7 April 2011
RUSWANTO ADI PRADANA ONLINE
CERPEN
Pusara
Oleh Yovantra Arief
Apalagi yang luput untuk diceritakan? Gelas-gelas kosong, isak tangis surut, pelayat beringsut meninggalkan rumah duka dan ayat-ayat suci menguap di udara. Jenazah masih berbaring kaku, asing dari keajaiban.
Suasana berkabung dengan air mata dan doa-doanya terlalu menyedihkan. Aku memandang Togar, teman lamaku sejak kecil, dari kejauhan. Dia setengah mati menahan diri untuk tidak menangis. Padahal dia berhak untuk itu. Kami berdua dan adiknya; Ranto, yang menjadi jenazah sekarang, tak pernah luput satu sama lain semenjak kecil. Aku pun mestinya menangis, tapi tidak. Tuhan—dan Anda juga nanti—tahu aku adalah orang yang menyedihkan. Tidak perlu air mata untuk membuktikan itu.
Para pelayat mulai surut; tinggal keluarga inti, beberapa kerabat dekat dan kekasih yang ditinggal pergi. Aku meminta diri. Togar mengerti lalu mengantar sampai ke pintu. Jabat tangan kami berlanjut jadi pelukan erat. Aku merasakan cairan hangat merembes di punggungku. Samar sebuah isak lolos dari pengawasannya, kemudian dia melepas lengannya dariku dengan wajah seperti yang selalu kulihat: air muka keras dengan keangkuhan yang khas serta segaris senyum yang jarang luput dipasang. ”Sering-sering main ke sini,” katanya. ”Pasti,” jawabku. Kami saling bertukar salam dan dia kembali menyelinap dalam kesedihannya.
Aku berbalik menelusuri jalan pulang. Pukul dua. Fajar tinggal beberapa jam lagi. Purnama masih bergelayut di mana dia semestinya berada. Begitu pucat, begitu pasi. Begitu mati. Aku terus melangkah tanpa menoleh ke arah rumah duka untuk terakhir kalinya. Aku tidak bisa kembali melihat kesedihan itu. Tidak setelah air mata Togar merembes di punggungku. Aku tidak pernah menyambanginya lagi setelah malam itu.
Mungkin kematian bukanlah hal yang menyenangkan untuk memulai sebuah cerita, tapi sebuah cerita tetap harus dimulai dengan cara apa pun itu. Yang barusan kau baca bukanlah kematian pertama dan, aku bisa memastikan, bukanlah yang terakhir yang pernah bersentuhan denganku. Enam bulan setelahnya, kakek meninggal. Nenek benar-benar terpukul dan nampak kehilangan sebagian besar porsi kehidupannya. Satu tahun kemudian, beliau menyusul. Sebelum kusadari, aku mulai menandai waktu dengan kepergian orang-orang di sekelilingku. Mungkin aku terkesan terlalu muram; terlalu melebih-lebihkan, tapi seperti sudah kubilang sejak awal, pada dasarnya aku memang orang yang menyedihkan.
Selepas kuliah aku mulai mengendus rupiah sebagai freelance graphic designer. Nama yang kedengarannya cukup upbeat—mungkin karena ditulis dalam cetak miring—tapi biar aku luruskan terlebih dahulu: kemilau graphic design nyaris hanya sebatas nama. Sebagian lulusan sekolah graphic design terdampar menjadi pengusaha jasa printing kelas menengah dan sebagian besar ilmu yang dibayar dengan harga mahal tersesat tak tersalurkan. Sebagian lain bekerja mati-matian untuk memenuhi tuntutan industri kemasan sekaligus harus berhadapan dengan klien keras kepala, pesaing picik dan perlombaan dengan waktu.
Lama-kelamaan kau akan kelelahan dan ketika rasa lelah itu merongrong batok tengkorakmu, fakta yang tak terelakkan menendang bokongmu: kreativitas yang awalnya kau harapkan akan membantu mendaki tangga karier tak membawamu ke mana-mana. Kreativitas hanya kemampuan membongkar-pasang idiom-idiom klise lawas dari tempat sampah untuk menghasilkan sesuatu yang—nampaknya—baru. Yang benar-benar kau butuhkan adalah kecerdasan sosial.
Secara finansial mungkin pekerjaan ini tidak terlalu memuaskan, tapi tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku juga butuh makan dan orangtuaku tidak bisa terus-terusan memanggul tanggung jawab itu. Bekerja adalah hal yang semestinya dilakukan selepas kuliah. Untuk itulah orang rela membuang uang demi pendidikan. Semua orang tahu: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, kerja lagi, dan akhirnya, mati.
Hari-hari berlalu. Banyak cerita yang luput. Lima tahun setelah pemakaman Ranto aku berusia dua puluh enam dengan pekerjaan tetap dalam media massa. Wanita datang-pergi, dua tahun ini bernama Asri. Satu tahun lebih muda, cerdas, manis, dan punya senyum menawan ala iklan pasta gigi.
Kematian menghadang suatu pagi. Tak diduga dan tak dikenal, bergelimpang begitu saja di tengah jalan dengan sayur-mayur, tangis bocah dan sepeda motor tua. Sebuah truk melanggar sebuah keluarga kecil yang berboncengan di atas motor di perempatan. Sang ibu hanya luka kecil, begitu juga dengan kedua anaknya—bocah laki-laki sekitar lima tahun dan gadis cilik selisih beberapa tahun lebih tua, keduanya berseragam SD. Namun tidak dengan sang bapak. Wajahnya rusak terhantam trotoar dan tubuhnya remuk tergilas roda truk. Dia tewas seketika. Puluhan orang mengerubung, polisi merapikan lalu lintas yang kusut. Beberapa orang ditagih keterangan. Sopir truk bermata merah diamankan. Aku urung bekerja hari itu.
Ibu terkejut melihat kepulanganku, hari masih pagi dan aku sudah pulang dengan awan hitam menggantung di atas ubun-ubun. Aku bilang sedikit tidak enak badan, dia percaya lalu pergi ke kamar mandi. Di atas kasur aku mereka ulang kejadian; bapak menjemput ibu di pasar lalu mengantar kedua anaknya bersekolah. Lampu lalu lintas berubah merah, tapi kedua anaknya sudah hampir terlambat. Tak ada kendaraan lewat di depan. Dia tancap gas. Lalu sopir truk: pertengkaran dengan istri membuatnya tak bisa tidur semalaman, matanya berat meski segelas kopi kental sudah disikat. Lampu kuning, dia mengusap mata dan menggeleng keras mengusir kantuk. Gas diinjak dalam karena kecepatan bisa membuatnya tetap terjaga. Sepeda motor melengang dengan suara terbatuk. Kantuk diusir panik. Rem sempat diinjak, tapi terlambat tetap terlambat.
Keputusan itu datang begitu saja. Mendadak menelusup masuk ke kepalaku ketika ia terpelanting di atas bantal. Aku harus keluar dari tempat ini, sangkar yang menjadi tempatku kembali sampai sekarang. Memalukan, kata orang, masih tinggal bersama orangtua. Tapi bukan itu yang jadi alasan. Kejadian di jalan beberapa hari lalu terus menghantui kepalaku. Darah di jalan, anak-anak menangisi kematian ayah di dekapan ibu mereka—begitu intim. Begitu tragis.
Seperti foto di dinding: ibu—dengan gaun merah dan rambut disisir ke belakang—di sebelah kiri; memangku adik yang tidak sempat bersiap untuk difoto, ayah mengenakan jas hitam dan sebuah kumis tipis berdiri kaku di samping ibu, aku di depannya, tujuh tahun, dengan setelan kemeja putih dan tawa lebar. Waktu membuat foto itu usang. Kenangan di dalamnya terasa berjarak. Di dalam bingkai itu aku menemukan sebuah keluarga. Begitu intim. Ketika aku mendapati diriku sendirian di meja makan untuk makan malam: begitu tragis.
Tidak ada drama ketika aku pergi karena aku tidak pergi jauh. Rumahku hanya empat puluh lima menit dari rumah. Ibu masih tertidur waktu aku mengangkut barang terakhir, adik sudah pergi kuliah sedari pagi dan ayah pun tak ada di rumah. Tempat tinggal baruku benar-benar sederhana. Satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi dan satu dapur. Sedikit perabotan... paling tidak aku bisa menyebutnya rumah.
Dua tahun kemudian aku dan Asri menikah.
Hari-hari yang baru menunggu di depan sana. Aku mencintai Asri dan mungkin dia juga begitu. Kebahagiaan-kebahagiaan kecil terus menyisip dari balik selimut, kopi pagi, dan telepon di jam istirahat.
Suatu malam aku terbangun dengan keringat dingin. Mimpiku pasti buruk sekali, mujur aku lupa ketika terjaga. Mimpi itu masih menyisakan teror yang merayap di balik kulit. Merobek dinding tipis yang memisahkannya dari realitas dan mengintip dari celah sempit. Mengintai dengan tajam matanya yang entah, menunggu waktunya tiba. Aku tidak tahu apa. Asri tidur meringkuk memunggungiku. Tersesat dalam mimpinya sendiri. Saat seperti inilah, pembaca yang budiman, kesepian nyata-nyata menyelimuti dan kau bisa menggapai tanganmu untuk merangkulnya.
”Jatuh tertidur sungguh mengerikan,” celetuk Patricia Franchini. ”Tidur memisahkan manusia. Meski kau sedang tidur bersama seseorang, kau tetap sendiri.”
Hey, siapa Patricia Franchini? Apa urusan dia di cerita ini?
Aku bangkit menuju dapur untuk sekaleng bir lalu duduk di ruang tamu. Dua pasang mata di dinding memandangiku tanpa berkedip. Tapi bukan aku benar yang mereka pandang. Tatapan itu terlempar jauh ke depan, menantang masa depan dan segala kejutan yang disimpannya tanpa bersenjata apa-apa. Mungkin tanpa senjata sama sekali pun tidak sepenuhnya benar. Keduanya membersitkan cinta. Kau bisa melihatnya dari mata Asri yang sedikit sembap karena haru. Hari pernikahan kami benar-benar melepaskan kodratku sebagai makhluk yang—pada dasarnya—menyedihkan. Sampai sekarang pun aku masih merasa asing di depan foto pernikahan kami.
Inikah jawabannya—jalan keluar dari kehilangan dan kematian yang bertubi-tubi? Tiba-tiba aku bertanya-tanya. Cintakah? Kalau benar, apakah benar aku mengalaminya?
Cintakah Ferdinand dan Mariane, Samsul Bahri dan Siti Nurbaya—cintakah strangers in the night yang begitu sendu dinyanyikan Frank Sinatra? Kalau bukan, kenapa aku menitikkan air mata untuk mereka, seperti aku menitikkan air mata ketika Asri mengatakan ’iya’ untuk lamaranku?
Aku tidak menemukan jawabannya. Cuma ada tanah basah dan nisan dingin. Kaleng bir lolos dari genggamanku lalu menghantam ilalang. Gila, hidupku hanya perjalanan dari satu pemakaman ke pemakaman lain. Selalu tentang kematian dan kehilangan. Pikiran ini sudah cukup untuk menerormu seumur hidup.
Aku bersimpuh di depan nisan kakek. Nenek dan Ranto nampak tersenyum satu meter di bawah tanah. Dengan pengap dan belatung yang menggerogoti tubuh bagaimana mereka bisa tersenyum—seperti apa wujud tengkorak ketika sedang tersenyum?
Aku menemukan diriku terkapar. Peluh merangkak dari ujung mataku. Tak mengapa. Tak mengapa, tegasku meyakinkan diri sendiri.
Samar lagu mengalun. Sebuah tangan menuntunku untuk berdiri. Senyum pasta gigi itu menemukan pertahanan terakhirku dan meremukkannya dengan hangat. Tangan kanannya menyelinap di pinggangku dan jemari tangan kirinya menyelinap dalam jemariku.
”Sudah lama kita tidak berdansa dengan lagu ini.”
Sudah lama kami tidak berdansa dengan lagu ini. Aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya berdansa, tapi perlahan aku menemukan ingatanku dalam setiap langkah.
Aku tidak lagi berjalan gontai dari satu pemakaman ke pemakaman lain. Aku berdansa. Kami adalah dua orang asing yang berdansa tengah malam di atas alunan strangers in the night Sinatra. Tak jauh dari kami Ferdinand dan Mariane berdansa, begitu juga Samsul Bahri dan Siti Nurbaya. Tak ada yang tahu letak cinta, tapi cinta tahu untuk siapa dia ada. Mungkin.
Senyum pasta gigi Asri melumer, tinggal partikel kristal yang berkilauan di sela deretan giginya. Begitu asing. Setelah sekian lama aku hanya jadi penonton dalam hidupku sendiri, aku baru sadar aku tidak pernah sendiri. Selalu ada tangan-tangan yang siap mengangkatku kalau aku jatuh dan aku tak pernah peduli. Aku selalu penuh dengan diriku sendiri. Aku lebih banyak menggunakan ’aku’ kalimatku. Aku tak tahu apa pun tentang Asri. Aku tak menyisakan banyak kalimat untuk menggambarkan betapa cantik senyumnya, molek kulitnya, bagaimana matanya menyihir kata-kata sampai kehilangan makna. Tentang kesedihannya, kehilangannya... dia pantas untuk itu. Begitu juga dengan Ranto, nenek dan kakek. Ayah, ibu, adik, Togar—
Cerita ini harus ditulis ulang. Mulai dari hari pertama aku bertemu Asri.
Source : Kompas, Minggu, 3 April 2011
KOMENTAR
Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini.
Minggu, 3 April 2011 | 23:29 WIB
Sekali membaca cerpen ini, belum ada makna yang bisa kucerna, meski rasanya tidak ada yang kurang, tapi entahlah sulit merangkai alinea satu ke alinea berikutnya, tapi anehnya ini menimbulkan penasaran sehingga seakan mengharuskan aku membaca dua atau tiga kali lagi, dalam suasana yang berbeda barangkali bisa timbul kesan yang berbeda juga.
Minggu, 3 April 2011 | 11:49 WIB
Yovantra Arief yang nulis.. keren..
Minggu, 3 April 2011 | 07:40 WIB
ini yg nulis sapa? cara berceritanya mengingatkan pada agus noor, SGA atau MB. Cerdas..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar