RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Kamis, 25 Maret 2010

Penyakit Dapat Menjadi Bencana Global

PENGENDALIAN PENYAKIT

Komunikasi Versus Virus

Oleh INDIRA PERMANASARI

Penyakit dapat menjadi bencana global. Korban yang berjatuhan pun mampu mengalahkan jumlah jiwa yang melayang dalam perang dunia.

Perang Dunia I, misalnya, diperkirakan menelan korban sekitar 16 juta jiwa. Tak kalah mengerikan, wabah influenza yang menyapu dunia tahun 1918 ternyata membunuh sekitar 50 juta jiwa!

Mengutip buku Crisis and Risk Emergency Communication; Pandemic Influenza, dalam hitungan bulan, virus pada 1918 tersebut membunuh lebih banyak dibanding berbagai jenis penyakit yang pernah terekam dalam sejarah.

Begitu dahsyatnya, kejadian tahun 1918 itu kemudian masuk dalam pembelajaran sejarah Amerika.

Kemunculan sindrom pernapasan akut parah (SARS), flu burung (H5N1), dan influenza A-H1N1 membangkitkan kesadaran pentingnya perhatian pada tragedi kesehatan publik. Selain aspek kesehatan, wabah juga berdampak terhadap perekonomian, kondisi sosial, dan psikologi.

Flu burung menyebabkan 1,25 juta unggas dibunuh dalam dua hari dan para petani stres kehilangan bisnisnya di Hongkong pada Juli 2005. Ancaman belum akan berakhir. Bahkan, bermunculan berbagai penyakit infeksi baru dan kembali munculnya infeksi lama di tengah kondisi manusia dan lingkungannya yang terus berubah.

Komunikasi krisis

Komunikasi krisis dan risiko kedaruratan menjadi komponen vital dalam respons kedaruratan kesehatan masyarakat. Perhatian strategi komunikasi tidak hanya seputar persoalan klinis, tetapi juga pada level biologis, psikologis, dan sosiologis.

Pakar komunikasi dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika, Barbara Reynolds dalam Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) Training di Atlanta, Amerika Serikat, awal Maret lalu, menyatakan, komunikasi krisis ikut menentukan keberhasilan pengendalian penyakit. Komunikasi krisis bertujuan mencegah kesakitan dan kematian selanjutnya, menenangkan situasi, membangkitkan kepercayaan terhadap sistem operasional. Terlebih lagi situasi krisis kerap ditandai dengan kekacauan.

Komunikasi krisis dan risiko dalam kedaruratan, terutama penting ketika menghadapi penyakit yang menyebabkan kematian, mudah ditularkan, dan belum pernah ada sebelumnya. Misalnya SARS, yang merupakan wabah global pertama pada abad ke-21 yang kemudian menjadi salah satu pemicu pengembangan strategi komunikasi krisis dan risiko kedaruratan. Strategi komunikasi tersebut merupakan payung dari kebijakan perencanaan, persiapan, dan respons terhadap kedaruratan.

Barbara menyatakan, dalam beberapa kajian, misalnya, kasus influenza A-H1N1 dan flu burung, dengan strategi komunikasi krisis yang baik kepada publik, setidaknya bisa dicegah terjadinya ledakan besar kasus dalam waktu cepat.

”Tetap terjadi peningkatan kasus, tetapi dengan kurva lebih landai dan kemudian perlahan turun jumlah kasusnya. Jika tidak ada komunikasi publik yang baik, kasus cenderung meningkat tajam dengan cepat di tempat tersebut dan kemudian baru turun setelah adanya penanganan. Namun, korban lebih besar telanjur terjadi,” ujarnya.

Dalam penanganan krisis A-H1N1 di Meksiko, misalnya, penanganan tidak hanya oleh ahli epidemologi, tetapi melibatkan pakar komunikasi.

Pemimpin harus jujur

Konsultan Komunikasi Risiko Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Jodi Lanard berpendapat, dalam situasi krisis dan risiko kedaruratan, persepsi orang terhadap risiko berbeda-beda.

Orang dipenuhi rasa ketidakpastian, cemas, dan merasa tidak aman. Dalam situasi darurat, cara berkomunikasi pun harus berbeda. Peran tersebut terutama dipikul oleh otoritas atau pemimpin.

”Di tengah krisis, otoritas perlu menjadi yang pertama menyampaikan informasi. Pesan harus jujur, serta disampaikan penuh empati,” ujarnya.

Dia meyakini, dalam situasi krisis dan kedaruratan secara psikologis masyarakat masih mampu menerima berita buruk.

”Yang mereka butuhkan bukan kata-kata palsu menenangkan, melainkan informasi. Masyarakat siap menerima instruksi agar bahaya tidak menimpa mereka,” kata Jodi.

Ketika pemimpin tidak segera angkat bicara dan memberikan informasi, masyarakat mencari sumber-sumbernya sendiri. Padahal, belum tentu sumber itu benar dan, bahkan sebaliknya, bisa berbahaya. Industri terkait juga mengambil kesempatan berdagang. Rumor pun rawan beredar. ”Saat kasus SARS, muncul cerita SARS merupakan virus dari debu luar angkasa yang jatuh ke Bumi,” ujar Jodi.

Pesan yang disampaikan kepada masyarakat juga harus jujur. Barbara mengatakan, masyarakat mampu ”mendeteksi” kebohongan. Tidak hanya dari kata-kata, tetapi juga bahasa tubuh. ”Ketika terjadi bencana dan dalam beberapa hari pemimpin mengatakan, situasi sudah terkendali, masyarakat tentu sulit percaya. Beritahukan informasi yang sudah diketahui dan segera selidiki informasi lainnya,” ujarnya.

Ketika pemimpin jujur menyampaikan informasi, masyarakat percaya dan akan mengikuti rekomendasi yang diberikan. Rekomendasi sederhana sekalipun, seperti mencuci tangan, jika dituruti, akan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Kejujuran juga menentukan kredibilitas pemberi pesan yang dalam jangka panjang sangat menguntungkan.

Kegagalan berkomunikasi di tengah krisis akan merugikan pemimpin lantaran masyarakat kehilangan kepercayaan, rekomendasi tak dipatuhi, pendanaan hilang, penyakit sulit dikendalikan, dan yang terpenting: masyarakat merasa diabaikan.

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 04:08 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar