Kamis, 23 September 2010
Sabtu, 04 September 2010
W RIAWAN TJANDRA : Batas Kedaulatan Negara
Batas Kedaulatan Negara
Oleh W RIAWAN TJANDRA
Kedaulatan negara merupakan inti dari UUD 1945 ketika diproklamasikan oleh para pendiri negara.
Maka, hakikat dari kemerdekaan adalah kedaulatan sehingga konstitusi yang dibentuk 65 tahun silam menjadi norma dasar (grundnorm) dari hukum-hukum yang seharusnya memerdekakan bangsa.
Hegel (1770-1831), salah satu pemikir besar pada masa lalu, pernah mengungkapkan, dialektika hukum merupakan pengakuan atas ”jiwa hukum”. Hukum dengan demikian merupakan realisasi kebebasan. Bahkan, dengan lebih tegas, pada masa itu Hegel berani menyatakan, jika seseorang bertanya bagaimana kebebasan itu mesti dipahami, maka Hegel menjawab, kebebasan itu dapat dipahami melalui hukum. Hukum, menurut Hegel, merupakan ”eksistensi dari konsep absolut kebebasan nurani”.
Di awal kemerdekaannya, Indonesia melalui preambul konstitusinya menginginkan lahirnya sebuah konstitusi yang memerdekakan dengan menyatakan ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Konstitusi yang memerdekakan pada masa itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan bagi lahirnya produk-produk hukum dan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang memerdekakan, yang dalam bahasa konstitusi dirumuskan sebagai ”kehidupan kebangsaan yang bebas”.
Pertanyaan yang seharusnya dimunculkan adalah benarkah kehidupan kebangsaan yang bebas sebagai amanat konstitusi 65 tahun silam itu telah terwujud di negeri ini? Ulah Malaysia yang terkesan menggertak Indonesia dan terkesan ingin menggeser masalah invasi aparat keamanan Malaysia ke wilayah ”kedaulatan” RI (baca: pelanggaran batas wilayah Indonesia berdasarkan Konvensi PBB Hukum Laut Internasional Tahun 1982) untuk menangkap pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang bertugas mengamankan wilayah kedaulatan RI menjadi sengketa batas wilayah harus disikapi tegas oleh pemerintah.
Invasi kedaulatan
Selama ini, Malaysia telah melakukan invasi kedaulatan budaya (melalui klaim sepihak atas produk budaya Indonesia: reog, lagu, batik, dan tari pendet Bali), kedaulatan proteksi Indonesia atas warga negaranya (perlakuan diskriminatif terhadap kebanyakan TKI di Malaysia) dan kini kedaulatan politik (melalui penangkapan petugas KKP di wilayah ”kedaulatan” RI). Batas kedaulatan negeri ini saat ini sedang diiris batas-batasnya secara internal maupun eksternal.
Secara internal, remisi dan grasi yang diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM serta Presiden atas para koruptor pada hari peringatan kemerdekaan sebenarnya merupakan klaim kemenangan para koruptor yang mengiris batas kedaulatan negeri ini dari dalam. Perilaku penyelenggara negara yang menyalahgunakan otoritasnya dan bertindak sewenang-wenang merupakan ancaman kedaulatan negeri ini yang berasal dari dalam negeri.
Batas kedaulatan negara secara eksternal yang diproklamasikan berdasarkan UUD 1945 kini menjadi taruhan karena telah diiris oleh Malaysia. Kasus lepasnya Sipadan Ligitan pada masa lalu dari proteksi kedaulatan eksternal Indonesia perlu menjadi referensi agar negeri ini lebih serius dan percaya diri untuk menggariskan secara tegas batas kedaulatan eksternalnya. Barter aparat yang bertugas di wilayah kedaulatan negara dengan pencuri ikan dari Malaysia merupakan keputusan politik yang menggeser locus kebijakan publik dalam negeri yang selama ini tidak akurat ke wilayah eksternal. Mengalihkan isu publik dalam negeri dengan mencari ”musuh bersama” dan membangkitkan isu nasionalisme merupakan salah satu cara untuk memindahkan wilayah konflik kebijakan yang meredam pertikaian kedaulatan internal yang terjadi selama ini, dari masalah bail out Bank Century sampai persoalan ledakan beruntun tabung gas.
Negeri ini harus kembali ke jiwa konstitusi yang memerdekakan, yaitu konstitusi nurani yang bebas dari invasi kedaulatan internal maupun eksternal. Memerangi bangsa lain tidak serta- merta memastikan batas kedaulatan suatu negara. Kedaulatan suatu negara bisa menjadi ilusi saat ia tak lagi mampu memenuhi hak-hak dasar rakyatnya sebagai manusia bermartabat dan menyalahkan negara lain saat ia tak lagi berdaya untuk menegakkan kedaulatan internalnya.
W RIAWAN TJANDRA,
Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Sumber : Kompas, Sabtu, 28 Agustus 2010 | 04:54 WIB