RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Sabtu, 19 Februari 2011

Mengurangi Trauma dan Sakit Saat Pengobatan

KANKER PADA ANAK

Mengurangi Trauma dan Sakit Saat Pengobatan

Sabtu, 17 Februari 2011/18:21 WIB

Ruswanto Adi Pradana Online

Orangtua dan anak-anak pasien kanker tinggal di Rumah Kita, salah satu rumah singgah milik Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia di kawasan Salemba, Jakarta, Jumat (11/2). Tempat ini khusus menampung anak-anak penderita kanker dari keluarga prasejahtera yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit. (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)***

Adzi Nurrahman (4,5) duduk di kursi roda. Di sisinya tampak tiang dan tabung infus dengan selang terpasang di tangannya. Ia asyik bermain mobil-mobilan. Namun, sesaat kemudian ia bosan, lalu merengek minta pulang. Lusiana Indriasari

Rengekan berubah menjadi tangisan keras ketika dokter yang merawat Adzi di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) belum mengizinkan bocah itu pulang. ”Kondisinya sedang drop,” kata Dian Ekasari (36), ibu Adzi, Jumat (11/2).

Dian berusaha keras menenangkan Adzi. Ia mengajak anaknya berkeliling selasar ruang perawatan. Namun, Adzi, yang dirawat di Ruang Onkologi Anak RSKD sejak 2008, terus rewel dan minta pulang.

”Kalau sedang bosan, Adzi bisa mengamuk. Ia kangen dengan rumah dan teman-temannya,” kata Dian sambil mengajak Adzi turun ke lobi rumah sakit.

Rumah sakit sudah menjadi tempat tinggal Adzi selama hampir tiga tahun. Sejak dideteksi menderita kanker darah (leukemia), Adzi dan ibunya harus meninggalkan rumah mereka di Pondok Melati, Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat. Ia menempati salah satu dari 32 tempat tidur di Ruang Onkologi Anak RSKD.

Adzi jarang bisa bermain dengan teman-temannya; main sepeda, petak umpet, atau main kejar-kejaran. Kanker darah telah melumpuhkan aktivitas luar ruang yang ia butuhkan.

Ketika pertama kali dirawat, anak bertubuh subur itu harus tinggal selama tiga bulan di rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Apabila kondisinya membaik, ia diperbolehkan pulang selama beberapa hari, kemudian balik lagi ke rumah sakit untuk meneruskan prosedur pengobatan. ”Boleh dibilang, kehidupan anak saya kini 95 persen dijalani di rumah sakit,” tutur Rusfin (39), ayah Adzi.

Traumatis

Berdasarkan data RSKD, pada 2010 tercatat 63 kasus kanker pada anak. Kanker yang paling banyak ditemukan pada anak adalah leukemia dan retinoblastoma (kanker mata).

Untuk leukemia, pengobatan dilakukan dengan kemoterapi. Kemoterapi harus dijalani tanpa putus selama dua tahun. Setelah sesi kemoterapi berakhir, pasien wajib kontrol secara berkala. Jika kambuh, ia harus dikemoterapi lagi.

”Lamanya pengobatan bisa membuat penderita kanker tertekan. Apalagi jika dialami anak-anak yang sedang giat bermain dan berteman,” kata dr Anky Tri Rini Kusumaning Edhy, SpA, Kepala Bagian Unit Onkologi Anak RSKD.

Suasana rumah sakit dan prosedur pengobatan juga menimbulkan trauma pada anak. Febbi (4), yang berasal dari Batam dan sudah delapan bulan tinggal di rumah singgah milik Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) di Salemba, Jakarta, selalu ketakutan apabila melihat orang asing menghampiri. ”Enggak mau ke rumah sakit, enggak mau...,” Febbi menangis, Jumat, ketika melihat beberapa orang menghampirinya.

Menurut ibu Febbi, Mimi Mariati (36), selama berobat, Febbi harus diambil darahnya dua kali sehari. Jarum suntik yang menembus kulitnya membuat ia menjerit-jerit. ”Ia sudah hafal ruang pengambilan darah dan ruang infus. Setiap kali mau masuk ruang itu, Febbi pasti menangis,” kata Mimi yang membawa Febbi berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

”Faktor psikologis anak merupakan salah satu penentu keberhasilan pengobatan. Jika anak ketakutan dan stres, justru memperparah sakitnya,” kata Anky. Untuk menunjang keberhasilan pengobatan, bagian onkologi anak mengembangkan konsep pengobatan tanpa rasa sakit dan tanpa rasa takut (no pain, no scared).

Mengurangi rasa sakit

Menurut dokter spesialis anak RSKD, Eddy Tehuteru, setiap melakukan tindakan pada anak, rumah sakit kanker rujukan nasional ini menggunakan obat penghilang rasa sakit. ”Bentuknya salep, cukup dioleskan di kulit anak-anak agar tidak kesakitan,” katanya.

Dibantu Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI), RSKD merenovasi ruang perawatan anak seluas 500 meter persegi. Dinding ruang perawatan anak dicat warna-warni, dilengkapi gambar buah-buahan, binatang, dan tumbuhan. Ruang perawatan juga dilengkapi dengan pengatur suhu, ruang bermain, sambungan internet, dan komputer.

Ada lagi ruang konsultasi psikologi dan psikososial untuk membantu pasien dan keluarga mereka. ”Kami tak ingin selama pengobatan anak-anak kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang,” kata Anky.

Selain RS Dharmais, YOAI juga membantu empat rumah sakit lain, yaitu RSPAD Gatot Soebroto, RS Fatmawati, RS Harapan Kita, dan RSCM. Namun, belum semua rumah sakit bisa menyediakan fasilitas seperti RSKD.

Di RSCM, ruang perawatan anak sebatas dicat dengan warna hijau terang dan oranye. ”Kami akan merenovasi total bangsal anak. Pembangunan kira-kira dimulai pada April ini dan akan memakan waktu tiga tahun,” kata dr Rinawati Rohsiswatmo, SpA, salah seorang pengurus di ruang perawatan anak RSCM.

Untuk mengalihkan kebosanan dan rasa takut, pasien anak-anak di RSKD dan rumah sakit lain juga diajak melakukan berbagai kegiatan.

Mereka diberi kegiatan menggambar, membuat bando, gelang, origami, dan lain-lain. Selain itu, relawan dari Yayasan Pita Kuning juga membantu pasien anak belajar agar tetap bisa mengikuti pelajaran sekolah.***

Sumber : Kompas, Rabu, 16 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar