HARI TUBERKULOSIS SEDUNIA
Salah Kaprah Tuberkulosis Anak
Oleh Fx Wikan Indrarto
Setiap tanggal 24 Maret kita memperingati sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia sebab pada 24 Maret 1882, Dr Robert Koch berhasil mengenali bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagai kuman penyebab penyakit tuberkulosis.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah sangat tua, bahkan sangat mungkin lebih tua daripada sejarah manusia itu sendiri.
Gambaran adanya TB telah ada sejak lama, misalnya dalam salah satu tokoh cerita The Hunchback of Notre Dame yang terkenal karya sastrawan besar Victor Hugo. Di dalam piramida Mesir kuno juga ditemukan gambar relief manusia bongkok yang kemungkinan besar menderita TB tulang belakang atau gibbus pada spondilitis TB. Tidak hanya itu, juga ditemukannya kuman TB pada sebagian mumi Mesir dan sebagian fosil dinosaurus.
Sepanjang dasawarsa terakhir pada abad ke-20, jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, di mana 95 persen kasus terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, TB masih merupakan masalah besar, bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai penyumbang kasus TB terbanyak di dunia.
Pada anak, TB secara umum dikenal dengan istilah ”flek paru-paru”. TB pada anak juga mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa, baik dalam aspek diagnosis, pengobatan, pencegahan, maupun TB pada kasus khusus, misalnya pada anak dengan infeksi HIV.
Dalam praktik klinis harian untuk TB pada anak, sering kali terjadi kesulitan dan keraguan dalam aspek diagnosis, pengobatan, dan penghentian pengobatan. Sebagai akibatnya, dalam banyak kasus dikatakan anak ”flek paru-paru” yang sebenarnya dapat dikatakan terjerumus dalam pitfalls (lubang perangkap). Ini berarti terjadi ”kekeliruan” dalam proses diagnosis dan/atau terapi, yang oleh karena seringnya hal tersebut terjadi, justru seolah dianggap benar (salah kaprah).
Salah kaprah
Salah kaprah biasanya dimulai dengan bias interpretasi terhadap gejala klinis anak yang dikeluhkan oleh orangtua. Batuk merupakan gejala utama infeksi TB pada paru-paru, yaitu batuk yang berlangsung lama (kronis), berdahak yang kadang bercampur dengan darah karena ada pembuluh darah di paru yang pecah. Gambaran tersebut nyata hanya pada pasien TB paru dewasa, sedangkan pada pasien anak infeksi TB jarang menyebabkan batuk. Batuk lama dan berulang pada anak justru lebih sering disebabkan asma, bukan TB.
Badan berkeringat pada malam hari juga merupakan gejala klinis yang sering mengkhawatirkan orangtua. Keringat malam sebenarnya merupakan gejala klinis yang penting pada pasien TB dewasa. Produksi keringat pada malam hari pada saat tidur nyenyak biasanya disebabkan oleh peningkatan metabolisme basal tubuh (basal metabolic rate). Pada infeksi TB dewasa terjadi peningkatan tersebut sehingga keluhan keringat malam pasti sering dijumpai.
Sebaliknya, peningkatan metabolisme basal pada anak lebih sering disebabkan karena dikeluarkannya dan berfungsinya hormon pertumbuhan (growth hormone) pada malam hari. Hormon ini sudah tidak dikeluarkan dalam jumlah bermakna pada orang dewasa sehingga hanya ditemukan pada anak yang mengalami pertumbuhan, terutama pada malam hari (sircadian cycle). Itulah yang menyebabkan anak sering berkeringat saat tidur malam, bahkan pada saat tidur di ruang ber-AC yang orangtuanya justru sudah kedinginan dan berselimut tebal.
Nafsu makan
Nafsu makan anak yang tidak baik merupakan keluhan yang sangat sering disampaikan oleh orangtua yang takut akan ”flek paru-paru” (phobia flek). Keluhan ini disebabkan oleh berbagai hal, baik bersifat medis, psikologis, sosial, maupun salah kaprah. Hampir semua penyakit pada anak akan menurunkan nafsu makan, tidak hanya dan bukan satu-satunya akibat TB.
Variasi, rasa, dan tampilan menu makanan secara psikologis juga akan memengaruhi selera makan anak. Begitu juga suasana rumah, hubungan antaranggota keluarga, dan masalah sosial lain, bahkan termasuk persepsi orangtua yang keliru tentang nafsu makan anak, sangat berpengaruh dalam tinggi rendahnya nafsu makan mereka.
Penyakit saluran cerna, baik sariawan, sakit gigi, gangguan pencernaan, maupun, bahkan, cacingan, perlu juga dipikirkan sebagai salah satu penyebab terganggunya nafsu makan anak, sebelum pelacakan TB dimulai.
Demam ringan lama yang biasanya bersifat demam ringan atau subfebris (Jw: semlenget), dapat disebabkan oleh adanya infeksi di organ apa pun, tidak hanya ”flek paru-paru” dan stadium awal penyakit kanker (keganasan). Memang, TB harus dipikirkan sebagai penyebab utama, tetapi penyakit lain yang cukup sering terjadi pada anak seperti tifus, amandel (tonsilitis), congek (otitis media), sinusitis, ataupun infeksi saluran kencing juga harus dipikirkan dan kalau perlu diperiksa terlebih dahulu.
Benjolan di leher, yang merupakan pembesaran kelenjar limfa dan sering disamakan dengan tanda ”flek paru-paru”, seharusnya perlu dibedakan antara ”teraba” dan ”membesar”. Kelenjar itu dikatakan membesar bila diameternya di atas 1 sentimeter, sedangkan kalau di bawah 1 sentimeter harus dianggap teraba, yang biasanya disebabkan oleh batuk pilek berulang atau alergi, dan sering kali disertai pembesaran amandel. Benjolan di leher yang mengarah ke TB sebenarnya cukup khas sebab akan teraba besar, bergerombol, tidak nyeri saat ditekan, dan saling melekat.
Pemeriksaan penunjang medis yang sering dilakukan untuk mendiagnosis TB pada anak meliputi pemeriksaan foto rontgen dada, uji tuberkulin atau Mantoux, laju endap darah, limfositosis, dan serologi.
Meskipun pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di hampir semua fasilitas kesehatan, sebenarnya nilai atau bobot diagnostik untuk TB tidaklah tinggi. Bahkan, pada pasien TB anak semuanya hampir tidak khas karena dapat dipengaruhi oleh banyak aspek nonmedis dan dapat menyebabkan salah interpretasi.
Oleh sebab itu, pada kasus yang meragukan, semakin banyak pemeriksaan yang dilakukan dan menunjukkan hasil positif, tentunya akan semakin mengecilkan kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis. Demikian juga sebaliknya.
Pasien TB dewasa lebih mudah didiagnosis sebab ada sebuah pemeriksaan penunjang medik yang obyektif dan dapat dijadikan baku emas (gold standard) diagnosis TB. Pemeriksaan tersebut adalah menemukan bakteri TB pada pemeriksaan dahak (BTA positif pada sputum).
Pengeluaran dahak sebagai bahan yang akan diperiksa di laboratorium bukan hal mudah yang dapat dilakukan anak, apalagi anak kecil. Tanpa bukti adanya bakteri TB dalam pemeriksaan mikroskopis, diagnosis TB akan semakin terbuka kemungkinan untuk diragukan.
Dengan memahami ”salah kaprah” (pitfalls) tentang TB pada anak, seperti diuraikan di atas, dokter, dan orangtua atau keluarga pasien dapat saling mengingatkan sehingga tidak terjerumus dalam overdiagnosis dan overtreatment TB yang tidak perlu.
FX WIKAN INDRARTO,
Dokter Spesialis Anak di RS Bethesda Yogyakarta
Source : Kompas, Rabu, 24 Maret 2010 | 04:08 WIB