Jumat,
25 Februari 2011
BAHASA
Bual
Oleh KASIJANTO SASTRODINOMO
Jakarta membual lagi? Pertanyaan pendek itu telontar dari seorang teman asal Tembilahan, Riau. Saya mengira dia ingin ngobrol tentang debat elite politik akhir-akhir ini. Ternyata maksud pertanyaannya adalah apakah Jakarta dilanda banjir lantaran didera hujan dalam beberapa bulan belakangan. Tak lekang kemelayuannya, teman itu memilih kata membual, dari bual, untuk memerikan luapan air yang deras. Arti pertama kata bual dalam Kamus Dewan (2005) memang seputar air: bunyi air yang memancar, dan pancaran air. Kemudian ’omong kosong’ atau ’borak’ sebagai arti berikutnya.
Kebanyakan penutur Indonesia memahami bual, membual lebih pada arti ’omong kosong’. Mengenai pancaran air yang deras atau kuat, semisal banjir, biasa dikatakan luap, meluap saja, atau gelegak, menggelegak yang lebih bertenaga. Bisa juga buncah, membuncah yang terasa puitik. Dalam bahasa Indonesia jarang terucap, ”Banjir besar membual di Jakarta setiap tahun.” Dari segi fonem, bual—dalam arti pancaran air itu—malah lebih dekat dengan mubal dalam bahasa Jawa yang juga menggambarkan air mendidih atau bergolak dari sumbernya.
Bahasa Melayu tampaknya menekankan makna positif, atau netral, terhadap kata bual seperti terlihat pada tuturan Abdullah, munsyi Melayu yang kondang itu. Dalam Kisah Pelayaran Abdullah Ka-Kelantan dan Ka-Judah, Abdullah antara lain menceritakan pertemuannya dengan Tengku Siak dan Tengku Tanjong di Kuala Pahang. ”Maka sahaya berkhabar-khabar-lah dengan dia...,” tulisnya. Penyunting naskah, Kassim Ahmad, memberi anotasi kata lain berkhabar-khabar dalam kalimat itu adalah berbual-bual yang bermakna semacam silaturahim.
Tentang omong kosong, orang Melayu punya ungkapan cakap angin yang jitu. Lagi, dalam riwayat Abdullah yang lebih tenar, Hikayat Abdullah (anotasi RA Datoek Besar dan R Roolvink, 1953), tersebutlah sang munsyi menyindir orang yang mengaku dirinya pandai pada zaman itu sebagai ”tjakapnjapun ber-lebih²an, supaja dipertjaja orang akan dia pandai, tetapi tjakap angin sahadja” [ejaan sesuai dengan aslinya]. Penjelasan terhadap tjakapnjapun ber-lebih²an adalah ’bitjaranjapun, perkataannjapun lebih dari keadaan jang sebenarnja’, sedangkan tjakap angin adalah ’omong kosong’ alih-alih ’bual(an)’.
Jangan lupa pula, bual dalam Melayu menjadi bagian dari istilah acuan penulisan ilmiah, yakni temu bual alias wawancara. Penulis Sejarah Brunei Menjelang Kemerdekaan, Sabihah Osman dan kawan-kawan, menyebutkan salah satu sumber datanya adalah ”Temu bual dengan Yang Dimuliakan Pehin Orang Kaya Laila Wangsa Haji Mohd Salleh”. Perbualan itu tentulah bukan omong kosong, apalagi dilakukan dengan pemangku budaya luhur tradisional sekaligus elite pemerintahan di negeri itu. Ragam yang lebih ”halus” adalah temu ramah seperti ditulis Khazin Mohd Tamrin dalam Orang Jawa di Selangor.
Kita di Indonesia lebih baik bersikap waspada terhadap kata bual setidaknya karena dua alasan. Yang pertama waspada jika bual itu berarti banjir besar termasuk lahar dingin. Waspada kedua bila ternyata bual itu kata lain kebohongan yang, menurut isu politik, kini dimainkan kalangan pemuka negeri ini.
KASIJANTO SASTRODINOMO,
Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Sumber : Kompas, Jumat, 25 Februari 2011
KOMENTAR
Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini.
- cimix nadzir
Jumat, 25 Februari 2011 | 11:43 WIB
alangkah indahnya keragaman bahasa, apalagi kalau kita bisa bersatu dengan keragaman tersebut
- samiadi rahman
Jumat, 25 Februari 2011 | 11:31 WIB
Sejatinya masih ada waspada ketiga, yakni bagi para guru bahasa Indonesia. Rajin-rajinlah membuka kamus sehingga kekayaan akan kosa kata terus bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar