RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Minggu, 24 Oktober 2010

Manusia Prasejarah di Karst Citatah

ARKEOLOGI

Manusia Prasejarah di Karst Citatah

Petugas Balai Arkeologi Bandung dibantu masyarakat dan Balai Kepurbakalaan, Sejarah, dan Nilai Tradisional melakukan penggalian di Goa Pawon, Padalarang, Jawa Barat, Rabu (25/8). Pada penggalian 23 Agustus-2 September ditemukan berbagai peralatan manusia prasejarah. (KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG)***

Oleh Cornelius Helmy

”Nu maot diurus nu hirup ditalantarkeun.” Kata-kata dalam bahasa Sunda, yang artinya: yang mati diurus tapi yang hidup ditelantarkan, itu kerap didengar para arkeolog dan peneliti beberapa tahun belakangan ini saat terlibat dalam pelestarian kawasan Karst Citatah, Bandung Barat.

Namun, hal itu tidak menyurutkan niat mereka untuk terus bergelut dengan sesuatu yang mereka yakini. Ada kehidupan yang hilang di Karst Citatah.

Lewat penggalian terus-menerus, Balai Arkeologi (Balar) Bandung kembali menemukan apa yang mereka cari. Mereka menemukan ribuan alat dari batu obsidian dan tulang mamalia dalam lapisan tanah dengan rentang kronologi 5.600-9.500 tahun lalu. Alat-alat itu diduga digunakan manusia prasejarah di sana untuk kegiatan sehari-hari. Alat itu berupa pisau, bor, penyerut, bahkan mata tombak. Juga ditemukan perhiasan dari taring binatang, kulit kerang, dan gigi ikan hiu.

”Semua digunakan manusia prasejarah Goa Pawon karena tahun asalnya sama,” ujar arkeolog Balar Bandung Lutfi Yondri, yang ditemui saat penggalian dasar Goa Pawon di tahun 2010, akhir Agustus lalu.

Penelitian ini merupakan rangkaian aktivitas penelitian arkeologi sejak tahun 2003. Setelah tim Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) menggali dan menemukan beberapa benda dari gerabah, obsidian, dan tulang binatang di Goa Pawon tahun 2000, Balar Bandung lalu menindaklanjutinya tiga tahun kemudian dan menemukan temuan lebih besar.

Mereka menemukan sisa rangka manusia yang lalu disebut dengan inisial R (Rangka)—dengan nomor urut berdasar urutan penemuan. Rangka R1 hanya terdiri dari atap tengkorak, rahang bawah, rahang atas yang diwarnai dengan hematid (pewarna merah) di kedalaman 80 cm. Ada juga R2— tulang tengkorak belakang.

Penggalian tahun 2004, tim Balar Bandung gembira bukan kepalang karena menemukan R3—rangka manusia dalam posisi terlipat (flexed) di kedalaman 143 cm. Dilihat dari posisi melipat, itu adalah pemakaman kuno. Walau saat ditemukan kondisinya sudah sangat rapuh, penemuan itu hingga kini adalah yang terbesar di Jabar. Di lapisan bawah dari temuan R3, ditemukan R4 tapi tidak seutuh R3. Rangka ini terdiri dari bagian tengkorak, dan tulang-tulang bagian badan, serta lengan-yang amat rapuh.

Sempat kosong setahun, di tempat yang sama tim mengembangkan penggalian, membuka kotak-kotak ekskavasi baru. Hasilnya, ditemukan tulang tungkai, rahang atas dan bawah—R5. Lutfi mengatakan, penggalian terbaru menguatkan fakta dari penemuan sebelumnya di Jabar atau daerah lain di Pulau Jawa, yaitu soal pola migrasi manusia prasejarah.

Temuan itu membuktikan manusia prasejarah pernah tinggal di Jawa Barat. Sebelumnya para ahli menarik jalur garis migrasi dari Asia ke Pulau Jawa langsung ke Jawa Tengah.

Ketika dicocokkan dengan kebiasaan manusia prasejarah di beberapa karst di Jawa Timur dan Jawa Tengah, terlihat ada kemiripan. Penguburan manusia terlipat juga ditemukan di Song Keplek di Pacitan, Jawa Timur (usia: 5.900 tahun lalu); Song Gentong di Tulungagung, Jawa Timur (8.760 tahun lalu); Song Terus di Pacitan, Jawa Timur (9.200 tahun lalu); dan Goa Braholo di Gunung Kidul, Yogyakarta (9.780 tahun lalu).

Dari orientasi arah penguburan, manusia prasejarah di Song Gentong memiliki pola sama. Kedua kuburan mengarah ke barat laut tenggara. Proses pewarnaan dengan hematid juga dilakukan pada temuan di Song Keplek. Besar kemungkinan mereka memiliki garis keturunan sama yang terus menjauh dari tempat asalnya karena kebutuhan perburuan hewan. Mereka berpindah seiring migrasi hewan buruan.

Fakta lain, manusia prasejarah Pawon gemar menjelajahi daerah yang jauh dari tempat tinggalnya. Contohnya, penemuan batu obsidian hanya ada di sekitar Nagreg, Kabupaten Garut, dan di sekitar Subang. Jarak antara Nagreg dan Goa Pawon sekitar 30 kilometer. Dengan penemuan itu, bisa dipastikan bahwa manusia prasejarah Pawon melakukan perjalanan panjang mencari batu obsidian.

Pada penemuan gigi hiu dan kerang, 5.600-9.500 tahun lalu diperkirakan laut terdekat dengan Goa Pawon ada di Pantai Subang-sekitar 40 km dari Goa Pawon. Menarik diteliti bahwa mereka memiliki sistem navigasi atau penanda tertentu agar mereka bisa pulang.

”Bukan tidak mungkin, manusia prasejarah di Jatim dan Jateng awalnya adalah bagian dari manusia prasejarah Jabar yang memiliki pola migrasi untuk bertahan hidup,” ujarnya.

Dengan penemuan itu, Lutfi semakin bersemangat menggali di sekitar Goa Pawon untuk melihat kemungkinan adanya bekas kegiatan yang sama atau lebih tua. Ia yakin ada semacam permukiman di Jabar, setidaknya ditemukan kerangka manusia prasejarah lain. Sasarannya adalah goa kapur di sekitar Pawon. Data mahasiswa pencinta alam Ganesha ITB menyatakan, tidak kurang 50 goa kapur ada di pegunungan Rajamandala.

Salah satu bukti adalah temuan serpihan tulang manusia di Goa Tanjung—sekitar 300 meter dari Goa Pawon—tahun 2009. Setelah penelitian lanjutan, ditemukan 7-8 fragmen tulang kaki manusia, panjang 20-30 cm. Usia tulang diperkirakan sama dengan usia manusia Pawon.

Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Tony Djubiantono mengatakan, penelitian lanjutan bisa menjadi aktivitas penting mengungkap perkembangan manusia prasejarah di Indonesia. Ia menyambut baik niat Balar Bandung terus meneliti untuk mengungkap misteri manusia prasejarah di Indonesia. Namun, usaha itu tidak akan mudah mendapat hasil. Mereka harus adu cepat dengan perusakan dan eksploitasi kawasan kapur. Geolog Institut Teknologi Bandung Budi Brahmantyo mengatakan, mayoritas goa-goa kapur di Karst Citatah terancam rusak akibat penambangan. Lemahnya peraturan hukum turut memengaruhi.

”Aturan seperti UU No 24 Tahun 1992 tentang Perlindungan Kawasan Karst, UU No 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya, dan niat Pemerintah Kabupaten Bandung Barat untuk melindungi Karst Citatah tidak terlihat kekuatannya,” ujar koordinator KRCB ini.

Ketua Masyarakat Geografi Indonesia T Bachtiar mengatakan, setidaknya beberapa goa kapur di kawasan Karst Citatah dalam kondisi kritis. Goa itu ada di Pasir Bancana, Pasir Masigit, dan Gunung Hawu.

Goa di Pasir Bancana adalah goa buntu berbentuk vertikal dan horizontal. Saat ini goa itu rusak di sisi timur, barat, dan utara. Goa di Pasir Masigit adalah goa vertikal, dan kini rusak di sisi timur, utara, dan selatan. Juga goa vertikal dan horizontal di Gunung Hawu yang kini rusak di sisi timur. Bachtiar mengatakan, bila rusak dan hancur tentu sangat merugikan masyarakat Jabar di berbagai bidang. Ini merupakan bukti minimnya penjagaan tempat bersejarah, hilangnya aspek pendidikan dan potensi wisata. Ia menerangkan, minimnya penjagaan terhadap empat goa itu pasti berpengaruh pada usulan Jabar yang ingin Goa Pawon menjadi warisan dunia UNESCO.

”Padahal, apabila bisa dimanfaatkan dengan baik, potensi wisata dari kematian manusia prasejarah dan lokasi tempat tinggalnya bisa membuat warga di sekitarnya sejahtera. Bukan lagi anggapan hanya memikirkan yang sudah mati. Hal itu sudah dipraktikkan di negara maju seperti Jepang, Belanda, dan Perancis,” ujar Bachtiar.***

Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010 | 04:35 WIB

BANDUNG MAWARDI : Kita yang Kehilangan "Rasa"

TEROKA

Kita yang Kehilangan "Rasa"

Oleh BANDUNG MAWARDI

Elite politik, pengusaha, birokrat, atau priayi saat ini sudah kehilangan rasa. Mereka tampak tak memiliki biografi kultural dan spiritual, biografi diri dalam asuhan nilai-nilai dan hikmah abadi. Apakah ini efek dari mekanisme dadi wong (menjadi orang) yang didasarkan pada rasionalitas modern, kepatuhan institusional, tatanan sosial global, atau standardisasi profesionalitas? Belum ada jawaban yang teruji untuk itu. Namun, ada gelagat kuat, hilangnya rasa menjadi indikasi terjadinya kerapuhan manusia modern. Oase kosmologis sirna, tergantikan modul-modul hidup modern yang homogen, terdiktekan oleh nabi-nabi modernitas.

Apakah kita merasa kehilangan rasa? Kenyataan politik, ekonomi, hukum, sosial, pendidikan, dan kultural menunjukkan pada kita bagaimana rasa tak pernah masuk dalam agenda dan pengalaman hidup, pengalaman menjadi manusia modern. Rasa mirip konsep yang kuno, istilah yang mengingatkan kita pada kegelapan masa lalu. Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) mencatat perihal rasa sebagai konsep yang identik dengan kehidupan kalangan priayi, kalangan kuno. Konon, tatanan kehidupan priayi di Jawa ditentukan tiga titik keutamaan: etiket, seni, dan mistik. Dan, rasa dalam tatanan itu merupakan inti eksistensi kepriayian.

Rasa bukan sekadar rasa, perasaan, sensasi lahiriah, indrawi, tapi rasa adalah makna puncak, nilai tertinggi. Rasa adalah hidup itu sendiri. Orang Jawa memahami rasa untuk menandai pengalaman utuh lahir dan batin. Rasa malah jadi sumber dari konstruksi pandangan dunia. Tafsiran Geertz yang melekatkannya dengan dunia priayi menciptakan terkesan diskriminatif dan mengabaikan situasi dan pengalaman kultural untuk kelas-kelas sosial yang lain. Ketimpangan ini cukup memengaruhi kelanjutan kisah rasa dalam dunia modern yang merasuk dan mengubah tatanan sosial-kultural-politik di Jawa, setidaknya secara hebat sejak tahun 1950-an.

Religiusitas ”rasa”

Religiusitas dianggap memberi ciri pada rasa dalam pandangan dunia Jawa (Reksosusilo, 1983: 129-133). Dalam bahasa Sanskerta, misalnya, rasa diartikan sebagai air, sari, inti, dan suara suci. Piageud (1960) memunculkan petikan teks keagamaan dan hukum pada abad XIV yang bisa jadi rujukan arti: Makatanggawa rasagama ri sang hyang kuataramanawadi (rasa menjadi inti atau pokok ajaran agama, norma, dan perbuatan).

Petikan lain yang mengena: hanut rasaning rajamudara iku ta suma (rasa adalah arti yang dalam, yang mengikat, dan menentukan tindakan). Rasa dalam teks Negarakertagama juga muncul dengan arti pengalaman keagamaan yang dalam. Pewacanaan rasa terus disemaikan dalam pelbagai sastra Jawa. Teks Wedhatama garapan Mangkunegara IV mengartikan rasa merupakan titik pertemuan antara manusia dan Tuhan.

Makna rasa pun memancar dalam hidup keseharian tanpa harus membedakan diri sebagai santri, abangan, priayi, politisi, pujangga, birokrat, atau intelektual. Pemberian arti rasa dalam keseharian dieksplorasi dalam wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962). Rasa adalah pijakan dari kawruh jiwa (ilmu dan pengalaman hidup). Ki Ageng Suryomentaram mengakui rasa sebagai modal seseorang menjadi manusia tanpa ciri-ciri yang sektarian, egois, dan fanatik. Rasa justru membuat orang bebas dan merasa diri dalam universalitas karena kemauan menjadi manusia utuh, lahir dan batin.

Pengertian rasa itu membuat para ahli Jawa (Niels Mulder, Franz Magnis-Suseno, Drijarkara, dan Paul Stange) sibuk mencari legitimasi kultural dan spiritual. Penjelasan lumayan terang bisa ditemukan dalam geliat kebatinan di Jawa pada 1950-an. Rasa adalah kebatinan. Di saat itu, kehidupan menemukan dasar-dasar pembenaran dan penyuciannya dalam rasa.

Ambisi kekuasaan, keserakahan atas modal, arogansi sosial, hegemoni teknologi bisa ditanggapi dengan rasa. Penolakan atau penerimaan tak pernah mutlak, tapi diacukan kembali pada rasa sebagai manusia dengan pengalaman kultural-religiusitas.

Paul Stange dalam Kejawen Modern (2009) melihat fondasi rasa atau rasa pangrasa, intuisi hidup, ikut menentukan pemuliaan spiritualitas dalam pelbagai aktivitas hidup di Jawa seusai kemerdekaan. Harmoni merupakan kodrat hidup yang mesti disemaikan dengan rasa. Tapi, belakangan mekanisme hidup dan eksistensi ini hampir punah. Rasa dihilangkan dari agenda kehidupan modern. Rasa menjadi sekadar nostalgia usang.

Ledekan ayam

Penyingkiran atau penghilangan rasa itu terjadi begitu saja, tapi dilakukan secara sistematis karena perubahan dalam ikatan relasional dalam keluarga, paket politik-demokrasi global, pembangunanisme berorientasi pasar, sistem pendidikan yang amburadul, dan sensasi atas hidup yang kian mekanis-teknologis. Kita kehilangan rasa karena dikehendaki, semata karena dianggap harus diganti oleh modul modernitas. Rasa lekas tergantikan dengan konsep-konsep psikologi dan agama yang terbaratkan, dicerabut dari akar kultural Jawa. Sains dan teknologi modern turut mempromosikan pemujaan nalar dalam lupa rasa.

Kita memerlukan model pendidikan humaniora dan pembelajaran kultural yang memuliakan hidup. Rasa tak bisa diajarkan melalui kurikulum pendidikan, instruksi politik, atau indoktrinasi hidup kemodernan. Pendidikan humaniora sejak lama dipraktikkan dalam masyarakat Jawa.

Rasa ada untuk menyemai kehidupan dan membuat manusia pantas dikatakan sebagai manusia. Konon, orang Jawa kalau belum dadi Jawa karena gagal dalam olahrasa bakal merasa malu. Ungkapan Jawa untuk orang yang malu itu sangat mengena, diguyu pitik alias ditertawakan ayam, diledek oleh binatang yang setiap hari menjadi santapannya. Atau kita memang siap menjadi ayam karena kita melalaikan kehilangan rasa?

BANDUNG MAWARDI,

Pengelola Bales Sastra Kecapi dan Jagat Abjad Solo

Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010 | 04:30 WIB

Ada Air di Kutub Selatan Bulan

Ada Air di Kutub Selatan Bulan

Peneliti Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menemukan adanya oase yang kaya air di Bulan. Temuan itu diperoleh dari eksperimen yang dilakukan dengan menjatuhkan roket dan wahana LCROSS ke kawah Cabeus di dekat kutub selatan Bulan pada 9 Oktober 2009. Hamparan tanah Bulan yang terkuak menunjukkan adanya berbagai jenis senyawa kimia, seperti air dalam bentuk uap dan es sebesar 5 persen, senyawa volatile yang mudah menguap sebanyak 20 persen, dan sejumlah logam. Senyawa-senyawa ini diperkirakan dari tubrukan Bulan dengan komet atau asteroid jutaan tahun lalu. ”Setiap ekstraksi 1 ton material bulan dihasilkan 11-12 galon air,” kata Anthony Colaprete dari Pusat Penelitian Ames, NASA, seperti diberitakan BBC News, Kamis (21/10). Air es yang ada tak terdistribusi merata di kutub selatan Bulan, tetapi hanya terfokus pada bagian bawah kawah bulan yang tidak pernah terkena sinar matahari hingga suhunya mencapai minus 244 derajat celsius. ”Wilayah yang disebut area beku permanen bulan ini sangat luas,” tambah David Paige, peneliti lainnya. (BBCNEWS/MZW)***

Bintik Macan Tutul Bentuk Adaptasi

Pola kulit, warna, dan kompleksitas yang muncul pada kelompok binatang kucing liar, seperti bintik-bintik pada macan tutul (leopard) atau garis-garis pada harimau, merupakan bentuk kamuflase binatang tersebut yang menyesuaikan dengan habitatnya. Pengujian yang dilakukan sebuah tim di Inggris terhadap 37 spesies kucing liar menunjukkan kucing yang tinggal di pohon dan aktif pada kondisi cahaya kurang umumnya memiliki pola kulit yang kompleks dan tidak teratur. William Allen dari University of Bristol, pemimpin studi kepada BBC News, Rabu (20/10), mengatakan, selain terkait habitat, pola kulit itu juga dipengaruhi oleh gen. Temuan ini juga membantah teori sebelumnya bahwa pola kulit pada kucing liar merupakan alat untuk menarik lawan jenis atau penentu status sosial di antara mereka. Hal itu tidak terwujud karena pola kulit pada kucing liar jantan dan betina sama serta dan pada harimau pola kulit di antara jenis itu tidak berbeda. (BBCNEWS/MZW)***

Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010

Penggunaan Obat Generik Sulit Ditingkatkan di RS

OBAT GENERIK

Penggunaan Obat Sulit Ditingkatkan di RS

JAKARTA - Penggunaan obat generik masih sulit ditingkatkan penggunaannya di rumah sakit. Penggunaan obat generik masih lebih banyak di puskesmas.

Hal itu terungkap dalam temu media terkait satu tahun kinerja Kementerian Kesehatan, Jumat (22/10). Penggunaan obat generik di rumah sakit 57,18 persen—meningkat sekitar 7 persen dibanding tahun 2009 sebesar 50,6 persen. Sementara penggunaan obat generik di puskesmas jauh lebih tinggi, yakni 96 persen atau meningkat dibanding tahun lalu yang penggunaannya sebesar 95 persen. Dari ketersediaan meningkat menjadi 14,2 bulan dari tahun lalu 12,6 bulan.

Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan, sulit menaikkan penggunaan obat generik di RS antara lain karena kesetiaan dokter menggunakan obat-obat tertentu. Dia mengatakan, ke depan, dengan adanya sistem INA DRG, jenis obat yang digunakan tidak lagi menjadi masalah—yang penting harganya tidak jauh berbeda dari generik.

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Sri Indrawaty mengatakan, rumah sakit telah menggunakan formularium dan belum sepenuhnya menggunakan obat generik. ”Sebagian dokter masih meragukan mutu obat generik. Oleh karena itu, strategi Kementerian Kesehatan dalam memperluas penggunaan obat generik antara lain akan mengunggulkan mutu,” ujarnya.

Pemerintah juga mendorong perusahaan farmasi memproduksi obat generik. Saat ini 70 persen penyakit telah ada obat generiknya. Kurang diminatinya produksi obat generik karena harganya murah. Untuk itu, pemerintah merasionalisasi harga untuk obat jenis tertentu. Tahun ini sebanyak 106 obat turun harga, 314 obat tetap harganya, dan 33 obat naik harga. (INE)***

Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010 | 04:34 WIB

Wabah Kolera Telah Tewaskan 142 Orang Haiti

HAITI

Wabah Kolera Telah Tewaskan 142 Orang

ST MARC, Jumat - Setelah gempa bumi hebat pada Januari lalu, yang menelan korban 230.000 jiwa, kini Haiti dilanda wabah kolera. Tercatat 142 jiwa di Haiti utara tewas dan setidaknya 1.000 orang terinfeksi wabah ini.

Wabah itu merebak dalam beberapa hari terakhir, tetapi belum mencapai kamp-kamp besar pengungsi di sekitar ibu kota Port-au-Prince, yang diporakporandakan gempa yang menyebabkan 1,2 juta orang kehilangan tempat tinggal.

Namun, para pejabat mengkhawatirkan, wabah di kamp-kamp pengungsi yang sanitasinya parah dan fasilitas kesehatannya tak memadai itu bisa menyebabkan bencana kesehatan masyarakat.

Wabah di kawasan Artibonite di pedesaan yang menjadi tempat berlindung ribuan pengungsi gempa itu tampaknya mengonfirmasikan kekhawatiran organisasi-organisasi bantuan kemanusiaan mengenai sanitasi bagi para korban gempa di kamp-kamp pengungsi.

”Sudah sejak lama kami mengkhawatirkan ini sejak gempa bumi,” kata Robin Mahfood, Ketua Food for the Poor, yang bersiap mengirim sumbangan antibiotik, oralit, dan pasokan-pasokan lain. Banyak dari korban yang sakit berkumpul di RS St Nicholas di kota pantai St Marc, di mana ratusan pasien berbaring di atas selimut di tempat parkir dengan infus.

Catherine Huck, Deputi Direktur Kantor PBB Koordinasi Urusan Kemanusiaan di Haiti, mengatakan, Kementerian Kesehatan negara itu telah mencatat 142 orang tewas dan lebih dari 1.000 orang terinfeksi.

”Menurut hasil analisis di laboratorium, itu memang kolera,” kata Claude Surena, Ketua Persatuan Dokter Haiti.

Rumah sakit kewalahan

Menurut Gabriel Timothe, Dirjen pada Kementerian Kesehatan Haiti, rumah-rumah sakit dan pusat-pusat media di kawasan Arbonite kewalahan menangani gelombang pasien.

Kolera adalah infeksi bakteri yang ditularkan melalui air yang tercemar. Penyakit itu menyebabkan diare dan muntah parah yang bisa menyebabkan dehidrasi dan kematian dalam hitungan jam. Pengobatan bagi penderita di antaranya memberi serum rehidrasi.

Tak ada wabah kolera dilaporkan di Haiti selama puluhan tahun sebelum gempa bumi itu, menurut Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit AS. Para pejabat Haiti, termasuk Presiden Rene Preval, selama ini menunjuk pada tiadanya wabah penyakit yang parah sebagai keberhasilan dari respons gempa bumi.

Mereka yang sakit datang dari seluruh Lembah Artibonite, sebuah kawasan sawah dan gunung-gunung gundul. Daerah itu tidak mengalami kerusakan parah dalam gempa bumi pada 12 Januari itu, tetapi telah menyerap ribuan pengungsi dari ibu kota yang terletak 70 km sebelah selatan St Marc.

Truk-truk yang membawa pasokan medis, termasuk garam oralit, dikirim dari Port-au-Prince ke rumah sakit di St Nicholas itu, menurut jubir Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan. Para dokter di rumah sakit di ibu kota itu mengatakan, mereka juga memerlukan tambahan personel untuk menangani membanjirnya pasien.

Negara di laut Karibia yang miskin itu juga telah terserang banjir parah hari-hari belakangan ini, menambah kesengsaraan mereka yang berjuang di sejumlah kota-kota tenda yang menampung para pengungsi korban gempa bumi.

Jumlah korban tewas akibat wabah kolera diduga kuat masih akan meningkat. Masih banyak warga yang sedang menderita karena terjangkit kolera. Dalam hitungan jam, jumlah korban tewas diberitakan terus meningkat. Pada hari Kamis baru diberitakan bahwa jumlah korban tewas mencapai 54 orang dan sehari kemudian sudah mencapai 142 orang. (AP/AFP/DI)***

Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010 | 03:44 WIB

Baru 78 Perguruan Tinggi Lolos

Baru 78 Perguruan Tinggi Lolos

JAKARTA - Dunia kerja sekarang mengharuskan ijazah dengan program studi yang terakreditasi. Jika tidak, kecil peluang bisa diterima bekerja. Karena itu, calon mahasiswa harus hati-hati dalam memilih perguruan tinggi agar tak kecewa di kemudian hari.

”Dari sekitar 3.000 perguruan tinggi negeri dan swasta, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi baru melakukan akreditasi terhadap sekitar 78 institusi perguruan tinggi,” kata Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) Kamanto Sunarto di Jakarta, Jumat (22/10).

Kamanto mengatakan, akreditasi program studi sekarang ini bersifat wajib dan untuk melakukan akreditasi tidak dibebani biaya. ”Akan tetapi, sejumlah perguruan tinggi terkesan kurang antusias mengajukan dokumen akreditasi,” ujarnya.

Akreditasi, lanjut Kamanto, merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan membangun sistem manajemen mutu pada program studi dan institusi perguruan tinggi.

Untuk melakukan akreditasi itu, sejak 1994, BAN PT merupakan satu-satunya lembaga nasional independen yang memiliki tugas melakukan akreditasi pada perguruan tinggi di Indonesia.

Khusus untuk akreditasi program studi, sampai 2010, sambung Kamanto, dari 10.650 program studi yang diakreditasi, sebanyak 1.423 di antaranya mendapat peringkat A, 5.272 program studi peringkat B, dan 3.829 peringkat C. Sebanyak 126 program studi lainnya tidak terakreditasi.

Menurut data, ada sekitar 15.000 program studi yang dibuka di 3.000 perguruan tinggi negeri maupun swasta dan kedinasan. Tahun 2010, ditargetkan 4.000 program studi bisa diakreditasi, tetapi ternyata perguruan tinggi hanya mengajukan 2.500 program studi untuk diakreditasi. ”Entah mengapa pengelola perguruan tinggi kurang antusias mengajukan akreditasi. Padahal, tidak dikenakan biaya dan kami juga sudah menjalin kerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional,” ujarnya.

BAN PT, sambung Kamanto, tak bisa memaksa pengelola perguruan tinggi untuk mengajukan akreditasi. Namun, jika ingin dipercaya masyarakat, perguruan tinggi mestinya terakreditasi, baik institusi perguruan tingginya maupun program studinya.

Jumlah institusi dan program studi yang harus diakreditasi atau diakreditasi ulang, sambung Kamanto, selalu berubah. Ini disebabkan status akreditasi akan kedaluwarsa dalam lima tahun.

Di luar negeri harus bayar

Mantan Rektor Universitas Negeri Jakarta Anna Suhaenah, yang juga anggota BAN PT, mengatakan, di luar negeri akreditasi yang sudah diberikan selalu dipantau. Adapun biaya untuk akreditasi cukup mahal. Di Jepang, misalnya, untuk biaya akreditasi setiap perguruan tinggi 2 juta yen dan untuk setiap program studi biayanya 250.000 yen.

”Meskipun mahal, pengelola perguruan tinggi sangat antusias mengajukan akreditasi. Di Indonesia, meskipun gratis, pengelola perguruan tinggi kurang berminat mengajukan akreditasi,” ujarnya. Biaya untuk akreditasi ini, di Indonesia, masuk anggaran BAN PT meskipun anggarannya terbatas.

Selain akreditasi perguruan tinggi dan program studi, BAN PT juga mengakreditasi program pendidikan profesi. Untuk program pendidikan profesi akuntan, misalnya, sudah dilakukan sejak 2008, sedangkan akreditasi pendidikan dokter dan dokter gigi sedang diujicobakan. Instrumen akreditasi program pendidikan perawat, bidan, apoteker, dan psikolog sedang disusun. (NAL)***

Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010 | 04:29 WIB

Lomba Karya Tulis Kota Ramah Lingkungan

Solidaritas Sosial USD

Solidaritas sosial masyarakat Indonesia merupakan modal yang mampu menggerakkan kesejahteraan warga. Solidaritas sosial itu diangkat dalam Lustrum XI Universitas Sanata Dharma (USD) yang bertema ”Pengembangan Kekuatan-kekuatan Transformatif Masyarakat”. Budayawan yang juga Ketua Panitia Lustrum XI USD Yogyakarta G Subanar SJ mengatakan, kentalnya solidaritas sosial itu terlihat dari sejumlah kejadian, salah satunya adalah solidaritas uang receh untuk Prita beberapa waktu lalu. Di Yogyakarta, beberapa kegiatan juga didukung solidaritas masyarakat tersebut. ”Jogja Biennale tahun lalu, misalnya, dana dari pemerintah yang hanya Rp 100 juta dalam beberapa pekan menjadi bilangan miliar karena banyaknya sumbangan,” katanya di Yogyakarta, Jumat (22/10). Pada Lustrum XI USD 30 Agustus hingga akhir November, sejumlah kekuatan transformatif masyarakat itu akan ditampilkan. Salah satunya pameran seni rupa kaum difabel ”Difabel Palawijan Art Project D’Pal #1”. (IRE)***

Dewan Pengawas LPP TVRI Tetap Bertugas

Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI baru akan mengundurkan diri setelah mendapatkan surat resmi dari Komisi I DPR tentang alasan rencana pemberhentian. Pengunduran diri ini pun akan diajukan kepada Presiden sebagai pihak yang mengangkat Dewan Pengawas LPP TVRI. Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI Hazairin Sitepu guna menghindari mislead berkait berita Kompas (16/10) berjudul ”TVRI Tanpa Dewan Pengawas”. Menurut Hazairin, berdasar Pasal 21 PP No 13/2005 tentang LPP TVRI, pengunduran diri Dewan Pengawas baru berlaku efektif pada saat telah dikeluarkannya surat pemberhentian resmi dari Presiden. ”Selama dari Presiden belum ada surat pemberhentian sesuai peraturan perundang-undangan, Dewan Pengawas LPP TVRI tetap menjalankan tugas dan tetap memiliki kewenangan penuh sesuai peraturan yang berlaku,” tegas Hazirin. (POM)***

Lomba Karya Tulis Kota Ramah Lingkungan

Tahun ini, sebagai realisasi kampanye ”Go Green”, Mal Ciputra Jakarta kembali menyelenggarakan lomba artikel antarjurnalis bertema ”Membangun Kota yang Ramah Lingkungan”. Judul tersebut terkait dengan kegiatan di mal tersebut, yaitu pengumpulan botol plastik air mineral bekas. Sampah plastik ini akan dimanfaatkan untuk membentuk pohon natal raksasa setinggi 20 meter, yang akan dipajang selama peringatan Natal. Setelah itu, rangkaian botol ini akan didaur ulang. Karya tulis yang dikirim harus sudah dimuat di media massa umum terhitung 1 November-31 Desember 2010. Pemenang diumumkan 14 Januari 2011. Hadiah total untuk pemenang Rp 20 juta. Keterangan lebih lanjut ke Panitia Lomba Karya Tulis, 021-5662121. (*/YUN)***

Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010

Kamis, 21 Oktober 2010

HARI PENGLIHATAN SEDUNIA

Sumber : Kompas, Selasa, 19 Desember 2010

HARI PENGLIHATAN SEDUNIA

World Sight Day dan Vision 2020 di Indonesia

Oleh DR RIKI TSAN, SPM

Tidak banyak orang tahu bahwa Kamis kedua pada bulan Oktober diperingati sebagai World Sight Day. Tahun ini World Sight Day jatuh pada 14 Oktober dan diberi tema Countdown 2020.

World Sight Day (Hari Penglihatan Sedunia) adalah hari kepedulian internasional terhadap isu–isu global yang berkaitan dengan masalah kebutaan dan gangguan penglihatan yang diderita oleh penduduk dunia.

Angka 2020 pada tema Countdown 2020 mengingatkan kita kepada batas tahun di mana saat itu penduduk dunia terhindar dari masalah kebutaan serta diperolehnya hak memiliki penglihatan optimal yang lazim ditulis dengan notasi 20/20.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO ) menyebutkan, setidaknya 40 juta-45 juta orang menderita kebutaan. Dilaporkan, setiap tahun tak kurang dari 7 juta orang mengalami kebutaan—setiap 5 menit sekali ada satu penduduk bumi menjadi buta dan satu anak mengalami kebutaan setiap 12 menit. Ironisnya, sekitar 90 persen penderita kebutaan dan gangguan penglihatan ini hidup di negara-negara miskin dan terbelakang.

Menurut perhitungan WHO, tanpa ada tindakan apa-apa, diperkirakan pada 2020 jumlah penduduk dunia penderita kebutaan menjadi dua kali lipat, 80 juta hingga 90 juta orang. Kenyataan ini sangat kontradiktif di tengah gencarnya seruan pentingnya hak asasi manusia. Tak dapat disangkal, hak memperoleh penglihatan yang optimal (right to sight) merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus dijamin ketersediaannya.

Fakta memperlihatkan, sekitar 75 persen penyebab kebutaan termasuk ke dalam avoidable blindness—penyebab kebutaan yang sebetulnya dapat dihindarkan.

Dengan latar belakang itu muncul program ”Vision 2020: Right to Sight”, bertujuan mengurangi jumlah penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan. Ada sembilan penyakit mata utama yang merupakan avoidable blindness, yaitu katarak, trakom, onkosersiasis, kebutaan pada anak, kelainan tajam penglihatan, low vision, glaukoma, retinopati diabetika, dan age-related macular degeneration (ARMD).

Vision 2020 memperoleh komitmen politik kuat ketika pada World Health Assembly ke-56, tahun 2003 disahkan lewat resolusi WHA56.26, ”Elimination of Avoidable Blindness”. Lebih dari 40 negara menandatangani resolusi ini, termasuk Indonesia. Bagaimana implementasinya di Indonesia?

Renstranas PGPK

Survei Indra Penglihatan dan Pendengaran pada 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5persen—paling tinggi di Asia. Angka kebutaan Banglades 1 persen, India 0,7 persen, dan Thailand 0,3 persen. Jika ada 12 penduduk dunia buta setiap satu jam, empat orang di antaranya berasal dari negara di kawasan Asia Tenggara dan satu orang dipastikan penduduk Indonesia.

Menurut Kementerian Kesehatan RI, penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78 persen), glaukoma (0,12 persen), kelainan refraksi (0,14 persen), dan penyakit-penyakit lain terkait usia lanjut (0,38 persen). Jumlah penderita katarak di Indonesia berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut yang pada tahun 2000 diperkirakan 15,3 juta (7,4 persen total penduduk). Berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, tahun 2025 penduduk usia lanjut meningkat 414 persen dibandingkan 1990. Masyarakat Indonesia juga berkecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di daerah subtropis. Sebanyak 16 persen-22 persen penderita katarak dioperasi sebelum usia 56 tahun.

Kebutaan dan gangguan penglihatan tidak hanya mengganggu produktivitas dan mobilitas penderita, tetapi juga menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara.

Laporan dari daerah dan data survei Hellen Keller International di beberapa daerah kumuh perkotaan, seperti Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta tahun 1998 menunjukkan, hampir 10 juta balita menderita kekurangan vitamin A subklinis, 60.000 di antaranya ada gejala bercak spot (Xeroftalmia) yang bisa sebabkan kebutaan.

Beberapa data menunjukkan, 10 persen dari 66 juta anak sekolah di Indonesia menderita kelainan refraksi. Kondisi ini jika tidak ditangani cepat, akan mengakibatkan munculnya lapisan generasi muda Indonesia yang memiliki kualitas hidup dan intelektual yang rendah di kemudian hari.

Dari Survei Indra Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996 disusun masterplan Kesehatan Mata Nasional periode 1996-2005. Tanggal 15 Februari 2000, Megawati Soekarnoputri (waktu itu Wakil Presiden RI) mencanangkan program Vision 2020–Right to Sight di Indonesia. Dalam master plan itu, ditargetkan tahun 2005 angka kebutaan turun menjadi 1,2 persen, 1 persen di tahun 2010, dan 0,5 persen di tahun 2020.

Tahun 2003, Departemen Kesehatan RI bersama organisasi profesi Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) menyusun Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK) yang menjadi pedoman Program Kesehatan Indera Penglihatan bagi semua pihak.

Setelah 5 tahun Renstranas PGPK, ternyata masih banyak faktor penghambat. Di antaranya yaitu kurangnya kepedulian masyarakat, pemerintah, serta organisasi nonpemerintah terkait penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan.

Banyak sarana kesehatan di tingkat kabupaten/kota belum memiliki fasilitas kesehatan mata serta terbatasnya sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan kebutaan dan gangguan penglihatan. Juga belum tertatanya sistem pelayanan kesehatan indera penglihatan yang integratif dan komprehensif. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya manajemen untuk urusan gangguan penglihatan dan kebutaan, dari pusat sampai ke daerah. Akibatnya, target sulit tercapai.

Salah satu pesan moral yang ingin disampaikan World Sight Day 2010, Countdown 2020 ialah agar kita semua menegaskan kembali komitmen dan kepedulian kita akan pentingnya mengatasi masalah kebutaan dan gangguan penglihatan. Pesan ini ditujukan pada pemerintah, organisasi profesi Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia ( Perdami ), stakeholders, organisasi dan lembaga nonpemerintah, masyarakat serta semua pihak yang terlibat di dalamnya.

DR RIKI TSAN, SPM,

Pimpinan Redaksi Media Oftalmologi Komunitas Perdami

Sumber : Kompas, Selasa, 19 Oktober 2010 | 04:35 WIB

Rabu, 20 Oktober 2010

Babi Rusa : Kilas Iptek


Sumber : Kompas, Rabu, 20 Oktober 2010

Selasa, 05 Oktober 2010

ANTROPOLOGI : Neanderthal Juga "Manusia"....


ANTROPOLOGI

Neanderthal Juga "Manusia"....

Oleh Luki Aulia

Dasar Neanderthal!” Pernah mendengar ejekan seperti itu? Biasanya orang akan tersinggung jika dipanggil Neanderthal gara-gara stigma lugu, bodoh, dan primitif yang menempel pada manusia purba Neanderthal. Padahal, Neanderthal terbukti cerdas dan kreatif menciptakan barang dan teknologi, sama seperti kita.

Hanya karena Neanderthal (Homo neanderthalensis) tinggal di dalam gua dan hidup pada zaman yang primitif tidak lantas Neanderthal juga lugu, bodoh, dan gagap teknologi (gaptek). Dibandingkan dengan zaman sekarang, jelas mereka tampak primitif. Tetapi, pada zamannya, Neanderthal cerdas, bahkan lebih maju dibandingkan manusia modern awal, nenek moyang kita (Homo sapiens).

Antropolog Julien Riel-Salvatore dari University of Colorado, AS, mengemukakan, Neanderthal juga gandrung pada inovasi dan teknologi, sama seperti kita. Beragam peralatan seperti alat memancing, berburu, proyektil, dan peralatan lain dari tulang dan batu ditemukan di situs-situs arkeologi Uluzzian (salah satu kelompok etnis dalam keluarga besar Neanderthal) di Italia selatan.

Kemampuan inovasi Neanderthal, kata Riel-Salvatore, murni inisiatif mereka tanpa ada pengaruh dari spesies manusia lain. Selama ini banyak pihak menduga Neanderthal bisa membuat beragam peralatan karena pernah berinteraksi dan belajar dari nenek moyang kita.

Asumsi itu ditepis Riel-Salvatore dalam laporan penelitian di jurnal Archaeological Method and Theory. Menurut harian the New York Times, Senin (27/9), selama tujuh tahun Riel-Salvatore dan timnya membandingkan artefak dari situs-situs Neanderthal di wilayah Italia selatan dan tengah dengan artefak manusia modern dari periode waktu yang sama di Italia utara.

Ternyata, manusia modern di Italia utara mengembangkan peralatan yang berbeda dari kelompok Neanderthal di Italia selatan. Sementara Neanderthal di Italia tengah selama 100.000 tahun menggunakan peralatan batu yang terus sama. Berarti inovesi teknologi di utara dan selatan berjalan sendiri-sendiri.

Perubahan iklim

Neanderthal hidup tersebar di Eropa sekitar 140.000 tahun lalu dan ada sekelompok Neanderthal yang berkembang menjadi etnis Mousterian. Sekitar 42.000 tahun lalu manusia modern masuk ke Eropa dan membentuk etnis Aurignacian di utara. Pada saat yang sama, terbentuk etnis Neanderthal baru, Uluzzian, di selatan. Situs Discovery News menyebutkan, Uluzzian berbeda dari Mousterian karena Uluzzian menciptakan peralatan yang lebih mirip dengan alat manusia modern.

Sebenarnya, sebut situs Science Daily, karakter Uluzzian sangat berbeda dari keluarga Neanderthal yang lain karena mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Tim peneliti menduga Uluzzian mau tak mau harus beradaptasi dengan lingkungan untuk bertahan hidup. Pada saat itu kemungkinan besar terjadi perubahan iklim.

Berbagai peralatan yang ditemukan di situs Uluzzian menunjukkan perubahan perilaku Neanderthal. Ketika daerah mereka tinggal semakin terbuka dan kering, Uluzzian mulai belajar berburu dan memancing serta membuat anak panah dari tulang dan batu.

Namun, lalu muncul pertanyaan. Jika Neanderthal mampu beradaptasi dan bertahan hidup selama sekitar 100.000 tahun lalu mengapa mereka bisa punah?

”Kemampuan beradaptasi dan menciptakan sesuatu menunjukkan mereka tidak berbeda dari kita. Neanderthal juga manusia, tetapi dari jenis yang berbeda dari kita. Kita lebih seperti kakak adik, bukan sepupu,” kata Riel-Salvatore.

Neanderthal berpisah dari garis evolusi kita sekitar 500.000 tahun lalu dan tiba-tiba lenyap dari muka bumi sekitar 30.000 tahun lalu. Muncul spekulasi, antara lain, Neanderthal punah karena satu per satu dibunuh manusia modern. Riel-Salvatore mencoba berasumsi; Neanderthal punah karena anggota keluarga Homo sapiens lebih banyak sebab aktif bereproduksi.

Analisis di jurnal Current Anthropology menyebutkan, sekitar 40.000 tahun lalu terjadi tiga kali letusan gunung berapi yang dahsyat di daerah yang kini kita kenal sebagai Italia dan pegunungan Caucasus. Akibatnya, Neanderthal di wilayah tersebut lenyap karena tiga letusan gunung berapi itu termasuk letusan terdahsyat di Eropa sepanjang 200.000 tahun terakhir.

Manusia modern yang juga hidup pada masa itu tidak ikut punah. Alasannya, karena populasinya lebih besar dan mereka sebagian besar tinggal di Afrika dan Asia sehingga tidak terkena dampak letusan gunung. Antropolog John Hoffecker menegaskan, Neanderthal sudah terpinggirkan karena kalah jumlah dari nenek moyang kita. (The New York Times/Discovery News/Science Daily)***

Sumber : Kompas, Sabtu, 2 Oktober 2010 | 04:12 WIB

Fosil Penguin Purba Ditemukan di Peru

KILAS IPTEK

Fosil Penguin Purba Ditemukan di Peru

Fosil penguin raksasa dengan tinggi sekitar 1,5 meter, berat badan hampir dua kali lipat dari berat penguin kaisar (Aptenodytes forsteri) atau sekitar 40 kilogram-90 kilogram, dan hidup 36 juta tahun lalu, ditemukan di Reserva Nacional de Paracas, Peru. Paruh penguin raksasa itu lurus dan lebih panjang daripada penguin sekarang. Fosil yang dianggap moyang penguin tersebut adalah burung Inkayacu paracasensis atau raja air. Warna kulitnya coklat dan abu-abu, bukan hitam dan putih. Jalan binatang ini mulai berubah terhuyung-huyung pada akhir periode Eosen, sekitar 56 juta-34 juta tahun lalu. Penemu fosil, Julia Clarke, yang juga seorang paleontologis di Universitas Texas, Amerika Serikat, Kamis (30/9), mengatakan, tampilan fisik penguin berubah jutaan tahun lalu, tetapi warna kulitnya berubah belum terlalu lama. Bentuk sayap dan kulit penguin saat ini menjadikan penguin perenang hebat. Ia mampu menyelam dalam cairan yang 800 kali lebih padat dan 70 kali lebih kental daripada air. “Semakin berat badannya, semakin dalam ia bisa menyelam,” ujar Clarke. (BBCNEWS/MZW)***

China Luncurkan Wahana ke Bulan

Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-61, China meluncurkan satelit ke Bulan untuk kedua kalinya. Satelit Chang’e-2 itu diangkut ke orbit dengan roket Long March 3-C. Satelit ini butuh waktu lima hari untuk sampai di garis orbitnya pada ketinggian 15 kilometer di atas permukaan Bulan. Satelit yang diluncurkan dari pusat peluncuran Xichang di barat daya Provinsi Sichuan itu akan melakukan sejumlah eksperimen selama enam bulan. Satelit itu juga sebagai persiapan China untuk meluncurkan Chang’e-3 pada 2013 sebagai wahana tanpa awak yang mendarat di Bulan. ”Chang’e-2 memberikan landasan bagi pendaratan di Bulan dan eksplorasi luar angkasa. Satelit ini akan mengambil gambar dengan resolusi tinggi,” kata pimpinan desainer satelit, Wu Weiren, Jumat (1/10). (AFP/MZW)***

Sumber : Kompas, Sabtu, 2 Oktober 2010 | 04:28 WIB