai Rp 21,07 triliun, pasar obat generik sangat minim hanya Rp 2,52 triliun. Adapun pada tahun 2009 pasar obat naik mencapai Rp 30,56 triliun. Meski demikian, pasar obat generik justru turun menjadi hanya Rp 2,37 triliun.

Farmakolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Iwan Dwiprahasto, mengatakan, obat generik sulit menjadi populer karena tidak didukung struktur yang memadai. ”Regulasi yang ada belum benar-benar kuat mengontrol dan mengawasi semua dokter untuk meresepkan obat generik,” kata Iwan.

Dianggap tidak ampuh

Sementara di masyarakat, obat generik masih dipandang sebagai obat untuk orang miskin, obat puskesmas, obat curah, dan dianggap tidak ampuh. ”Selain itu, obat generik juga tidak pernah diiklankan dan dokter lebih banyak mengetahui tentang obat bermerek karena kerap didatangi petugas penjual obat. Jaminan ketersediaan obat generik juga masih jadi masalah,” ujarnya.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Ch Sunarjo mengatakan, perusahaan farmasi tentu mendukung program obat generik yang dicanangkan pemerintah. Hanya saja, murahnya harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah dan masih kecilnya pasar membuat obat generik tidak terlalu menarik.

”Perhitungan harga itu tidak sederhana dan begitu banyak faktornya,” ujarnya. Tidak hanya kalkulasi biaya produksi, promosi, dan distribusi, melainkan faktor psikologis harga. ”Sebagian masyarakat meyakini harga tidak menipu. Begitu harga obat bermerek terlalu murah malah dikira tidak ampuh atau tidak berkualitas,” ujarnya.

Sekretaris Korporat PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius menjelaskan, pasar obat generik selama ini lebih banyak didorong pemerintah. ”Kelihatannya belum otomatis bergerak dalam saluran distribusi obat generik baik rumah sakit, apotek, dan dokter. Kalau hanya pemerintah yang mendorong, itu sulit dilakukan,” katanya.

Sebagai pelaku usaha, pihaknya selalu melihat peluang pasar. Dari total volume penjualan obat, porsi untuk obat generik hanya 9-10 persen karena selama ini umumnya hanya bisa dipasarkan di sektor pemerintah, misalnya di rumah sakit umum daerah. Adapun penyedia layanan swasta bebas memilih antara peresepan obat generik ataupun jenis obat lain.

Rasionalisasi harga

Saat ini, setidaknya ada 8-12 produsen obat generik dan tiga di antaranya badan usaha milik negara (BUMN). Di sisi lain, setidaknya ada 204 perusahaan farmasi yang terdiri dari 31 perusahaan asing, empat BUMN, dan sisanya perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau swasta nasional di Indonesia.

Untuk mendorong minat produsen, pada 27 Januari 2010 pemerintah melakukan rasionalisasi harga obat. Dari 453 jenis obat generik, sebanyak 106 jenis obat harganya turun, 33 jenis obat harganya naik, dan 314 jenis obat harganya tetap.

Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun di Serang mengatakan bahwa industri farmasi perlu mengoptimalkan produksi obat generik. ”Namun, ujung tombak pemanfaatan obat itu tetap di tangan dokter,” ujarnya.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan sulit hanya mengandalkan niat baik dokter untuk meresepkan obat generik. Diperlukan sebuah sistem yang dapat mengontrol dan menggiring peresepan obat ke arah generik. (INE/EVY/OSA/THY)***

Source : Kompas, Selasa, 23 Februari 2010 | 03:04 WIB

IPTEK : Biokilang Limbah Nol

Biokilang Limbah Nol

Oleh Yuni Ikawati

Konsep produksi bersih dan tanpa limbah kini menjadi tumpuan pengembangan teknologi di dunia. Untuk itu, kini tengah dikembangkan teknologi biokilang, yang mengolah berbagai limbah biomassa. Di bidang ini Indonesia yang memiliki sumber biomassa terbesar memiliki prospek yang cerah.

Negeri ini memang memiliki beragam sumber energi terbarukan yang melimpah dan pemanfaatan yang menjanjikan pada masa depan. Potensi pengembangan biomassanya pun paling besar. Hal ini ditunjang kondisi geologi dan iklim yang menguntungkan.

Iklim tropis basah dengan curah hujan tinggi memungkinkan produksi biomassa jauh lebih besar dibanding kawasan lain di subtropis. Produktivitas biomassa Indonesia masuk tertinggi di dunia, bersaing dengan potensi di Brasil dan Afrika barat daya.

Dengan energi matahari yang melimpah menyebabkan proses fotosintesis dua kali lipat banyaknya dan pertumbuhannya pun cepat. Kondisi ini berujung pada produksi biomassa yang produktif pula.

Sebagai sumber daya alam, biomassa bukan hanya memiliki prospek yang baik sebagai bioenergi yang ramah lingkungan, melainkan dapat menggantikan bahan yang berbasis petrokimia.

Hal inilah yang sekarang tengah dikejar oleh pakar bioteknologi dengan mengembangkan teknik proses atau teknologi biokilang untuk mengolah biomassa dengan cara yang bersih dan tanpa limbah.

Selama ini biomassa berupa rumput-rumputan hingga tumbuhan kayu telah digunakan untuk berbagai keperluan, baik pakan, sandang, maupun papan. Namun, pengolahan dengan teknologi yang relatif konvensional masih menyisakan limbah.

Karena itu, biokilang terus dikembangkan untuk mengolah limbah hingga tak bersisa dan menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai ekonomis.

Biokilang terintegrasi

Teknologi biokilang digunakan untuk mengolah limbah biomassa kemudian diintegrasikan dengan teknik proses yang telah ada sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan, limbah pabrik kelapa sawit berupa tandan kosong dapat diolah menjadi bioenergi. Limbah minyak sawit mentah (CPO) juga diproses menjadi biodiesel. Bahan lignin yang masih tersisa diolah lagi jadi adesif atau perekat dan serat.

Sementara itu, Bambang Prasetya, Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan peneliti lignoselulosa Samsuri meneliti pemanfaatan bagas atau limbah pabrik gula.

Dari bagas dapat dihasilkan bioetanol dan bahan biokimia. Untuk mengolah limbah ini dipakai cara biologis dengan menggunakan enzim yang berfungsi menguraikan selulosa. ”Proses ini tengah didaftarkan untuk memperoleh paten,” kata Samsuri, yang meraih doktor dari Jurusan Kimia FMIPA-UI.

Dengan potensi biomassa dan peneliti selulosa yang dimiliki, kata Bambang Prasetya, yang juga Ketua Konsorsium Bioteknologi Indonesia, kegiatan riset diarahkan bukan hanya menjadi bahan bakar, melainkan juga pengganti petrokimia.

”Dalam lima tahun mendatang riset ditargetkan masuk ke tahap komersial dengan mengintegrasikan industri gula dan kelapa sawit,” ujarnya.

Indonesia lebih memilih teknologi bioproses etanol generasi kedua dengan memanfaatkan bahan limbah selulosa, yang potensinya sangat tinggi. Upaya ini telah dirintis LIPI bekerja sama dengan Jurusan Kimia Universitas Indonesia.

Pembangunan pabrik skala laboratorium untuk proses pembuatan bioetanol dan biokimia dari limbah selulosa tahun ini akan dimulai di Puspiptek Serpong. Unit produksi ini akan menghasilkan 200 kilogram bioadesif per batch.

Pembuatan bahan bioadesif kini telah dipatenkan atas nama Bambang Prasetya. Bioadesif ini digunakan untuk memperkuat panel bangunan rumah suku Aborigin di Australia sehingga tahan terhadap terjangan topan.

Menurut Bambang, bahan bangunan dengan bioadesif itu memungkinkan untuk dikembangkan di Indonesia dengan bahan baku lokal, tetapi kualitas produknya sama. Teknologi biokilang yang dikembangkan diarahkan pada alternatif yang paling aman, produktif, tetapi murah.

Potensi Indonesia untuk bahan baku telah menarik minat negara Asia lainnya untuk menjalin kerja sama riset dengan menetapkan Indonesia sebagai pusat teknologi biokilang di kawasan Asia Tenggara, serta membentuk jejaring dengan Korea dan Jepang pada pekan lalu. ***

Source : Kompas, Selasa, 23 Februari 2010 | 03:32 WIB

Senin, 22 Februari 2010

SANNY DJOHAN : Belajar Sains Jadi Mengasyikkan

SANNY DJOHAN. (Kompas/Lucky Pransiska)***

SANNY DJOHAN

Belajar Sains Jadi Mengasyikkan

Oleh Ester Lince Napitupulu

Bagi sebagian anak, belajar sains tidak lagi menakutkan. Justru sains menjadi sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Ini tidak terlepas dari langkah Sanny Djohan. Dia menerbitkan majalah sains untuk anak-anak Kuark yang terbit setiap bulan serta menyelenggarakan Olimpiade Sains Kuark secara periodik. Gagasan menerbitkan majalah sains bermula dari keprihatinan Sanny. Dia melihat, sains bagi sebagian anak kurang menarik, membuat pusing, dan sangat menakutkan. Guru-guru di sekolah juga mengajar sains secara textbook, tidak kreatif. Akibatnya, pendidikan sains tidak berkembang.

Padahal, negara ini butuh banyak ilmuwan untuk bisa memanfaatkan kekayaan alam sebagai sumber ilmu dan penghidupan bagi kemajuan bangsa pada masa depan.

Berangkat dari keprihatinan ini, Sanny Djohan (49), yang puas mengenyam pendidikan di Singapura dan Amerika Serikat, akhirnya memilih untuk menghadirkan majalah sains bagi anak-anak yang disajikan secara populer, menarik dan interaktif dalam bentuk komik. Majalah ini yang diberinya nama Kuark terbit pertama kali pada 2003.

Majalah sains bulanan ini terbagi tiga level, yakni untuk kelas I-II, kelas III-IV, dan kelas V-VI. Dalam majalah sains itu tersedia banyak percobaan sains yang dikemas dalam permainan sehingga anak-anak usia SD tanpa sadar akan paham konsep-konsep sains.

Selain itu, Sanny juga secara periodik menggelar Olimpiade Sains Kuark (OSK) yang memasuki tahun ketiga pada 2010 ini.

Mengapa memilih membenahi pendidikan sains di tingkat SD?

Pilihan untuk menghadirkan sains yang menyenangkan di tingkat SD itu lahir dari pertemuan dengan Pak Yohanes Surya, fisikawan Indonesia yang konsisten menyiapkan anak-anak Indonesia agar andal di bidang sains serta bisa berkompetisi di olimpiade sains internasional. Pembenahan pembelajaran sains di tingkat SD tidak sekadar untuk menciptakan ilmuwan atau profesor sains yang andal pada masa depan. Lewat sains, generasi masa depan bangsa pun bisa terbiasa dengan kreativitas, berpikir, memecahkan masalah, serta melahirkan gagasan-gagasan baru untuk membawa bangsa ini pada kemajuan.

Apa yang ingin dicapai dari penyelenggaraan OSK yang akan memasuki penyelenggaraan ketiga itu?

Ekspektasi saya tinggi sekali, ingin supaya banyak anak yang merasakan manfaat kehadiran Kuark. Sekarang yang ikut sudah mewakili seluruh Indonesia. Mereka bisa terbantu saat belajar sains. Ini hanya satu alat yang juga bisa dipakai guru untuk menambah referensi mengembangkan pembelajaran sains yang menyenangkan. Penyelenggaraan OSK juga maunya bisa menjangkau sebanyak mungkin anak SD. Sekarang memang masih kecil, tahun ini targetnya 100.000 anak, masih kecil dibanding 25 juta siswa SD sekarang ini.

Lewat OSK, siapa pun bisa ikut. Tidak hanya untuk anak yang pintar. OSK ini maunya jadi fasilitas buat anak-anak untuk bisa mengasah dan menguji diri dalam kemampuan sains.

Hasil apa yang bisa diperoleh setelah beberapa kali menyelenggarakan OSK?

Anak yang berprestasi ternyata bukan hanya di perkotaan. Di pedalaman Papua ternyata banyak anak-anak yang sangat cepat menguasai sains setelah dilatih. Itu yang sangat menggembirakan. Persoalannya, apakah mereka diberikan kesempatan atau tidak?

Apa yang Anda lihat dalam pembelajaran sains di sekolah?

Sains masih diajarkan sebagai hafalan, sesuai buku paket, dan butuh alat peraga. Guru juga belum mengajarkan sains kepada anak dengan menarik dan lebih integratif.

Ketika guru juga terbatas kemampuannya dalam mengajar sains, apa yang dilakukan Kuark?

Kami juga melakukan pelatihan guru sejak pelaksanaan OSK pertama. Guru butuh pelatihan yang baik. Para guru umumnya butuh kemampuan dasar, misalnya bagaimana bisa berkreativitas, dan sains itu ada di lingkungan sekitar kita. Jadi, untuk pembelajaran sains yang baik bukan butuh alat peraga Rp 2 juta atau pakai teropong.

Bagaimana Anda melihat pendidikan yang berlangsung di sekolah saat ini?

Anak-anak tidak ditantang untuk berpikir. Mereka datang ke sekolah untuk belajar dan menerima. Misalnya, jika satu tambah satu sama dengan dua. Kenapa bisa dua? Enggak tahu. Mereka tidak dibiasakan untuk berpikir dengan bebas. Akibatnya, anak-anak yang di universitas juga enggak tahu apa yang mau dikerjakan. Pendidikan kita juga enggak membuat anak-anak punya fighting spirit dalam segala hal, juga bagaimana bisa bekerja dengan efisien, cepat, dan tepat. Kalau kita teruskan pendidikan dengan cara seperti itu, sayang negara kaya ini, masyarakatnya tidak akan kaya. Kita tetap akan miskin karena orang-orang kita tidak mampu menampilkan kerja yang baik.

Apa Anda merasa mendapat dukungan dari pemerintah?

Saya belum menemukan partner di dalam di pemerintahan yang mengerti bagaimana sebenarnya pendidikan mesti dibenahi. Kami selalu dilihat dengan pikiran ”bisnis” sebagai orang swasta. Melihat yang kami lakukan ini uang, bisnis. Sangat beda dengan sudut pandang kami ketika ingin terlibat dalam pembenahan pendidikan sains. Padahal, kami ingin bisa bersama-sama. Tangan kami tidak cukup untuk melakukan semua hal. Kadang-kadang saya merasa capek dan ingin berhenti. Tetapi, melihat siswa dan guru di daerah yang bersemangat, tim Kuark berusaha melakukan yang terbaik.

Apa harapan Anda untuk pendidikan sains?

Kami baru bisa membantu di SD. Saya berharap ada pihak lain yang bisa memupuk mereka selanjutnya. Saya yakin di Indonesia banyak anak-anak pintar dan berpotensi. Jangan sampai potensi itu dilihat dan dimanfaatkan orang di luar negeri, justru kita sendiri tidak mampu melihatnya. Kita harus memanfaatkan potensi anak-anak ini untuk perkembangan anak s endiri serta kemajuan bangsa pada masa mendatang. ***

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 04:46 WIB

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

tki jeddah @ Senin, 1 Februari 2010 | 12:30 WIB
Mbak Sanny, minta alamat redaksi dong bisa nggak kirim regular majalahnya untuk mendidik anak-anak Indonesia di Jeddah? please contact TKI_Jeddah@yahoo.com

Drajat @ Senin, 1 Februari 2010 | 08:56 WIB
Salut Mba Ester, terus berjuang. Memang tidak mudak menyebar vorus positif ini. Ssks Mba.

narawidjna @ Senin, 1 Februari 2010 | 07:59 WIB
mate matika & bahasa sebagai tool komunikasi.tidak kalah penting.tapi sulit mengajarkanya ini baruu oke.

anas pemerhati bangsa @ Senin, 1 Februari 2010 | 06:19 WIB
salah satu kunci kemajuan cina sang naga dunia kalahin barat is maju dalam bidang sains dan teknologi,ayo indonesia ku majukan kualitas kita dengan mencintainya

Senin, 01 Februari 2010

Kabupaten Takalar Pelopor Perda Pertama Kemitraan Dukun-Bidan

Peraturan Daerah Pertama Kemitraan Dukun-Bidan

JAKARTA - Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang memiliki peraturan daerah tentang kemitraan bidan dan dukun bayi setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengesahkan Peraturan Daerah tentang Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi, Jumat (29/1).

Perda pertama tahun 2010 ini ”mengamankan” semua upaya menurunkan angka kematian ibu (AKI) melahirkan di kabupaten berpenduduk sekitar 250.000 jiwa itu, yang prosesnya berlangsung sejak tahun 2007.

”Sebelum kemitraan itu, banyak ibu yang meninggal ketika melahirkan,” ujar Bupati Takalar Ibrahim Rewa saat ditemui di Takalar, beberapa waktu lalu.

Setelah kemitraan, AKI terus turun. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar dr Grace V Dumalang, tahun 2009, AKI di wilayah itu adalah nol.

”Tahun 2008, satu ibu meninggal; tahun 2007, ada tiga; tahun 2006, ada delapan,” sambung dr Willy Kurumur, MPH dari Badan Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) di Makassar, Sulawesi Selatan.

Penurunan 80 persen AKI merupakan salah satu target Sasaran Pembangunan Milenium (MDG) tahun 2015. Namun, bagi Willy dan Grace, AKI merupakan indikator kesejahteraan masyarakat yang memang harus diperjuangkan.

Nota Kesepakatan

Program kemitraan diawali tahun 2007 saat Pemerintah Kabupaten Takalar bersama Unicef memfasilitasi pelatihan kemitraan bidan dan dukun bayi di dua kecamatan yang dijadikan proyek uji coba, yakni Kecamatan Galesong dan Polombangkeng Utara.

Menurut Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Bontomarannu, Galesong, Abdulrahman, SKM MM, 32 dukun bayi dan 50 bidan di wilayah itu terlibat dalam pertemuan yang menghasilkan nota kesepakatan bersama. Dukun akan membantu tugas bidan dari awal ibu hamil sampai proses persalinan.

”Saya mendapat Rp 50.000 per satu ibu yang saya bawa ke puskesmas,” ujar Daeng Sina (55), dukun bayi di Puskesmas Bontomarannu, Galesong. Di Kabupaten Takalar terdapat 89 bidan dan bidan desa serta 189 dukun bayi.

Dengan Perda Kemitraan Dukun-Bidan itu, pemerintah daerah akan menyediakan dana khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

”Kalau dari APBD, jumlahnya bergantung pada permintaan bidan,” ujar Grace. (MH/Kompas)***

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 04:46 WIB

Kusta Masih Dominasi Tapal Kuda

INDIKATOR

Kusta Masih Dominasi Tapal Kuda

Jumlah penderita kusta di Jawa Timur masih tinggi. Menurut Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf, Jatim merupakan penyumbang terbesar kasus kusta di Indonesia. Setidaknya 30 persen penderita berasal dari provinsi ini. Rata-rata tiap tahun ditemukan 5.000 kasus kusta baru di Jatim.

Dilihat dari perkembangan kasusnya, kusta masih sering dijumpai di daerah tapal kuda. Tahun 2008 ada 1.141 kasus kusta ditemukan di Kabupaten Sampang. Jumlah ini terbesar di Jatim.

Jumlah kasus kedua terbesar ditemukan di Kabupaten Sumenep, yaitu 1.064. Dari jumlah ini 491 orang di antaranya merupakan penderita baru. Adapun jumlah penderita kusta di Kabupaten Jember sebanyak 949 orang, Lamongan 907 orang, dan Lumajang 878 orang.

Lebih dari 40 persen penderita di lima kabupaten dengan kasus kusta terbesar di Jatim merupakan penderita baru. Jumlah penderita baru terbanyak ditemukan di Jember, yaitu 47,1 persen dan Sumenep 46,1 persen. (ENDAH RAHAYU/LITBANG KOMPAS)***

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 16:15 WIB

Jawa Timur Peringkat Jumlah Penderita Kusta Tertinggi

KUSTA

Jumlah Penderita di Jatim Tertinggi

SURABAYA - Jawa Timur menempati peringkat pertama jumlah penderita kusta di Indonesia. Dari 17.723 orang penderita baru di Tanah Air setiap tahun, 5.000 hingga 6.000 penderita berasal dari Jawa Timur.

Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jatim Budi Rahayu menuturkan, hal ini dipicu rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit kusta. Apalagi, masa inkubasi penyakit ini mencapai 10 tahun.

"Sebagian besar masyarakat masih meremehkan tanda-tanda kusta," kata Budi, dalam acara peringatan Hari Kusta Sedunia di Boezem Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, Minggu (31/1). Tanda awal kusta bisa diketahui dengan keberadaan bercak warna merah atau putih di sekitar tubuh, seperti dada, perut, tangan, maupun kaki. Biasanya keberadaan bercak itu diikuti mati rasa beberapa organ tubuh.

"Kalau tanda-tanda itu muncul, seseorang harus segera memeriksakan diri ke rumah sakit sebelum ada urat syaraf yang mati. Kalau sampai ini terjadi organ tubuh harus langsung diamputasi," ucap Budi.

Dia berharap masyarakat tetap waspada karena penyebaran penyakit kusta cukup cepat. Proses penularan kusta melalui udara. Namun, sikap waspada kendaknya tidak diikuti dengan sikap antipati terhadap penderita kusta. Para penderita maupun mantan penderita kusta membutuhkan dukungan lingkungan sekitar agar psikisnya cepat pulih.

"Saya mengimbau kepada masyarakat agar tidak memandang penderita kusta dengan sebelah mata. Kita tidak akan tertulari penderita kusta yang sudah sembuh," ujar Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf.

Terpinggirkan

Saat ini masih banyak penderita maupun mantan penderita kusta yang merasa terpinggirkan akibat cara pandang keliru masyarakat. Oleh sebab itu, pengobatan terhadap mereka tidak hanya melalui obat multi drug therapy (MDT) yang mampu menyembuhkan kusta dalam waktu paling lama sembilan bulan. Para penderita maupun eks penderita kusta juga membutuhkan pendampingan untuk memulihkan kondisi kesehatan psikis akibat dikucilkan masyarakat.

"Biasanya tidak semua mantan penderita kusta bisa langsung hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka membutuhkan bantuan pihak ketiga setelah sembuh dari penyakitnya," ujar Koordinator Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata) Indonesia Bahrul Fuad.

Permata merupakan salah satu organisasi yang didirikan mantan penderita kusta dan bertujuan membantu para penderita yang sudah sembuh untuk beradaptasi dengan lingkungan. Keberadaan organisasi ini juga diharapkan mampu menghapus stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap orang yang pernah mengalami kusta.

"Pendampingan dari sejumlah lembaga membantu kami mendapatkan kembali kepercayaan diri," kata Siti, orang yang sudah sembuh dari kusta. (RIZ/Kompas)***

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 16:14 WIB