RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Senin, 22 November 2010

ASIAN GAMES XVI : Kini, Kido/Hendra Bidik All England

ASIAN GAMES XVI

Kini, Kido/Hendra Bidik All England

Hendra Setiawan (kiri) dan Markis Kido. (AFP/LIU JIN)***

TERKAIT:

GUANGZHOU, Kompas.com - Setelah mendulang sejumlah gelar juara pada berbagai kejuaraan internasional, peraih medali emas Asian Games XVI 2010, Markis Kido/ Hendra Setiwan, akan berusaha untuk meraih gelar juara di All England.


"Hampir semua kejuaraan internasional, saya sudah merasakan gelar juara, kecuali All England. Kami akan ingin juara All England," kata Kido seusai menerima pengalungan medali emas di Tianhe Gymnasium, Guangzhou, Sabtu (20/11/10).

Hampir semua kejuaraan internasional, saya sudah merasakan gelar juara, kecuali All England. Kami akan ingin juara All England

-- Markis Kido


Menurut Kido, selama ini mereka sering kandas di All England sehingga akan menjadi gelar buruannya pada 2011 mendatang. Untuk itu ia tak akan main-main mempersiapkan diri dan melengkapi gelar yang belum direbut sepanjang kariernya itu.

Kido selama ini telah mengemas gelar juara dunia, Juara Olimpiade Beijing 2008, SEA Games 2009, Asian Games XVI/2010 serta sejumlah kejuaraan lainnya.

"Belum lengkap rasanya bila belum meraih All England," katanya.

Hal sama juga diungkapkan rekannya, Hendra, yang menyebutkan mereka akan tetap bersatu dan meraih target berikutnya di pentas internasional.

"Selama peluang itu masih ada, kami akan mengupayakan terus. Saya optimistis itu," katanya.

Terkait kesannya meraih medali emas Asian Games XVI 2010 melalui perjuangan yang dramatis, Hendra menyebutkan kuncinya adalah mempertahankan konsentrasi dan fokus pada saat kritis.

Ia mengakui kemenangan pada set kedua yang ketat menguras konsentrasi pasangan Malaysia yang menjadi lawannya. Dalam posisi mengejar poin membuat bebannya lebih ringan, dan hal itu menjadi kunci kemenanganya di set ketiga yang menentukan.

"Senang sekali, karena tadinya mau kalah menjadi menang," kata Kido, yang sempat membanting raket pada set kedua akibat kecewa gagal mengembalikan bola tanggung lawannya itu.(ANT)***

Sumber : Kompas.com, Sabtu, 20 November 2010 | 23:31 WIB

Ada 9 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • Bima Wiryawan

Minggu, 21 November 2010 | 23:55 WIB

Selamat buat Kido n Henrda, jangan lupa buat pemerintah ngasih bonus yang banyak buat mereka karna dah mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia, n kostumnya sumpah keren abis ada batiknya....

Balas tanggapan

  • dede doang

Minggu, 21 November 2010 | 23:47 WIB

saya yakin, seluruh bangsa Indonesia pasti mendukung kalian semua. Sukses terus, semoga All England bisa tercapai... Amiin.

Balas tanggapan

  • fahrurrozi 173

Minggu, 21 November 2010 | 23:45 WIB

ku bantu dengan doa.

Balas tanggapan

  • Harahap saja

Minggu, 21 November 2010 | 19:14 WIB

Selamat dan Sukses untuk Kido/Hendra, semoga sukse di All England Tahun depan.

Balas tanggapan

  • Harlan Kendra

Minggu, 21 November 2010 | 12:16 WIB

Kido n Hendra kalau mau Juara all England panggil saja Park Joe Bong suruh ngelatih kamu, aku jamin pasti kamu juara. karena pelatih kita udah pada tue and injak masa pensiun..........?????

Balas tanggapan

Markis/Hendra Raih Medali Emas

Markis/Hendra Raih Medali Emas

Markis Kido melemparkan raket dan pasangannya, Hendra Setiawan, mengepalkan tangan setelah memenangi medali emas nomor ganda putra bulu tangkis Asian Games dari pasangan Malaysia, Koo Kien Keat/Tan Boon Heong. (GETTY IMAGES/MARK DADSWELL)***

Guangzhou, Kompas - Di tengah keprihatinan atas prestasi olahraga Indonesia, ganda putra Markis Kido/Hendra Setiawan mempersembahkan medali emas keempat bagi Indonesia dalam ajang Asian Games 2010. Emas ketiga dipersembahkan tim putra perahu naga dari nomor 250 meter.

Medali emas direbut Markis/Hendra dalam drama final melawan pasangan peringkat satu dunia dari Malaysia, Koo Kien Keat/Tan Boon Heong, di Tianhe Gymnasium, Guangzhou, China. Markis/Hendra menang 16-21, 26-24, 21-19.

Tiga medali emas Indonesia lainnya berasal dari cabang dayung setelah tim putra Tanah Air berhasil meraih tiga medali emas perahu naga dari nomor 1.000 meter, 500 meter, dan 250 meter. Tim putra perahu naga Indonesia merebut medali emas terakhir perahu naga dengan kembali mengalahkan Myanmar dan China.

”Indonesia merupakan negara pertama yang merebut seluruh tiga medali emas pada satu multievent olahraga,” ujar Mohammad Suryadi, pelatih perahu naga Indonesia.

Perolehan empat medali emas ini memenuhi harapan para petinggi olahraga Indonesia. Sebelum berangkat ke Guangzhou, petinggi Indonesia menyatakan dapat mendulang empat emas, lebih banyak ketimbang perolehan Indonesia dalam Asian Games 2006. Waktu itu, Indonesia mendapat dua medali emas, yang berasal dari boling dan bulu tangkis.

Emas yang dipersembahkan Markis/Hendra sekaligus menjadi medali emas satu-satunya yang direbut tim bulu tangkis Indonesia di Guangzhou. Pebulu tangkis peraih emas Asian Games 2006, Taufik Hidayat, kandas di perempat final tunggal putra. Satu lagi wakil Indonesia di tunggal putra, Sony Dwi Kuncoro, bahkan tersingkir pada babak pertama.

Selain emas, tim bulu tangkis Indonesia juga menyumbangkan tiga medali perunggu. Pasangan pelatnas Cipayung, Mohammad Ahsan/Alvent Yulianto, merebut perunggu di nomor ganda putra, sedangkan dua perunggu lainnya dipersembahkan pemain Indonesia dari nomor beregu putra serta putri.

Lambat

Adu strategi dan taktik guna menguasai ritme pertandingan diperlihatkan Markis/Hendra dan Koo/Tan. Pasangan Malaysia cenderung mengarahkan permainan menjadi cepat dan agresif. Sebaliknya, ganda Indonesia cenderung memperlambat tempo permainan.

”Mereka tadi bermain cepat sekali sehingga sulit bagi kami untuk mengendalikan permainan. Namun, kami berusaha terus untuk memperlambat tempo permainan, sampai poin terakhir dan untuk itu kami tidak pernah menyerah,” ujar Hendra.

”Saya senang sekali sudah mau kalah, akhirnya bisa menang,” kata Markis dalam jumpa pers.

Pada gim pertama, saat Indonesia bisa mulai menekan dengan luar biasa, Hendra malah gagal memanfaatkan kesempatan menambah poin. Smesnya di depan net menyangkut sehingga poin bertambah untuk Koo/Tan dan skor menjadi imbang 14-14.

Sejak itu, Malaysia lebih dominan. Gaya bermain pelan dan bola-bola di depan net yang dimainkan Indonesia beberapa kali justru menyulitkan mereka. Saat kedudukan 17-16 untuk pasangan Malaysia, bola pelan Hendra menjadi bumerang. Bola di atas net hasil pengembalian Hendra langsung dismes dengan cepat oleh Tan. Dominasi Koo/Tan pada gim pertama membuat ganda Malaysia itu unggul 21-16.

Pertarungan lebih ketat terjadi pada gim kedua. Beberapa kali Indonesia berhasil menekan dengan menerapkan permainan yang cepat. Sayangnya, berbarengan dengan itu, pasangan Indonesia juga kerap melakukan kesalahan. Penguasaan mereka terhadap permainan pun gagal membuahkan poin.

Markis/Hendra, peraih emas Olimpiade 2008, kelihatan akan memenangi gim kedua ketika mereka sampai pada gim poin 20-18. Namun, situasi yang menekan Malaysia justru berbalik sehingga gim poin kedua pasangan Indonesia, 20-19, kembali gagal membuahkan hasil.

Permainan pelan di sekitar net bahkan malah memaksa Hendra melakukan kesalahan. Koo/Tan pun bisa memaksakan deuce 20-20.

Gim kedua berlangsung semakin menegangkan. Tiga match point berhasil diciptakan pasangan Malaysia. Namun, dengan terhindar dari kesalahan sendiri, Markis/Hendra berhasil lolos dari tekanan hebat dan malah berbalik kembali menciptakan gim poin, 25-24. Kali ini, gim poin membuahkan hasil dan Indonesia menang 26-24.

Kekalahan di gim kedua rupanya menjadi titik balik bagi Malaysia. Gim ketiga pun berjalan hampir sepenuhnya dikuasai Indonesia. Permainan pelan sering berhasil dipaksakan oleh ganda Indonesia.

Indonesia sempat unggul 15-10. Namun, situasi berubah menjadi tegang setelah Malaysia bisa mengejar bahkan menyamakan kedudukan. Irama permainan mulai berpihak kepada Malaysia. Namun, Indonesia bisa menguasai permainan. Dikombinasikan dengan penempatan bola secara akurat di tempat kosong, pasangan Malaysia pun tunduk 19-21.

(A Tomy Trinugroho dan Korano Nicolash LMS dari China)***

Sumber : Kompas, Minggu, 21 November 2010 | 03:22 WIB

Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • Philipus Dwiraharjo

Minggu, 21 November 2010 | 08:54 WIB

Bravo bukutangkis Indonesia, trimakasih atas perjuangan atlet-atlet Indonesia di Asian Games

Balas tanggapan

  • gatut ep

Minggu, 21 November 2010 | 07:57 WIB

Markis-Hendra...jangan cepat puas,ke depan makin berat tantanganMU. Benahi kelemahan-kelemahan yg ada padamu berdua..masih ada waktu. Salouutt....kami Indonesia menungguMU.

Balas tanggapan

  • hasan sungkar

Minggu, 21 November 2010 | 06:38 WIB

salut buat hendra

Balas tanggapan

Kamis, 18 November 2010

Katarak, Ancaman pada Usia Senja


KESEHATAN PENGLIHATAN

Katarak, Ancaman pada Usia Senja

Oleh INDIRA PERMANASARI

Konon, sekitar 80 persen pengalaman manusia diperoleh melalui kedua matanya. Ketika penglihatan memudar, kehidupan seseorang pun seakan ikut meredup. Di Indonesia, gangguan terhadap organ vital tersebut meningkat.

Kementerian Kesehatan memperkirakan, sekitar empat juta orang dewasa dan anak mengalami kebutaan. Menurut keterangan Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health Organization/WHO), sekitar 75 persen kebutaan dapat dicegah sehingga lahirlah inisiatif Global Vision 2010; The Right to Sight untuk menghapus dan mencegah kebutaan pada 2020. WHO juga menetapkan setiap Kamis minggu kedua pada Oktober sebagai peringatan Hari Penglihatan Sedunia.

Penyebab kebutaan di negeri ini tak jauh berbeda dari negara-negara lain di Asia. Kebutaan terbesar, sekitar 50 persen, disebabkan katarak. Selebihnya akibat glaukoma, kelainan kornea, dan gangguan kornea. Katarak pada dasarnya merupakan perubahan kebeningan struktur lensa secara keseluruhan

Lensa mata berfungsi membentuk bayangan pada retina. Lensa mata tersusun atas protein, air, dan lipid dengan struktur tertentu sehingga cahaya mampu menembus lensa. Lensa mata penderita katarak diselimuti protein sehingga agak keruh. Salah satu dugaan ialah terjadi perubahan protein dan lipid seiring bertambahnya usia. Lensa yang keruh sulit meneruskan cahaya ke retina untuk diproses.

Ketua Seksi Penanggulangan Buta Katarak Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Johan Hutauruk menyatakan, katarak pada orang dewasa muncul akibat dari penuaan dan pajanan radiasi ultraviolet. Biasanya katarak timbul pada usia di atas 60 tahun. Katarak yang dipengaruhi proses penuaan ini lebih umum ketimbang penyebab lain, seperti trauma (katarak traumatik), komplikasi kelainan lain (katarak komplikata), dan kelainan bawaan (katarak kongenital).

Katarak terjadi perlahan. Pada tahap awal, kerap tidak ada gejala. Namun, seiring bertambah tebalnya kekeruhan lensa, penderita umumnya mengeluh penglihatan berkabut, buram, silau, berbayang, atau sulit membaca walau telah dibantu kacamata. Proses terjadinya katarak pada orang dewasa dapat lebih cepat lantaran ada masalah kesehatan lain, seperti diabetes. Pada penderita diabetes, katarak dapat timbul pada usia lebih muda dari rata-rata. Ada pula faktor lain, termasuk pola diet yang kurang asupan antioksidan dan paparan terhadap sinar-sinar yang membahayakan. Kerusakan dapat pula disebabkan trauma, inflamasi mata (iritis dan uveitis), dan konsumsi obat tertentu, seperti kortikosteroid untuk penyakit lain.

Semakin cepat

Pada satu titik tertentu, saat katarak sudah mengganggu aktivitas sehari-hari, lensa yang keruh perlu dikeluarkan melalui operasi katarak. Dokter spesialis mata sekaligus pengurus Perdami bidang hubungan masyarakat, Gitalisa Andayani, mengungkapkan, operasi katarak umumnya menggunakan metode ekstraksi katarak ekstrakapsular (EKEK), insisi kecil manual, atau dengan fakoemulsifikasi.

Dengan fakoemulsifikasi, lensa keruh dihancurkan dengan vibrasi ultrasonik menggunakan alat yang dimasukkan lewat sayatan amat kecil pada permukaan mata. Lensa yang mengeruh itu hancur oleh getaran alat ultrasonik dan diisap keluar. Setelah itu baru dimasukkan lensa baru ke posisi semula lensa. Pada pembedahan ekstrakapsular, lensa dikeluarkan utuh dan diganti lensa buatan. Sedangkan dengan metode insisi kecil manual, irisan jauh lebih kecil. Metode-metode itu biasanya disertai penanaman implan lensa intraokular. Lensa buatan itu umumnya terbuat dari bahan akrilik atau silikon. Lensa dapat dilipat, dimasukkan ke dalam kantong lensa mata melalui irisan kecil.

Setelah operasi, penderita dapat kembali melihat dunia dengan jelas dan produktif. Sebaliknya, jika tidak diobati, menurut Gitalisa, penderita dapat terganggu penglihatannya hingga taraf buta. Selain itu, secara medis dapat pula terjadi komplikasi glaukoma sekunder atau peradangan bola mata.

Sayangnya, sumber daya di Indonesia untuk melakukan operasi yang mampu melakukan 80.000 operasi per tahun tidak seimbang dengan banyaknya insiden katarak—0,1 persen atau sekitar 210.000 per tahun. Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Budihardja mengatakan, terjadi penumpukan jumlah penderita yang perlu dioperasi. ”Masih butuh kerja keras dan uluran tangan berbagai pihak, baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan,” ujarnya dalam acara temu media beberapa waktu lalu.

Menurut Gitalisa, katarak sulit dihindari karena terkait proses degenerasi. Namun, gangguan ini dapat diperlambat dengan gaya hidup sehat, antara lain makan dengan gizi berimbang dan cukup asupan vitamin dan mineral. Konsumsi buah dan sayur yang kaya vitamin dan mineral, seperti brokoli, tomat, dan wortel, sangat dianjurkan untuk menjaga kesehatan mata. Vitamin dan mineral dalam sayur dan buah, seperti vitamin A atau beta karoten, vitamin C, vitamin E, lutein, zeaxantin, seng, dan selenium, berperan sebagai antioksidan yang menghambat timbulnya katarak.

Upaya pencegahan lain ialah dengan menghindari asap rokok serta melindungi mata dari paparan ultraviolet langsung yang berkontribusi terhadap terjadinya radikal bebas. Bagi penderita diabetes, pengontrolan kadar gula secara ketat amat penting karena penyakit itu mempercepat timbulnya katarak.(INE)***

Sumber : Kompas, Kamis, 18 November 2010 | 03:20 WIB

Puncak Hujan Meteor Leonid 17-18 November

KILAS IPTEK

Puncak Hujan Meteor Leonid 17-18 November

Hujan meteor Leonid, 10 November-23 November, mencapai puncaknya pada 17-18 November. Tahun ini, jumlah meteor yang seakan memancar dari rasi Leo ini mencapai 15-20 meteor per jam dengan kecepatan hingga 30 kilometer per detik.

Meteor yang menimbulkan hujan meteor Leonid berasal dari sisa-sisa debu yang dipancarkan komet 55P/Tempel-Tuttle saat mendekati Matahari setiap 33 tahun sekali. Komet ini terakhir mendekati Matahari pada 1998. Setiap tahun, dalam gerak Bumi mengelilingi Matahari, Bumi memasuki daerah sisa-sisa debu komet itu.

Saat sisa debu memasuki atmosfer Bumi, terbentuklah hujan meteor. Waktu terbaik mengamati hujan meteor adalah dini hari menjelang subuh pukul 03.00-04.00. Tak perlu alat bantu apa pun, cukup dengan mata telanjang ke arah rasi Leo di langit timur, dari daerah yang jauh dari cahaya lampu kota. Pengamatan tahun ini agak terganggu cahaya Bulan karena mendekati purnama. (IMO.NET/SPACE.COM/MZW)***

Sumber : Kompas, Kamis, 18 November 2010 | 04:48 WIB

Selasa, 16 November 2010

PENANGGALAN HIJRIAH ; "Memahami Perbedaan Idul Adha 1431 H"

PENANGGALAN HIJRIAH

Memahami Perbedaan Idul Adha 1431 H

Oleh M ZAID WAHYUDI

Potensi adanya perbedaan Idul Adha 1431 Hijriah sudah diprediksi para ahli hisab rukyat dan astronom sejak beberapa tahun lalu. Perbedaan itu terwujud saat ini dengan adanya sebagian umat Islam Indonesia yang memperingati Idul Adha pada Selasa ini, sama seperti di Arab Saudi, dan sebagian lagi Rabu esok.

Melalui sidang isbat atau penetapan yang dilakukan Kementerian Agama dan dihadiri wakil berbagai organisasi massa Islam, pemerintah menetapkan Idul Adha 10 Zulhijah 1431 H jatuh pada 17 November 2010.

Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama yang juga Profesor Riset Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin di Jakarta, Senin (15/11), mengatakan, secara teoretis atau hisab, bulan sabit tipis atau hilal tidak mungkin diamati pada 6 November karena ketinggiannya di atas ufuk masih di bawah dua derajat. Hal itu juga didukung dengan data pengamatan yang menunjukkan hilal belum bisa dilihat atau dirukyat di seluruh Indonesia.

Dengan demikian, bulan Dzulqa’dah atau bulan ke-11 dalam kalender Islam dibulatkan menjadi 30 hari sehingga 1 Zulhijah bertepatan dengan 8 November.

Di Indonesia, lanjut Djamaluddin, jika ada yang menetapkan Idul Adha pada 16 November, hal itu karena menggunakan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal (tanpa perlu diamati) sehingga bulan Dzulqa’dah hanya 29 hari.

Perbedaan lain muncul dengan ketetapan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan Idul Adha juga pada 16 November sehingga puncak ibadah haji berupa wukuf di Arafah dilakukan pada 9 November kemarin.

Menurut Djamaluddin, keputusan Pemerintah Arab Saudi menentukan Idul Adha tahun ini tergolong kontroversial. Secara teoretis, hilal tidak bisa dirukyat pada 6 November di Mekah. Namun, ternyata otoritas setempat menentukan berbeda.

Sebagai catatan, dalam keputusan penentuan hari raya, Pemerintah Arab Saudi sering kali digugat oleh para astronom di Timur Tengah dan kawasan lain. Meskipun Arab Saudi menggunakan metode melihat hilal untuk menentukan awal bulan, tapi sering kali hilal yang diklaim bisa dilihat itu secara teoretis astronomi tidak mungkin bisa dilihat.

Garis penanggalan bulan

Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama lainnya yang juga ahli kalender di Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, mengatakan, garis penanggalan pada kalender Hijriah berbeda dengan garis penanggalan kalender Masehi.

Garis penanggalan Masehi didasarkan pada patokan garis bujur timur atau garis bujur barat 180 derajat. Dalam penanggalan ini, daerah yang memiliki garis bujur sama atau berdekatan mulai dari kutub utara hingga kutub selatan akan selalu memiliki hari yang sama. Perubahan hari dimulai pada pukul 00.00.

Daerah yang lebih timur juga dipastikan akan lebih dahulu waktunya dibandingkan daerah di baratnya. Karena itu, dalam sistem penanggalan Masehi, waktu di Jakarta atau waktu Indonesia barat (WIB) selalu empat jam lebih dulu dibandingkan waktu Mekkah.

Namun, garis penanggalan bulan berbeda. Garis penanggalan bulan memiliki 235 variasi. Setiap bulannya, garis penanggalan bulan berbeda-beda. Garis penanggalan bulan akan kembali di dekat tempat yang sama sekitar 19 tahun kemudian.

Banyaknya variasi garis penanggalan bulan ini ditentukan oleh posisi Bulan terhadap Bumi, dan posisi sistem Bumi-Bulan terhadap Matahari.

Daerah yang pertama kali melihat hilal akan mengawali hari lebih dulu. Hal ini berarti, daerah yang terletak pada garis bujur yang sama atau berdekatan, hari atau awal bulan Hijriahnya bisa berbeda. Hari dimulai setelah Matahari terbenam atau magrib, bukan pukul 00.00.

Kondisi ini, lanjut Moedji, yang membuat waktu di Jakarta tidak selalu lebih dahulu dibanding Mekkah. Jika diasumsikan, hilal pada Zulhijah kali ini pertama kali dilihat di Mekkah, maka sesudah magrib atau sekitar pukul 18.00 di Mekkah sudah masuk bulan baru.

Saat itu, di Jakarta sudah pukul 22.00 WIB. Baru pada magrib keesokan harinya, Jakarta memasuki Zulhijah. Artinya, pada bulan Zulhijah kali ini waktu di Jakarta tertinggal 20 jam dibandingkan waktu Mekkah.

”Dalam penanggalan Hijriah, waktu di Indonesia bisa jadi lebih dulu dibandingkan waktu di Arab Saudi. Namun, bisa jadi pula Arab Saudi lebih dulu dibanding Indonesia,” tambahnya.

Menurut Moedji, perbedaan awal hari dalam kalender Hijriah inilah yang sering dipahami secara salah. Mereka beranggapan, karena waktu di Indonesia lebih cepat dibanding Mekkah, maka saat di Mekkah berhari raya, di Indonesia juga harus berhari raya. Padahal, konsep ini didasarkan atas pencampuradukkan konsepsi kalender Hijriah dan Masehi sehingga menimbulkan kerancuan.

”Umat Islam Indonesia harus memahami bahwa mereka menggunakan dua sistem kalender. Kalender Masehi untuk keperluan sehari-hari dan kalender Hijriah untuk keperluan ibadah. Setiap kalender memiliki konsep dan konsekuensi masing-masing yang berbeda,” ungkapnya.

Meskipun berbeda, baik Moedji maupun Djamaluddin mengajak umat Islam menghormati perbedaan yang ada. Meskipun demikian, kejadian ini harus kembali memacu umat Islam Indonesia untuk segera membuat kriteria penentuan awal bulan Hijriah secara bersama yang berlaku nasional.

Jika sudah ada, maka konsepsi ini bisa disosialisasikan secara regional dan internasional sehingga diperoleh sistem penanggalan Hijriah yang bisa berlaku secara global.

”Sistem penanggalan Hijriah memang lebih kompleks dibandingkan penanggalan Masehi, tapi itu bukan berarti tidak bisa distandardisasi,” ujar Moedji.

Sumber : Kompas, Selasa, 16 November 2010 | 04:57 WIB

Ada 6 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • mohammad muslikh

Selasa, 16 November 2010 | 14:06 WIB

jadikan perbedaan sebagai rahmah

Balas tanggapan

  • Muhammad Arif

Selasa, 16 November 2010 | 13:36 WIB

@ rudi: Pernah pemerintah merubah tgl idul fitri tahun 2009 kmarin. Coba cek kalender thn 2009 tgl idul fitri tercetak 21 september. Tapi di sidang itsbat pd akhir ramadhan tgl 19 September, Pemerintah (Depag) merubah idul fitri menjadi 20 september, sama dengan Muhammadiyah yg telah menetapkn jauh hari sebelumnya.

Balas tanggapan

  • Rudi Kurniawan

Selasa, 16 November 2010 | 13:04 WIB

pernahkah dalam sejarahnya pemerintah membatalkan hari raya yang berbeda dari kalender yang sebelumnya?

Balas tanggapan

  • Budhiyanto Tok

Selasa, 16 November 2010 | 10:36 WIB

Semoga perbedaan ini tidak membuat umat terpecah belah. Yang lebih penting adalah memahami kembali makna Idul Adha. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan kepada umat Muslim dari segala tipu daya baik jin dan manusia untuk memecah belah umat. Amiin...

Balas tanggapan

  • Mukhtaryadi Tampeng

Selasa, 16 November 2010 | 09:16 WIB

Kesan saya setelah membaca tulisan sdr. M ZAID WAHYUDI ini, seolah2 umat muslim di indonesia yg meyakini iedul adha jatuh hari ini adalah salah. Memang logika umum adalah perbedaan waktu antara Arab Saudi dan Indonesia, bahwa matahari terlebih dahulu melewati Indonesia. Kalo menurut anda kurang tepat, coba dong ajukan argumentasi sederhana atau cara sederhana yang bisa difahami oleh masyarakat kita bahwa hitungan pemerintah (terutama NU) adalah yang akurat.

Balas tanggapan

IDUL ADHA : "Meneguhkan Semangat Berkurban"

IDUL ADHA

Meneguhkan Semangat Berkurban

Jemaah haji Indonesia mengisi waktu dengan berjalan-jalan di sekitar tenda mereka, Senin (15/11) di Padang Arafah. Seluruh jemaah haji menunggu waktu wukuf, yang merupakan puncak ibadah haji, selepas tengah hari hingga menjelang maghrib. (KOMPAS/AGUS MULYADI)***

Oleh Azyumardi Azra

Setiap kali kedatangan hari raya Idul Adha 1431 Hijriah, perhatian kita banyak tertuju kepada jemaah haji yang sedang melaksanakan sejumlah ibadah pokok ibadah haji di Mekkah.

Idul Adha tidak terpisahkan dengan ibadah haji karena itu ia juga sering disebut ”Idul Haj”. Idul Adha dikenal pula ”Idul Kurban”—momen saat kaum Muslimin melaksanakan ibadah kurban dengan menyembelih hewan sembelihan.

Idul Adha di Indonesia memang tidak dirayakan semeriah Idul Fitri. Tetapi, juga jelas, Idul Adha atau Idul Kurban mengandung banyak nilai, makna, dan semangat penting bagi kehidupan pribadi dan sosial yang tetap relevan dan perlu peneguhan dalam kehidupan berbangsa.

Spiritual dan keakraban

Ibadah haji dan ibadah kurban mengandung makna hampir sama—peningkatan semangat mengorbankan sebagian harta yang dimiliki untuk kepentingan ilahiah dan kemanusiaan. Penunaian ibadah haji memerlukan kemampuan (istitha’ah) finansial tidak sedikit untuk biaya perjalanan dan keluarga yang ditinggalkan, di samping kemampuan jasmani dan rohani.

Seseorang pada dasarnya tidak disarankan pergi ke Tanah Suci jika hanya mampu membayar ongkos naik haji, tetapi meninggalkan keluarganya terlunta-lunta. Pertimbangan terjaminnya kehidupan keluarga menjadi sangat penting sebelum seorang Muslim menunaikan ibadah haji. Pertimbangan ini kian luas ketika untuk pergi haji kaum Muslimin Indonesia kini harus masuk daftar tunggu empat sampai tujuh tahun karena jumlah mereka yang ingin memenuhi panggilan Nabi Ibrahim terus meningkat setiap tahun. Karena itu, mereka yang sudah haji sebaiknya ”mengalah” tidak lagi pergi haji, dan memberi kesempatan kepada mereka yang belum pernah.

Ibadah haji dan kurban memiliki distingsi khusus dibandingkan dengan ibadah-ibadah lain karena sekaligus menyangkut hubungan dengan Tuhan (habl min Allah) dan hubungan sesama manusia (habl min al-nas). Penting ditekankan, hubungan manusia dengan Tuhan tak dapat mencapai kesempurnaan jika tidak disertai hubungan baik dengan sesama manusia.

Kedua ibadah ini merupakan ibadah khas untuk mendaki ”kenaikan spiritual”—mencapai posisi (maqam) lebih tinggi. Setiap mereka yang menunaikan ibadah haji pasti ingin mencapai derajat haji mabrur, yaitu ibadah haji yang penuh kesempurnaan dan kebajikan. Derajat haji mabrur seyogianya tecermin pula dalam berbagai kebajikan kemanusiaan ketika kembali ke tempat masing-masing.

Ibadah kurban, sesuai dengan kandungan makna qurban, juga bertujuan membuat seseorang lebih qarib, dekat dengan Tuhan, sekaligus dengan manusia lain. Hewan sembelihan kurban mendekatkan hubungan dan ikatan batin mereka yang berharta dengan orang-orang tak berpunya, yang mungkin makan daging hanya sekali setahun ketika diberi daging kurban.

Bencana dan solidaritas

Ibadah haji dan ibadah kurban dengan penekanan kuat terhadap pengorbanan untuk solidaritas kemanusiaan senantiasa relevan dalam kehidupan. Oleh karena itu, aktualisasi semangat, nilai dan keutamaan berkurban seyogianya tidak terbatas pada Idul Adha dan Idul Kurban; mesti terus diteguhkan dari waktu ke waktu. Peneguhan semangat berkurban jelas sangat mendesak, ketika rangkaian bencana melanda Tanah Air, mulai dari banjir bandang di Wasior (Papua), tsunami di Mentawai, erupsi Gunung Merapi, dan musibah-musibah lain.

Bencana-bencana ini bukan kutukan Tuhan, tetapi lebih merupakan bagian dari ”ayat-ayat kauniyah”—pertanda alam, yang menuntut semua pihak belajar lebih serius lagi untuk memahami dan menyiapkan diri menghadapinya. Kegagalan memahami fenomena alam dan sunatullah hanya menghasilkan kegagapan dan ketidaksiapan yang dapat menjerumuskan ke dalam bencana dan tragedi kemanusiaan lebih parah.

Jelas, peneguhan semangat dan nilai berkorban menghadapi banyak tantangan. Di tengah gelombang kehidupan materialistik dan hedonistik terlihat adanya kemerosotan sensitivitas dan solidaritas sosial di kalangan bangsa; dan ironisnya hal itu terjadi di lingkungan pemimpin.

Namun, pada pihak lain, terdapat kalangan masyarakat yang dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari justru memberikan ”kurban” yang mereka salurkan lewat berbagai organisasi, lembaga, dan kelompok ”peduli bencana”.

Gejala ini membangkitkan keharuan tentang masih bertahannya semangat pengorbanan dalam masyarakat Indonesia, yang mesti tetap perlu peneguhan karena boleh jadi berbagai bencana masih bakal melanda Tanah Air.

Azyumardi Azra,

Guru Besar Sejarah,Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

Sumber : Kompas, Selasa, 16 November 2010 | 03:49 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • syarief hidayat hidayat

Selasa, 16 November 2010 | 10:11 WIB

berkorban good, tetapi yg perlu digaris bawai menurut sy berkorban yg bagaimana, berkorban jiwa,dn mental yang saling membangun, menghargai, menghormati perbedaan diantara kt semua, dengan demikian akan menimbulkan rasa keterkaitan yang kuat, rasa memiliki, rasa asih welas terhadap sesama secara tidak langsung berkorban harta maupun benda mengalir dgn sendirinya tanpa hrs diminta.....

Balas tanggapan

Al Makin : "Kurban dan Bantuan Kemanusiaan"

Kurban dan Bantuan Kemanusiaan

Oleh Al Makin

Apakah Ishaq atau Ismail yang dikorbankan sang Bapa Ibrahim: apakah itu menurut keimanan Yahudi, Kristiani, atau Islami? Apakah penggantian domba oleh Tuhan sendiri atau titah diperantarakan lewat malaikat?

Pelajaran yang sepadan tetap mungkin terpetik, yaitu mengorbankan yang kita cintai demi keridaan Ilahi, untuk kemanusiaan, dan makhluk lain di alam. Demi keberlangsungan kehidupan manusia secara kolektif ini dalam menghadapi ketidakteraturan semesta ini, kita dituntut untuk berkorban.

Perlu diingatkan bahwa keikhlasan adalah inti yang tertuju dalam upacara Idul Adha karena hewan kurban yang harus direlakan, berupa sapi, kambing, kerbau, atau unta, adalah simbol dari harta benda yang didapat dengan peluh dan keringat.

Jika Ibrahim mengorbankan sang anak yang selama ini ditunggu kelahirannya, demi rida Ilahi, sekadar darah dan daging hewan ternak belumlah sejajar. Tentu saja, saat ini tidaklah relevan jika anak atau sanak famili dikorbankan. Itu bukan hakikat dari ajaran pengorbanan di hari suci ini. Makna—sebagaimana diajarkan dalam hermeneutika Yunani, Biblikal, atau Qurani—telah bergeser dikarenakan situasi, konteks, dan waktu.

Sebagaimana ritual korban setiap tahun diselenggarakan oleh umat Islam Indonesia, gairah dan spirit kurban telah dirasakan di jalan-jalan utama sepanjang Pulau Jawa. Banyak poster dan iklan terpampang yang menawarkan berbagai hewan, dilengkapi dengan foto hewan gemuk, sehat, jantan, dan bertanduk.

Jika saatnya tiba, berbagai stasiun televisi dan radio akan menyiarkan ibadah shalat berjemaah, dengan khotbah yang lengkap dan berapi-api. Hampir semua khatib mengingatkan kembali betapa mulianya hari raya Idul Adha, yang ditandai dengan pembagian daging kurban, sebagai simbol kebersamaan dan rasa berbagi antarhamba Tuhan.

Yang berlebih mengusahakan seekor atau dua ekor hewan, dengan keikhlasannya menyerahkan makhluk itu kepada panitia yang akan segera mendistribusikan perolehan dagingnya kepada mereka yang tidak setiap saat bisa mencicipi protein daging yang tergolong mahal di negeri ini. Itu sebagai penanda rasa solidaritas, kemurahan hati, dan saling berbagi.

Kalimat terakhirlah yang perlu didengung-dengungkan dalam suasana Idul Adha.

Prima kausa dari kurban adalah mengamalkan solidaritas, berbagi, dan kemurahan hati, yang bisa dimanifestasikan dengan memberikan sesuatu untuk mereka yang memerlukan. Dalam bahasa Usul Fiqh (epistemologi hukum Islam), ini disebut illat, yaitu sesuatu bisa ditetapkan menjadi diharuskan (wajib), dianjurkan (sunah), dilarang (haram), atau dibolehkan (mubah), menurut hakikat ”sebab utama” yang bisa dikontekskan sesuai dengan ruang dan waktu.

Maka, solidaritas, berbagi, dan kemurahan hati saat ini bisa diwujudkan seiring dengan tuntutan keadaan, yang mewajibkan kita untuk mencapai hakikat.

Korban alam

Memang benar, saat ini tangan kita dipaksa untuk diulurkan ke saudara-saudara kita yang jadi korban ketidakteraturan alam di lembah Wasior, pantai Mentawai, dan kaki Gunung Merapi. Kosmos besar, yaitu semesta ini, sedang menunjukkan gejolaknya, terutama di bumi Nusantara (bahwa manusia tidak selamanya bisa mengendalikan alam).

Karena ketidakberdayaan kita untuk mengatur dan memprediksi bencana yang disebabkan oleh rotasi, struktur, dan kemisteriusan bumi ini, yang bisa kita lakukan saat ini adalah membantu yang tertimpa dampak yang tak terduga dan tak diinginkan tersebut.

Dus prima kausa berkorban saat ini bisa dikontekskan dalam suasana musibah alam yang melanda negeri kita. Dengan demikian, pengorbanan mungkin bisa diwujudkan dengan bantuan kemanusiaan, berupa barang-barang kebutuhan pokok yang diperlukan oleh mereka yang sedang mengungsi, misalnya makanan pokok, pakaian, tenda, air minum, alat-alat darurat, dan kebutuhan mendadak lainnya.

Jika figur Ibrahim—yang dalam tiga tradisi besar Yahudi, Kristiani, dan Islami diakui perannya sebagai peletak utama monoteisme—mengorbankan anaknya demi keridaan Tuhan, kita pun tertuntut menapak jalan yang sama, mengorbankan yang kita cintai untuk kemanusiaan, dengan menunjukkan solidaritas, kebersamaan, dan kemurahan, dalam menjawab ketidakteraturan siklus bumi ini.

Pembelian hewan kurban gemuk, sehat, dan bertanduk mungkin bisa dialihkan dengan transfer uang melalui rekening yang mungkin bisa dibelanjakan untuk kebutuhan barang-barang darurat yang diperlukan oleh para pengungsi.

Al Makin,

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber : Kompas, Selasa, 16 November 2010 | 05:31 WIB

Selasa, 09 November 2010

Merangsang Otak dengan Arus Listrik

KILAS IPTEK

Merangsang Otak dengan Arus Listrik

Merangsang otak dengan arus listrik lemah dapat menambah kemampuan matematika sampai enam bulan tanpa memengaruhi fungsi mental lainnya. Hasil ini suatu saat nanti dapat mengobati kira-kira 15-20 persen dari populasi yang memiliki keterbatasan yang berhubungan dengan angka.

Hal ini pun dapat digunakan untuk mereka yang kehilangan kemampuan yang berkaitan dengan angka akibat stroke atau penyakit degeneratif. Cohen Kadosh, ahli saraf dari Universitas Oxford, London, Kamis (4/11), mengatakan, stimulasi listrik ini tidak membuat seseorang langsung sekaliber Albert Einstein.

Namun, jika penelitian ini sukses, mungkin saja dapat menolong beberapa orang yang mengalami hambatan dengan angka. Peneliti menggunakan teknik stimulasi otak yang disebut transcranial direct current stimulation, metode tanpa operasi yang menerpakan arus lemah ke otak secara konstan pada periode tertentu untuk meningkatkan atau mengurangi aktivitas dari neuron. Dalam penelitian baru ini, Kadosh memakai transcranial direct current stimulation untuk parietal lobe, daerah otak yang penting untuk pemahaman angka. (Livescience/ELN)***

Sumber : Kompas, Sabtu, 6 November 2010 | 04:56 WIB