RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Minggu, 29 Agustus 2010

Mantan Presiden Kerja Paksa Seumur Hidup

Mantan Presiden Kerja Paksa Seumur Hidup

Mantan Presiden Madagaskar, Marc Ravalomanana. (AFP/ALEXANDER JOE)***

TERKAIT:

ANTANANARIVO — Mantan Presiden Madagaskar Marc Ravalomanana yang tinggal di pengasingan, Sabtu (28/8/2010), dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup karena bagiannya dalam kejadian yang dikenal sebagai pembunuhan 7 Februari 2009.

"Ravalomanana telah djatuhi hukuman tanpa kehadirannya untuk kerja paksa seumur hidup karena pembunuhan dan tambahan pada pembunuhan itu," kata Hanitra Razafimanantsoa, pegacara presiden yang dijatuhkan itu, yang berada di pengasingan di Afrika Selatan sejak Maret 2009.

Pada 7 Februari 2009, pengawal presiden itu telah menembak tanpa peringatan pada satu kerumunan orang yang sedang melakukan jalannya ke kepresidenan sehingga menewaskan sedikitnya 30 orang dan melukai lebih dari 100 orang.

Dari ke-18 orang yang dituduh bersama di pengadilan itu, yang terjadi pekan ini di ibu kota Madagaskar, Antananarivo, 14 orang telah dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup.

Para tertuduh dibela oleh dua penilai setelah pengacara mereka memutuskan untuk walk out pada awal pemeriksaan dengan alasan "pelanggaran mencolok atas hak-hak asasi pengacara," kata Razafimanantsoa. Ia menambahkan bahwa dirinya dan kliennya belum memutuskan apakah mereka akan naik banding.

"Baginya itu bukan putusan yang diambil dengan serius untuk sistem pengadilan yang telah dibantu oleh rezim."

"Tujuannya adalah untuk menghukumnya agar dia tidak dapat pulang ke Madagaskar dan mencalonkan diri dalam pemilihan mendatang."

Pemeriksaan pengadilan itu telah membuat gelombang di ibu kota dengan para pendukung dan penentang presiden yang dijatuhkan itu hadir dalam jumlah besar di pengadilan.

Pembunuhan Februari 2009 dipicu ketika penguasa Madagaskar sekarang ini, Andry Rajoelina—saat itu wali kota Antananarivo, tapi mengklaim akan memimpin negara itu—menunjuk seorang perdana menteri yang ribuan pendukungnya ingin ditempatkan di kepresidenan.

Pulau di Lautan India itu telah terperosok ke dalam krisis politik sejak akhir 2008. Krisis itu telah menyebabkan jatuhnya Ravalomanana pada Maret 2009 dan penggantiannya dengan Rajoelina, yang pada waktu itu mendapat dukungan militer.

Hukuman terakhir itu tanpa kehadiran Ravalomanana yang ketiga kalinya sejak kejatuhannya. Ia diganjar empat tahun penjara dan denda untuk kasus konflik kepentingan dalam pembelian sebuah pesawat presiden dan lima tahun kerja paksa karena pembelian tanah.***

Sumber : Kompas.com, Minggu, 29 Agustus 2010 | 07:17 WIB

Lusiana Indriasari dan Yulia Sapthiani : Dari Desa untuk Keluarga Jakarta

Dari Desa untuk Keluarga Jakarta

Sebanyak 45 orang yang akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga pengganti atau dikenal dengan istilah "infalan" berjalan menuju bus yang akan membawa mereka ke Jakarta, Jumat (20/8). (KOMPAS/PRIYOMBODO)***

Oleh Lusiana Indriasari dan Yulia Sapthiani

Menjelang Lebaran, ribuan perempuan desa didatangkan ke Jakarta dan sekitarnya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga musiman. Sulitnya akses ekonomi di pedesaan mendorong mereka mencari nafkah untuk keluarga.

Narti (40) adalah perekrut tenaga pembantu rumah tangga. Sejak awal bulan puasa lalu, Narti sibuk luar biasa. Pagi, siang, malam, hingga pagi lagi telepon genggamnya tidak pernah berhenti berdering. Dengan sabar, Narti pun melayani para peneleponnya.

”Mau yang umur berapa, Bu? Tapi di sini tidak menyediakan tenaga di bawah 15 tahun,” kata Narti kepada para peneleponnya. Kebanyakan yang menelepon Narti adalah ibu-ibu yang tinggal di Jakarta dan Batam.

Setelah menutup telepon, Narti siap-siap bertugas. Ia membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan jaket, celana panjang, kaus tangan, dan kaus kaki untuk melindungi kulitnya dari sengatan matahari. Dari rumahnya di Desa Purworejo II, Sragen, Jawa Tengah, ibu dua anak ini naik sepeda motor untuk mencari orang yang mau diajak bekerja ke Jakarta.

Setiap hari, Narti bersama Yuli, teman yang dipercaya membantu merekrut orang, berkeliling dari satu kampung ke kampung lain di wilayah Sragen dan sekitarnya. Terkadang mereka harus menempuh jalan terjal perbukitan untuk masuk ke perkampungan. Wilayah paling jauh yang dimasuki Narti sampai ke Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Narti adalah ujung tombak dari penyalur tenaga kerja Ibu Hadi yang berlokasi di Depok, Jawa Barat. Sejak tahun 2001, ia bergabung menjadi sponsor Ibu Hadi. Asal tahu saja, peran Narti sebagai perekrut tenaga itu biasa disebut sebagai sponsor.

Selain Narti, Yayasan Ibu Hadi memiliki lebih dari 100 sponsor. Mereka tersebar di seluruh Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Madura, Lampung, Palembang, dan Jambi. Sponsor langsung datang ke rumah-rumah penduduk.

Pada hari biasa, Narti bisa mengumpulkan 10-15 orang untuk disalurkan ke yayasan. Untuk Lebaran, ibu dua anak ini bisa mengirimkan 120 tenaga kerja menggunakan dua bus sewaan. Semua tenaga tersebut adalah perempuan.

”Tahun lalu, saya bisa mengirim ’infalan’ sampai lima bus,” kata Narti yang pernah delapan tahun menjadi tenaga kerja Indonesia di Singapura.

”Infalan” yang dimaksud Narti adalah tenaga kerja yang mau bekerja pada musim Lebaran.

Dadang Suryana (59), salah satu sponsor yayasan penyalur tenaga kerja Ibu Gito di Cipete, Jakarta Selatan, mendatangkan pembantu ”infal” dari Kabupaten Bandung, seperti Ciwidey, Soreang, Cililin, dan Banjaran. ”Saya tidak bisa memberangkatkan orang kalau belum diminta dari Jakarta,” kata Dadang yang merekrut orang dibantu istrinya, Wida (45), dan anaknya, Dewi (17).

Sebelum mengirim ke Jakarta, Dadang harus menampung dulu tenaga kerja yang ia rekrut di rumahnya yang sempit. Apabila jumlah tenaga kerja yang direkrut cukup banyak, terpaksalah para rekrutan tidur di halaman dan saung kecil di depan rumah Dadang.

Motor ”kinclong”

Jumat (20/8), Narti siap memberangkatkan sekitar 50 tenaga kerja ke Jakarta. Sebagian dari mereka sudah pernah berkali-kali ikut Narti ke Jakarta, sedangkan sebagian lagi baru pertama kali ini ikut ”infal”.

Sejak pukul 10.00, para pencari kerja ini berdatangan dari desa masing-masing ke rumah Narti. Mereka diantarkan oleh orangtua, suami, dan anak-anaknya.

Siti Utami (26) dari Desa Blabur, Sragen, sudah empat kali ikut ”infal”. Setiap kali hendak berangkat ke Jakarta, ia selalu diantar suaminya, Toni (26), dan anaknya, Devina (6). Toni yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan ini mengendarai sepeda motor baru, keluaran tahun 2009.

Hampir semua suami yang mengantarkan istrinya siang itu bersepeda motor ”kinclong”. Uang untuk membeli sepeda motor itu boleh jadi diperoleh dari para istri yang setiap tahun menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta. ”Sebagian duite memang untuk nyicil motor,” ucap Siti.

Ketika hendak berangkat ke Jakarta, Siti dan teman-temannya sering kali tidak membawa bekal uang sepeser pun. Bahkan, untuk menanggung keperluan anak-anak yang ditinggalkan, mereka harus berutang kepada sponsor.

Surati (45), salah satu tenaga kerja yang siap berangkat sore itu, mengomel panjang lebar ketika suaminya meminta uang untuk membeli sampo. ”Kudune kowe ki sing nyangoni aku, kok malah njaluk sangu (Harusnya kamu yang kasih uang saku buat aku, kok malah minta uang saku),” kata Surati.

Toh ia tetap mengeluarkan beberapa lembar uang dua ribuan yang dimilikinya.

Sebelum berangkat, Narti mengabsen dan memberikan pengarahan kepada para tenaga kerja yang siap diberangkatkan.

”Nanti kalau kerja jangan pilih-pilih. Namanya kerja sama orang itu tidak enak. Yang penting niat kerja biar dapat uang banyak,” kata Narti wanti-wanti.

Menjelang pukul 14.00 sebuah bus besar datang untuk mengangkut mereka ke Jakarta. Saat itu perjuangan telah dimulai. Bahkan harus melintasi hari Lebaran, di mana seharusnya para anggota keluarga berkumpul....

Sumber : Kompas, Minggu, 29 Agustus 2010 | 02:56 WIB

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • Agus Ruwiyanto

Minggu, 29 Agustus 2010 | 06:14 WIB

apakah kita benar - benar sudah merdeka??

Balas tanggapan

Anderson, Membangun Semangat Persahabatan

Anderson, Membangun Semangat Persahabatan

DENNIS ANDERSON. (KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT) ***

Oleh Andy Riza Hidayat

Kota Gothenburg, Swedia, selalu merekam kegembiraan ribuan remaja dari lima benua setiap tahun. Betapa tidak, di kota ini sejak 1975 berlangsung turnamen sepak bola Gothia Cup. Turnamen ini seakan menjadi piala dunianya remaja yang berlangsung pada musim panas.

Orang-orang di balik acara ini pun memiliki kebanggaan terhadap suksesnya acara ini. Salah satunya adalah Dennis Anderson, Sekretaris Jenderal Gothia Cup. Misi Anderson untuk memadukan olahraga sepak bola dan ragam budaya dari berbagai belahan dunia tercapai.

Walaupun bernama Gothia Cup, turnamen ini memang lebih tepat disebut sebagai festival persahabatan remaja pencinta sepak bola. Mereka berdatangan dari banyak negara.

Anderson sudah 30 tahun bekerja membangun turnamen ini, menjadikannya turnamen yang menyenangkan. Dia ingin Gothia Cup menjadi tempat belajar pencinta sepak bola untuk menjunjung tinggi fair play serta menghargai perbedaan warna kulit, agama, dan budaya.

Dengan demikian, para peserta tidak melulu berkonsentrasi pada bagaimana mereka bisa memenangi pertandingan, tetapi lebih dari itu.

”Lebih dari sekadar bermain sepak bola, kami ingin mempertemukan perbedaan remaja dari seluruh dunia melalui turnamen sepak bola,” kata Anderson saat menerima Kompas di Stadion Gamla Ullevi, Gothenburg, beberapa waktu lalu.

Dengan semangat seperti itulah, sebanyak 71 negara mengirimkan wakilnya ke Gothenburg. Luar biasa, sekitar 35.200 remaja dari 1.567 tim sepak bola pun mengikuti laga yang penuh kegembiraan dan persaudaraan.

Perlu kerja keras dan keseriusan serta komitmen panitia untuk ”mengelola” jumlah peserta sebanyak itu. Bukan cuma soal pertandingan atau kompetisi, melainkan juga untuk mempersiapkan penginapan, konsumsi, serta akomodasi lainnya.

Apa rahasia sukses Anderson menggelar turnamen sebesar ini? Dia menjawab, ”Kuncinya, perlu organisasi yang baik.”

Organisasi yang baik dan solid itu tidak serta-merta bekerja begitu saja. Untuk menyiapkan turnamen ini, Anderson membutuhkan waktu satu tahun sebelum turnamen berlangsung. Ibaratnya, panitia mempersiapkan diri sepanjang waktu.

Untuk persiapan Gothia Cup 2011, misalnya, panitia sudah bekerja sepekan setelah pelaksanaan Gothia Cup 2010 berakhir pada 24 Juli lalu. Untuk kegiatan tahun depan itu, panitia menetapkan pelaksanaan turnamen akan jatuh pada 17 sampai 23 Juli 2011. Pembukaan pendaftaran secara online dimulai September 2010.

Sepak bola dan budaya

Anderson bukan orang yang berlatar pendidikan mentereng. Namun, olahraga, khususnya sepak bola, menempa dia menjadi seorang organizer piawai. Dia hanya lulusan sekolah setingkat sekolah menengah atas (SMA) di Gothenburg. Kemampuan berorganisasi dia dapatkan lewat sepak bola, olahraga yang dia cintai sejak kecil.

”Olahraga ini mengajari pemainnya membagi kebahagiaan dengan sesama. Oleh karena itu, kami menggabungkan unsur sepak bola dan budaya sekaligus dalam satu manajemen organisasi yang rapi,” ujarnya.

Anderson memang tak bisa bekerja sendiri. Dia melibatkan masyarakat dengan menghimpun 2.000 relawan untuk berpartisipasi selama turnamen. Para relawan itu terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan warga biasa. Mereka melayani ribuan tamu selama lebih dari seminggu di Gothenburg, dengan menyediakan akomodasi, penginapan tim, lapangan, wasit, dan makanan.

Selama turnamen, semua pemain, pelatih, dan orangtua pemain menginap di 60 sekolah dan 25 hotel di Gothenburg. Untuk mempermudah mobilitas, panitia menjalin kemitraan dengan perusahaan transportasi Swedia bernama Västtrafik.

Para peserta, orangtua, dan pendukung tim mendapatkan kartu Gothia Card. Dengan kartu itu, mereka dapat bepergian ke mana saja di Gothenburg, termasuk ke sejumlah tempat wisata. Dia juga menggandeng sponsor lokal dan internasional yang berjumlah 22 perusahaan.

”Saya puas, turnamen berjalan lancar. Lebih dari itu, selama ajang ini terbangun semangat persahabatan di antara sesama pemain dengan latar belakang yang berbeda,” kata Anderson di Stadion Gamla Ullevi, Gothenburg.

Anderson selalu menunggu musim panas datang di Gothenburg, seperti pada masa kecilnya saat menjadi pemain sepak bola. Selama sepekan, kota kelahirannya itu menjadi ”ibu kota” para remaja. Masyarakat Gothenburg pun merasakan dampak sosial dan ekonomi yang luar biasa.

Hal ini dirasakan Thorleif Wetterlin, sopir angkutan wisata di Gothenburg. ”Kami senang, semua orang dapat menikmati Gothenburg. Perekonomian menjadi ramai,” kata Thorleif.

Tak sepenuhnya komersial

Anderson menikmati pertandingan sepak bola yang berlangsung selama turnamen dengan menonton sejumlah pertandingan penting. Sesekali dia menemui kolega dari negara lain di stadion. Beberapa kali dia memberikan bingkisan kepada sahabat yang hanya bisa dijumpainya saat Gothia Cup.

Meski menjadi orang paling penting dalam turnamen, menemui Anderson bukanlah hal yang sulit. ”Anda bisa menemui saya di sini (Heden, pusat penyelenggaraan Gothia Cup),” katanya. Hampir setiap hari, selama penyelenggaraan Gothia Cup 2010, ia selalu ada di kawasan ini.

Dalam 36 kali penyelenggaraan, panitia mendapatkan keuntungan dari turnamen ini. Ia tak bersedia menyebut angka yang jelas, tetapi mengatakan, 25 persen dari seluruh keuntungan turnamen itu disumbangkan ke Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Di benua-benua itu, panitia mendirikan sekolah sepak bola untuk menampung anak-anak dari keluarga miskin.

Dari tahun ke tahun, penyelenggaraan Gothia Cup semakin banyak pesertanya. Tahun ini merupakan tahun pertama bagi Indonesia berpartisipasi dalam turnamen yang diwakili Jakarta Football Academy (JFA). Sejak pertama kali penyelenggaraannya, sudah 133 negara yang berpartisipasi dalam turnamen.

Pada tahun-tahun mendatang, Anderson berambisi melibatkan lebih banyak pemain perempuan dalam turnamen. Menurut dia, masa depan sepak bola juga ada di kalangan kaum perempuan. Dewasa ini, perkembangan sepak bola semakin pesat. Perkembangan ini menembus sekat jender dan beragam kultur di dunia.***

Sumber : Kompas, Sabtu, 28 Agustus 2010 | 03:00 WIB

Kamis, 26 Agustus 2010

LIMBAD

Limbad

Pesulap, Limbad saat menghadiri acara Mahakarya 21 tahun RCTI, di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (21/8/2010) malam. (KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI)***

Permintaan Maaf yang Baik dan yang Buruk

Permintaan Maaf yang Baik dan yang Buruk

Oleh Sawitri Supardi Sadarjoen

A melihat permintaan maaf seseorang merupakan sarana manipulatif untuk membuat orang lain terdiam dan mencoba meraih moralitas dari sesuatu yang luhur menjadi terpuruk.

Si A mengatakan kepada saya, ”Saya tidak pernah minta maaf dan saya juga tidak menerima permintaan maaf dari orang lain. Karena bila orang meminta maaf pada saya, mereka mencoba untuk membuat saya terdiam dari kemarahan oleh perbuatan yang dilakukannya. Dan sebenarnya saat mereka meminta maaf, mereka merasa seperti ini. ’Lihatlah saya sudah berusaha membuatnya diam dan sudahlah tidak perlu diperpanjang lagi....’”

Permintaan maaf yang baik

Sedangkan H menyatakan bahwa setelah dia mendengar pendapat si A, ia merasa , ”Wah, benar-benar berbeda pendapat A tentang permintaan maaf dengan saya, sedangkan saya merasa bahwa apabila seseorang menyatakan dengan tulus permintaan maafnya, saya langsung merasa lega dan terbebas dari kemarahan dan terasa nyaman di hati. Dan apabila saya menyatakan permintaan maaf kepada seseorang dengan rasa tulus pula, maka saya juga merasa telah memenuhi kewajiban saya sehingga saya merasa benar-benar lega. Dengan demikian, rasa salah saya hilang dan dengan permintaan maaf, saya berharap relasi yang menjadi buruk oleh perlakuan saya tersebut bisa menjadi pulih kembali.”

H selanjutnya berpendapat bahwa tanpa kemungkinan permintaan maaf kepada manusia, maka kekurangan yang menjadi sifat manusia akan dirasakan sebagai sesuatu yang tragis. Penyampaian permintaan maaf yang lembut dan tulus, menjadi tuntutan sosial bagi perbaikan penghayatan kenyamanan dan integritas bagi seseorang yang benar-benar secara jujur mengakui telah berbuat salah.

Namun, sejauh itu A dan H memiliki kesamaan pendapat bahwa perempuan lebih sering meminta maaf daripada laki-laki. Bahkan, sering perempuan merasa bersalah apabila mereka tidak mampu memberikan pelayanan afektif kepada orang lain, dan secepat itu pula perempuan merasa bertanggung jawab terhadap relasi yang terjalin dengan orang lain, menjadi tidak nyaman, yang sering diikuti dengan permohonan maaf.

Permintaan maaf yang buruk

Memang tidak setiap permintaan maaf meninggalkan rasa nyaman pada orang lain atau pada diri kita sendiri. Karena permintaan maaf sering ditawarkan kepada kita dilakukan tanpa ketulusan yang hakiki, tetapi sekadar hanya merupakan upaya ringan untuk keluar dari situasi yang sulit. Atau, mungkin kata maaf yang terlontar hanya membuat seseorang keluar dari keadaan terpojok.

Misalnya, kita pasti merasa kurang nyaman apabila pasangan kita mengatakan, ”Maaf, ya saya tadi membuatmu marah dengan kritik saya di muka teman-temanmu tentang lelucon yang kamu ceritakan kepada mereka.”

Dengan ungkapan tersebut pasti kita akan merasa disudutkan sebagai orang yang sensitif yang membuat kita cepat berang. Andaikata kita ditanya tentang permohonan maaf yang bagaimana yang sebenarnya kita harapkan, maka ungkapan berikut inilah jawabannya:

”Maaf ya, saya tadi mengkritikmu saat kamu cerita tentang lelucon di hadapan teman-temanmu, karena saya merasa sebagai suami, saya wajib memerhatikan perilaku sosialmu agar reputasimu tetap terjaga.”

Kecuali itu, permintaan maaf yang dirasionalisasi pun tidak membuat orang nyaman, seperti misalnya: ”Wah, saya sudah mencoba menelepon kamu beberapa kali, tetapi tiba-tiba tangan saya terkilir dan saya tidak bisa menekan tombol telepon lagi.”

Atau ”Maaf, ya..., soalnya kamu tidak pernah bertanya apakah saya sudah menikah dengan 2 orang anak atau masih lajang.”

Komentar:

Apabila kita melakukan konfrontasi terhadap sesuatu yang tidak dilakukan atau yang dilakukan pasangan kita, misalnya, sebenarnya akan lebih memuaskan teman berelasi atau pasangan kita sendiri, jika permohonan maaf kita disampaikan dengan tulus. Misalnya: ”Saya benar-benar minta maaf, ya.” Atau ”Maaf ya, lama sekali saya tidak kontak kamu.”

Seyogianya kita tidak sekalipun menambahkan upaya rasionalisasi yang terkesan mengada-ada, karena dengan rasionalisasi, tanpa kita sadari kita menyatakan bahwa kesalahan bukan dari diri kita.

Pasangan lelaki yang sedang menjalani konsultasi perkawinan dengan saya mengatakan bahwa ia sering jengkel apabila istrinya setiap saat mengungkit perselingkuhan yang telah diselesaikan 3 bulan lalu, merespons istrinya dengan permintaan maaf : ”Maaf, ya. Mengapa kamu selalu mengungkit perselingkuhan yang sudah saya bereskan 3 bulan lalu. Saya mau mulai memperbaiki hubunganku denganmu.” Itu dengan suara keras setengah membentak, sampai istrinya terdiam dan akhirnya menangis.

Permintaan maaf yang seyogianya dilakukan adalah: ”Cobalah pikirkan, cara kamu selalu mengungkit perselingkuhanku yang sebenarnya telah selesai setiap kamu jengkel pada saya, cara itu sangat tidak baik untuk dirimu sendiri. Pasti akan membuka luka batinmu sendiri, kalau memang kamu belum puas terhadap penjelasanku tentang perselingkuhan itu, saya akan berikan waktu khusus untuk membicarakannya, tetapi tidak dengan cara seperti ini. Percayalah, bahwa saya benar-benar mau memperbaiki hubungan denganmu.”

Nah, selanjutnya, kita pulangkan semua pemahaman akan permintaan maaf dalam kalbu kita yang paling dalam. Setujukah kita pada pendapat A atau pendapat H. Kemudian dengarkanlah dengan cermat apa kata nurani kita yang paling dalam, sambil mempertimbangkan perasaan pasangan kita. Maksudnya, agar permintaan maaf yang perlu kita sampaikan membuat perasaan kita dan pasangan kita atau orang yang berelasi dengan kita menjadi nyaman kembali dan relasi yang terjalin pun pulih.***

Sumber : Kompas, Minggu, 22 Agustus 2010 | 03:43 WIB

Minggu, 22 Agustus 2010

Srinti, Pesawat Bikinan Anak Negeri

Srinti, Pesawat Bikinan Anak Negeri

Pesawat tanpawak srinti diperkenalkan dalan R&D Ritech 2010 (21/08/2010). Pesawat ini rencananya akan digunakan kementerian kelautan dan perikanan untuk pengawasan laut indonesia. (Remigius Septian)***

TERKAIT

JAKARTA, KOMPAS.com — Srinti, pesawat tanpa awak hasil ciptaan putra Indonesia, diperkenalkan pada R&D Ritech Expo 2010, Sabtu (21/8/2010). Menurut Teguh, salah seorang engineer dari BPPT, Srinti adalah pesawat kelima yang telah dibuat BPPT.

"Ini pengembangan yang kelima, sebelumnya ada Pelatuk, Wulung, Gagak, dan Alap-alap. Namun, walaupun sudah lima pesawat yang diciptakan, baru Srinti yang akan diberdayagunakan oleh pemerintah. Belum ada yang dipakai, baru Srinti ini yang rencananya akan dipakai pemerintah," ujar Armanto, salah seorang engineer lainnya.

Rencananya, pada bulan November nanti Srinti akan digunakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk pengawasan zona laut terluar Indonesia. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi lagi penerobosan kapal-kapal asing.

"Kita akan bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk pengawasan laut terluar indonesia," ujar Armanto lebih lanjut.

Srinti berbahan bakar methanol seperti yang dipakai di pesawat aeromodelling. Jarak pengendalian maksimum Srinti adalah 45 km. Pengendalian pesawat menggunakan Ground Control Station (GCS).

GCS terdiri dari remote control yang digunakan saat lepas landas dan mendarat. Saat di udara, Srinti bergerak autonomus, sesuai titik-titik yang telah ditentukan di komputer. Pergerakan peswat ini menggunakan software Dynamic c# dengan prosesor Rabbit 4000 yang telah dikembangkan oleh tim BPPT.***

Sumber : Kompas.com, Sabtu, 21 Agustus 2010 | 13:58 WIB

Tetes Darah untuk Napas Kehidupan Orang Lain

Herma (21), mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menyumbangkan darahnya di Kantor PMI, Kramat Raya, Jakarta, Kamis (10/6). Aksi menyumbangkan darah bukan hanya menolong sesama, melainkan juga menyehatkan tubuh sang donor. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)***

DONOR

Tetes Darah untuk Napas Kehidupan Orang Lain

Labirin gang-gang sempit di kawasan Matraman, Jakarta Pusat, itu akhirnya berujung juga di sebuah rumah kecil semipermanen beratap rendah. Sebagian atap rumah tua itu berlubang dan dalam perbaikan. Partikel debu tampak melayang-layang di dalam ruangan lantaran tertimpa sinar matahari pagi yang menerobos masuk.

Suwandi (53) tertatih-tatih menuju ruang tamu didampingi istrinya, Siti Rohmah (42). Dia mengucapkan salam dengan suara terpatah-patah dan menyorongkan tangannya yang bergetar. Suwandi pun bersusah payah duduk. ”Setahun lalu, bapak terkena stroke. Separuh badannya sempat lumpuh,” ujar Siti Rohmah.

Stroke itu pula yang menyebabkan pria tersebut untuk sementara berhenti mendermakan darahnya. Selama tiga puluh tahun lebih, atau setidaknya seratus kali, Suwandi menyumbangkan darahnya.

Suwanndi menyumbangkan darahnya pertama kali dilakukan akhir tahun 1970-an. Dengan setia, dia berangkat ke Kantor Palang Merah Indonesia Jakarta menyumbangkan darahnya tiga atau empat bulan sekali. Pernah suatu kali

Suwandi dihubungi pihak Palang Merah Indonesia (PMI) pukul 01.00 lantaran ada yang mendadak membutuhkan darah golongan B. Stok darah sedang kosong.

Tanpa pikir panjang, Suwandi berangkat ke PMI untuk diambil darahnya.

Seorang tetangganya juga terselamatkan jiwanya berkat darah Suwandi. ”Acih harus operasi miom [tumor jinak dinding rahim] dan butuh darah. Suami saya ke PMI supaya Acih bisa dapat darahnya,” kata Siti.

Hanya tetes darah

Harta benda tidak selalu menjadi ukuran untuk dapat menolong orang lain. Suwandi tidak mempunyai materi apa pun untuk disumbangkan. Yang ada hanya tetes darahnya.

Pendapatan Suwandi selama lebih dari 30 tahun menjadi sopir bus metromini ”cabutan” selalu habis untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan ketiga anaknya. Seorang anak Suwandi sudah lulus SMA dan bekerja sebagai office boy, seorang masih di SMK, dan si bungsu di kelas V SD. Istrinya bekerja sebagai baby sitter atau

mengurus rumah orang sesekali.

”Saya ingin menolong orang lain dengan [menjadi] donor darah,” ujarnya pelan.

Nurdin, warga Kebon Sirih, juga beramal dengan menyumbang darah. ”Satu tetes darah sangat berarti bagi yang membutuhkan,” ujarnya ketika ditemui sedang mangkal menunggu penumpang ojek di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Menemukan pangkalan tempat Nurdin bekerja lebih mudah ketimbang mencari rumahnya yang tersempil di gang-gang ”tikus” Kebon Sirih Barat.

Pria itu tercatat 122 kali ke Kantor PMI Jakarta mendermakan darahnya. Ia menyumbangkan darahnya pertama kali pada 23 April 1962. Apalagi, menurut Nurdin, menyumbangkan darah tidak berefek samping dan justru bermanfaat bagi kesehatan. ”Biar darahnya baru terus,” ujarnya.

Keinginan membantu sesama pula yang mendorong Ohim, warga Kebon Kosong, Kemayoran, menyumbangkan darah. ”Orang butuh darah itu urusannya hidup dan mati, paling enggak saya bisa bantu hidup orang,” kata Ohim yang lebih dari 100 kali menjadi donor itu.

Kesetiaan para donor itu berbuah penghargaan Satyalancana Kebaktian Sosial dan cincin emas seberat lima gram dari pemerintah. Di tengah kehidupan yang berat, cincin itu hanya dimiliki sesaat.

Cincin Suwandi, kini tersimpan di Pegadaian lantaran keluarga itu membutuhkan dana untuk pengobatan Suwandi. Cincin Nurdin pun berpindah tangan. Hasil penjualan untuk membeli televisi 14 inci sebagai pengganti televisi lama yang dijual guna biaya masuk sekolah anak. ”Sisanya, bayar utang di warung dan biaya sekolah,” ujarnya.

Cerita Ohim pun serupa. Cincin segera dijualnya untuk biaya kehidupan. Sejak lama, Ohim menganggur dan bekerja serabutan. Uang hasil penjualan cincin sudah habis, tetapi mereka tetap rutin menjadi donor dengan semangat.

Darah masih kurang

Sumbangan darah mereka dan banyak donor lain yang telah diskirining agar tidak mengandung penyakit itu telah memberikan kesempatan hidup.

Tiap tetes darah sangatlah berarti bagi penderita talasemia, ibu melahirkan yang mengalami perdarahan, korban kecelakaan, pasien cuci darah, dan penderita gangguan darah lainnya. Sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ketersediaan darah setidaknya 2 persen dari jumlah penduduk atau empat juta kantong darah untuk Indonesia.

”PMI baru mengumpulkan dua juta kantong darah,” ujar Kepala Subdivisi Hubungan Masyarakat PMI Ria Thahir.

Semakin banyak donor, semakin bertambah pula jiwa yang bisa tertolong. PMI dalam waktu dekat akan mendirikan 100 gerai di keramaian dan kampus guna mendekatkan pelayanan bagi penderma darah.

Suwandi harus menunggu pulih agar dapat menjadi donor kembali. Harapan Suwandi, ada orang lain yang tergerak mengisi tempatnya. (INDIRA PERMANASARI)***

Sumber : Kompas, Jumat, 11 Juni 2010 | 04:16 WIB

Pelayanan Kesehatan Jangan Diskriminatif

Dokter Jabar Terbelit Persoalan Etika dan Moral

Pelayanan Kesehatan Jangan Diskriminatif

BANDUNG - Masyarakat saat ini meragukan sejumlah praktik dokter di Jawa Barat menyangkut penerapan etika dan moral dalam pelayanan kesehatan. Hal itu, antara lain, ditunjukkan dengan makin maraknya tuntutan malapraktik terhadap dokter atau rumah sakit serta pelayanan kesehatan yang dinilai lebih berorientasi bisnis daripada pelayanan sosial.

Hal itu mengemuka dalam sarasehan yang diadakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Barat, Selasa (8/6) di Grha Kompas Gramedia, Bandung.

Tema sarasehan ialah "Peran Dokter Indonesia di Masa Lalu, Masa yang Akan Datang, sebagai Agent of Treatment, Agent of Social Development, dan Agent of Change".

"Persoalan itu memang menjadi hal yang berusaha kami benahi dan kritisi terus-menerus. Tuduhan malapraktik dan pelayanan kesehatan yang buruk terhadap pasien di Jabar sebenarnya lebih banyak dikarenakan komunikasi yang tidak baik antara dokter dan pasien," kata Wawang S Sukarya, Ketua IDI Wilayah Jabar.

Dokter sering kali tidak mampu menjelaskan dengan baik kondisi penyakit pasien ataupun tindakan pengobatan yang dilakukan. Akibatnya, pasien merasa kurang diberi informasi tentang kondisi yang dialaminya. Hal itu kemudian berujung pada keragu-raguan atas tindakan medis yang diambil dokter. "Tuntutan malapraktik dari pasien itu pun setelah diperiksa akhirnya banyak yang tidak terbukti," kata Wawang.

Meski demikian, ia banyak menemui dokter yang melanggar aturan praktik. Menurut aturan, seorang dokter maksimal diperbolehkan membuka praktik di tiga tempat. Namun, di lapangan banyak ditemui dokter yang memiliki lebih dari tiga tempat praktik, yakni dengan memalsukan surat tanda registrasi (STR).

STR dokter dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang berpusat di Jakarta. Tanpa STR, seorang dokter tidak bisa membuka praktik. Dokter yang akan berpraktik juga harus mendapatkan rekomendasi dari IDI di tingkat cabang. Data IDI menunjukkan, jumlah dokter di Jabar lebih dari 10.000 orang.

Pelanggaran etik dan moral lain yang ditemui di lapangan ialah aktivitas penjualan obat melalui pemasaran berjaringan (multilevel marketing) oleh dokter praktik.

Berorientasi bisnis

Namun, hal paling substansial dari pelanggaran etika kedokteran ialah pemberian layanan kesehatan yang diskriminatif. Noorman Herryadi, anggota IDI yang juga pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, mengatakan, sejumlah kebijakan pemerintah di bidang kesehatan justru tidak memihak rakyat miskin.

"Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), misalnya, sangat tidak etis. Rakyat miskin hanya diberikan obat-obatan tertentu dan setelah itu mereka dipulangkan paksa," ujar Noorman.

Hadi Susiarno, perwakilan Perkumpulan Dokter Obstetri dan Ginekologi Indonesia, berpendapat, 70-80 persen dokter belum profesional. "Moral dokter tergeser karena persaingan antardokter dan kemajuan teknologi. Kemajuan peralatan kedokteran hanya dijadikan alat untuk memancing pasien," katanya.

Ketua Pengurus Besar IDI Prijo Sidipratomo mengatakan, mahalnya pendidikan kedokteran turut memengaruhi pergeseran dan etika dokter. "Namun, zaman dulu, di era kebangkitan nasional, dokter-dokter meskipun berasal dari kalangan priayi tetap rela meninggalkan kemewahan demi kemerdekaan bangsa. Semangat seperti itu harus ditumbuhkan kembali," katanya. (REK)***

Sumber : Kompas, Rabu, 9 Juni 2010 | 15:42 WIB

Puisi Zaim Rofiqi

Puisi Zaim Rofiqi

Telepon

Entah berapa lama aku tidur.

Aku bermimpi tidur panjang, sangat panjang, lalu sebuah

telepon berdering menggetarkan seisi ruangan dan aku tersentak

terbangun.

Kuangkat gagang telepon itu, “Halo, halo?”

Tak ada jawaban.

Hanya suaraku yang terdengar gagap,

gemanya terus-menerus memantul di seluruh ruangan hingga

membuatku tak bisa kembali tidur.

Aku masih terjaga mendengar gema suaraku sendiri ketika

menjelang subuh aku terbangun karena dering telepon yang

mengabarkan kematian kembaranku.

Di luar, jarum-jarum gerimis mulai menusuki kaca jendela

kamarku.

2009

—AndrĂ¡s Gerevich

Aku terbang di dalam mimpiku.

Aku bermimpi tidur panjang, begitu panjang, lalu seleret

halilintar berpijar diikuti sebuah dentuman besar menggelegar

dan aku tersentak terbangun, lalu terbang.

Mulanya aku hanya berputar-putar di atas tempat tidurku, turun,

naik, turun, naik, dengan keseimbangan yang tak pernah

kumiliki sebelumnya, lalu melesat ke kiri, ke kanan, berkitar-

kitar ke seluruh sudut mengamati seluk beluk kamar yang entah

telah berapa lama aku tinggali: aku telusuri dinding-dinding

kamar dari batu bata dan kayu itu. Di beberapa bagian

kutemukan cat dinding yang mulai terkelupas dan berbercak,

juga beberapa kayu yang mulai keropos karena rayap. Kumakan

dua-tiga rayap yang ada di salah satu kayu di sudut langit-langit,

lalu aku melesat ke atas meja, hinggap di atas sebuah dompet, di

depan sebuah pigura rotan yang terpelitur mengilat. Selembar

foto tua menghampar di dalam pigura itu. Cukup lama kuamat-

amati foto itu: dua perempuan dan tiga laki-laki saling

berangkulan. Wajah mereka semua menyeringai, kecuali satu

lelaki yang ada di ujung kanan. Aku merasa mengenal wajah itu,

tapi telah lupa siapa.

Bosan dengan pigura dan foto, aku beralih berkitar-kitar di atas

sebuah rak buku di sudut kamar. Dua buku besar bersampul

merah dan putih menarik perhatianku. Aku mendekat, dan

hinggap di atas sebuah cangkir plastik yang berdiri di atas salah

satu buku di rak itu. Namun, ups, cangkir plastik itu ternyata tak

kuat menahan berat tubuhku. Sebelum melesat, aku masih

sempat melihat air dari cangkir itu luber membasahi buku merah

dan putih itu, juga beberapa buku lain di kanan kiri mereka.

Aku kembali hinggap di atas meja, lalu melesat menuju sebuah

kursi di tengah ruangan. Beberapa saat berdiri di atas kursi itu,

aku merasa bingung apa yang harus kulakukan. Betapa besar

kursi ini, pikirku. Begitu besarnya hingga aku merasa ia bisa

menopang sepuluh atau lima belas kali lipat berat tubuhku,

bahkan mungkin lebih. Aku meloncat-loncat di atasnya. Seekor

semut terlihat menuruni sandaran kursi, dan dalam sekali gerak

aku berhasil menyambar makhluk kecil itu. Kembali aku berdiri

di atas kursi kayu itu, menoleh ke kiri ke kanan, ke atas ke

bawah, dan perlahan kusadari betapa luas ruangan tempat aku

dan kursi ini berada. Meski begitu, beberapa saat kemudian, aku

mulai merasa tak betah berada di tengah-tengah keluasan ini.

Ruangan ini begitu luas, dan mungkin sanggup menampung

ratusan, bahkan mungkin ribuan makhluk sebesar diriku, dan

aku mungkin bisa melakukan apa saja yang ingin kulakukan di

sini. Namun entah mengapa aku merasa ingin segera keluar dari

sini. Sesuatu di luar ruangan berdinding batu bata dan kayu ini

mungkin lebih menarik dibanding segala sesuatu yang ada di

sini, pikirku.

Melewati pintu kamar tidurku, aku sampai di ruang tamu.

Setelah melayang-layang mengelilingi ruang itu beberapa kali,

aku lalu hinggap di atas sandaran sebuah sofa panjang di tengah

ruangan. Sambil meloncat-loncat kecil menyusuri sandaran

berlapis beludru itu, aku perhatikan semua hal di ruangan ini,

dan tak lama kemudian perhatianku tersedot pada lantai yang

menopang semua benda di situ: lantai di bawah sofa tempatku

bertengger tampak putih bersih, satu dua kilau yang kadang

berkelebat membuatku tertarik mendekatinya. Beberapa saat

berdiri di atas lantai itu, aku melihat beberapa ekor semut

berjalan terburu, masing-masing memanggul sesuatu yang putih

di kepalanya. Begitu barisan itu mendekati kakiku, aku menjadi

tertarik menyantapnya. Namun tepat ketika aku hendak

menyambar salah satu dari semut-semut itu, dari bawah

tempatku berdiri ada sesosok makhluk asing yang tampaknya

juga ingin menyantap semut itu. Aku tersentak, dan langsung

melesat ke sudut kanan atas ruangan itu, lalu hinggap di atas

sebuah jam dinding tepat di atas pintu masuk. Di samping kanan

dan kiri jam dinding itu tergantung dua buah ukiran kayu

dengan motif dan bentuk yang hampir sama. Aku merasa begitu

akrab dengan kelak-kelok menyerupai huruf dalam kedua ukiran

itu, namun setelah silih berganti menatap dan mengamati

keduanya, aku masih saja gagal mengerti apa makna kelak-kelok

dalam kedua ukiran itu.

Dan ruangan ini pun segera membuatku bosan. Hamparan

berlantai putih bersih ini begitu indah dan megah, dan memiliki

cukup banyak hiasan yang menjadikannya tak tampak lompong

dan lengang: jam dinding yang mengeluarkan bebunyian setiap

satu jam, sofa beludru, ukiran nama dari kayu, vas bunga cantik,

guci antik, dan benda-benda lain yang tak mungkin kusebut satu

per satu. Dan aku mungkin bisa melakukan apa saja yang ingin

kulakukan dengan benda-benda itu. Namun aku merasa ada

sesuatu dalam diriku yang terus-menerus mendesakku untuk

segera keluar dari ruangan ini. Sesuatu yang mungkin ada di luar

bentangan berlantai putih bersih berkilau ini mungkin lebih

menarik ketimbang segala sesuatu di sini, pikirku. Dan aku pun

kembali memutari ruangan, mencari-cari apakah ada

kemungkinan keluar dari situ. Benar saja, tak lama kemudian

kutemukan lubang angin di atas pintu, yang tampaknya cukup

besar untuk aku lewati. Dan aku pun melesat meninggalkan

ruang itu, ke luar, ke sebuah wilayah tak berdinding tak beratap.

Di pagi hari, kamar tidurku dan ruang tamu itu penuh bulu-bulu

lembut ringan yang tertabur di mana-mana. Dan, dengan mata

terkatup, seonggok bangkai burung hitam terhampar di atas

keset di depan pintu masuk. Seekor kucing bersijingkat

mendekat mengendus-endus kakiku. Dengan riang, dengan salah

satu kaki depannya, dia menyentuh-nyentuh sayapku.

Di luar, hujan mengucur deras.

2009-2010

Zaim Rofiqi menulis puisi, cerita pendek, esai, dan menerjemahkan buku. Buku kumpulan puisinya berjudul Lagu Cinta Para Pendosa (2009).

Sumber : Kompas, Minggu, 22 Agustus 2010 | 03:51 WIB