Penjajahan Itu Menusuk hingga Lidah

KOLONIALISME

Penjajahan Itu Menusuk hingga Lidah

Oleh ANDREAS MARYOTO

Kolonialisme Sejak berpuluh tahun lalu, negara-negara di Asia dan Afrika telah membebaskan diri dari penjajah. Namun, dampak penjajahan itu tak mudah hilang. Penjajahan telah merusak berbagai sendi kehidupan sebuah negara, termasuk lidah warganya. Kasus di Senegal menjadi contoh betapa penjajahan telah merusak selera makan mereka. Akibatnya, hingga sekarang penduduk Senegal bergantung pada beras impor.

Sebuah tulisan ringan dari kantor berita AFP berjudul ”Eat Local Rice? Senegalese Say No Thanks” menjadi perbincangan menarik di antara para peneliti pangan dan pertanian.

Senegal adalah salah satu negara yang terkena krisis pangan pada tahun 2008. Meski Pemerintah Senegal telah menaikkan produksi beras, tetap saja rakyat tidak bisa menerima beras lokal tersebut.

”Kami harus menampi dan merendamnya dalam waktu yang lama,” kata Mame Couma Tandjigora, salah satu pemilik restoran, mengeluhkan penanganan beras lokal yang menyulitkan ketika hendak dimasak. Karena itulah, mereka lebih menyukai beras impor dari Thailand.

Di ibu kota Senegal, Dakar, tumpukan karung beras impor mudah terlihat di kios dan restoran dibandingkan dengan beras lokal yang tumbuh di berbagai lembah di Senegal. Sangat sulit mencari beras lokal.

Ahmed Mbaye, pedagang beras, memperlihatkan kios penjualan beras yang dipenuhi oleh karung berwarna pink, biru, dan hijau yang diimpor dari Thailand. Tak ada satu pun karung yang berisi beras lokal.

”Saya hanya menjual beras impor. Beras lokal yang ditanam di sejumlah tempat di Senegal tidak ada yang mau membeli,” kata Mbaye.

Masalah ini menyulitkan Pemerintah Senegal yang terus berupaya memproduksi beras sendiri menyusul krisis pangan 2008. Agar krisis tak berulang, Senegal berupaya meningkatkan produksi beras. Bahkan, mereka menargetkan swasembada beras pada tahun 2012.

Target swasembada

Lonjakan harga beras pada tahun 2008 mendorong Senegal untuk meningkatkan produksi beras di dalam negeri. Akan tetapi, upaya mereka menemui kendala karena beras lokal tidak laku di pasar.

Soal rasa dan ketergantungan dari beras impor diduga menjadi penyebab penolakan beras impor. Beberapa analisis dikemukakan. Salah satunya adalah ”penjajahan lidah” yang sudah terjadi sejak Senegal dikuasai Perancis.

”Masalah ini harus ditinjau sejak masa kolonialisme,” kata Kepala Komisi Pembangunan dan Lingkungan Berkelanjutan pada Dewan Ekonomi dan Sosial Senegal Wore Gana Seck.

Sebelum Perancis masuk, rakyat Senegal memakan sorgum dan sejenis padi-padian. Ketika Perancis masuk, rakyat Senegal diharuskan menanam tanaman monokultur berupa kacang tanah. Pada saat yang sama, Perancis mengimpor beras dari negara jajahannya di Indochina. Beras ini untuk memberi makan warga Senegal.

”Sejak saat itu, perilaku mulai berubah. Makan nasi telah menjadi lambang sebuah status sosial di sini,” kata Deputi Direktur Bantuan dan Pembangunan Wilayah Afrika Barat Raphael Sindaye.

Ia menyebutkan, salah satu alasan beras lokal tidak bisa terjual karena beras ini dikaitkan dengan kemiskinan. Mereka yang memakan beras lokal berarti tidak memiliki status sosial.

Sindaye mengatakan, sebenarnya petani padi di wilayah utara telah memperbaiki kualitas hasil panenan mereka. Kualitas padi terus ditingkatkan agar sesuai dengan selera warga Senegal. Namun, tetap saja beras lokal tidak bisa dijual. Dari survei yang dilakukan Sindaye diketahui, dari 5.000 padi hasil panen di sebuah wilayah, sebanyak 2.400 ton belum bisa terjual.

Di samping menaikkan produksi, Pemerintah Senegal berupaya mempromosikan beras lokal. Harian setempat, Le Soleil, memberitakan, Pemerintah Senegal akan membuat kios-kios di pedesaan yang secara khusus menjual beras lokal di tengah kios-kios yang enggan menjual beras lokal.

”Ghana juga memiliki masalah yang sama. Kualitas beras lokal sangat buruk (sehingga sulit diterima konsumen lokal). Namun, mereka sukses mempromosikan beras lokal setelah sebuah poster memperlihatkan Presiden Ghana John Kufuor tengah memakan beras lokal,” kata Sindaye memberi contoh cara mempromosikan beras lokal agar diterima konsumen.

Kasus Senegal menjadi contoh bagi banyak negara berkembang lainnya. Di samping persoalan produksi, sebenarnya persoalan ”peperangan” antara produk lokal dan produk impor juga menjadi masalah yang pelik.

Persoalan untuk mengomersialkan produk lokal membutuhkan strategi yang cantik agar rakyat tidak lagi bergantung pada produk impor yang telah mencengkeram warga negara berkembang. Ketergantungan pada produk impor merupakan sebuah warisan kolonialisme yang masih belum hilang.

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Kusmanto @ Sabtu, 9 Januari 2010 | 08:18 WIB
ada-ada saja penjajahan lidah.Lidah memeng begitu tergantung kebiasaan, pemerintahnya harus pandai-pandai mepromosikan beras lokal.

Source : Kompas, Sabtu, 9 Januari 2010 | 02:54 WIB