RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Minggu, 03 April 2011

Puisi Pranita Dewi dan Inggit Putria Marga

Minggu,

03 April 2011

RUSWANTO ADI PRADANA ONLINE

P U I S I

Pranita Dewi

Ngaben

1.

Hanya ada nyala, nyala, dan nyala

serta senja yang karam perlahan

di garis laut yang jauh: di sana,

matahari, lentera kekal itu, setia

menunggu abuku

Hidup yang baru saja kuakhiri akan menjadi

seperti mimpi yang selalu terlupakan

di pagi hari.

Kini kubiarkan jasadku bermukim di semesta

dan kutinggalkan semua, wahai kalian kawan

seperjalanan.

2.

Terberkatilah semua yang dikira orang mati!

Lihatlah,

mayat yang terbahak ini

tergeletak serupa batu cadas,

sendiri dan abai, hanya memandang ke atas

dan tak sekalipun mengerdip.

3.

Tulang belulangku, kawan setia semasa hidup dulu,

betapa lega mayat ini menuju keluluhannya

Sebab telah kuterima persembahan tanpa mata dan

telinga: ulat-ulat ulung ini.

kini galilah kenanganku dengan

mantra, wahai engkau yang gemar

hidup, dan katakan

padaku apa masih ada siksaan

bagi jasad muda begini?

4.

Sebab ini kali aku belum akan moksa: api

akan meyakinkan bahwa aku masih fana.

Kini mesti kukembalikan tubuh pinjaman

yang compang-camping ini

kepada abu dan debu.

2010-2011


Pranita Dewi

Hujan

Di luar, hujan memaku kota,

deret bangku, taman-taman rahasia

yang kini tinggal jadi impian

Siapa berkisah tentang angin yang semalam cuma mampir

bertiupan, mendesah dan hilang sejenak

lalu menerpa dan menghampiri kita?

Sampai batas dan usiaku tiba di gerbang kayu

menunggu seorang penyihir datang

dan membukakan peta kematianku

Di mata penyihir itu

ada bola yang seperti lampu

merah, kuning, menyala

cerita terbuka

pada batang kayu

Hidup tak cuma bergegas pilu

sebab aku masih mampu

menyimpan sesuatu di balik kantung baju

tempat persembunyian rahasia

selembar surat cinta tua,

sajak-sajak buruk, balada,

juga kematian

tak ada yang begitu panjang

seperti hari-hari yang lumpuh itu

dan penyihir itu datang

membukakan peta kematianku

ia membelaiku, menciumi jari-jariku

sebelum semuanya jadi putih dan layu.

2011


Inggit Putria Marga

Lobak Putih

terlontar dari paruh kenari, rebah sebutir biji di sisi kiri setumpuk jerami.

tanah, yang tahu di butiran itu tersimpan nasib bumi, memekarkan tangan-tangan mistiknya, mendekap dan membenamkan tubuh benih ke gelap lapisan bumi.

benih temu ruang samadi. dalam geming, melalui pori-pori tanah ia serap berkah matahari. dibiarkannya serpih-serpih air, yang seakan tiba-tiba terlahir, susupi kulit ari. diam namun bergerak, terus tumbuh meski tersekap cangkang sesak.

diruapi harum fajar, di bawah selimut sebagian manusia melingkar.

ular berdesis, menjalar, teteskan lendir bisa yang menunggu penerobos belukar.

dalam tanah, sebutir benih meretakkan cangkang. kecambah merekah, rapuh bersih

bagai perawan bersedih. sebagai bakal tumbuhan, ia tahu ke mana tubuh

mesti digerakkan.

tanah adalah ibu yang tak pernah mencegah segala yang hendak lahir dan musnah.

ia bebaskan kecambah mengoyak tubuhnya, menyerap segala harta yang dipunya:

air, udara, ratusan unsur hara. ia cukup berbahagia saat dapat berbagi nafas

di kebun semesta, walau kebahagiaan itu harus ditebus dengan merelakan tubuh

tak lagi penuh sebagai miliknya.

tiga puluh hari dilalui, kecambah kini bukan kecambah lagi.

di permukaan tanah, sepasang daun mungil, yang dulu tersentuh hujan kerap menggigil, menjelma lembar-lembar hijau bercahaya. tulang-tulang daun menonjol seperti jalan tol bagi ulat-ulat bertotol. ujung-ujungnya tegak, seolah tak serintik pun air dan sinar matahari akan dibiarkan terserak.

bersama cacing dan bakteri, di kegelapan tanah ada yang tak henti bergerak:

akar-akar membengkak, menjelma umbi, putih bersih bagai bayi siap disapih.

o biji yang tumbuh jadi kecambah, kecambah lemah yang mewujud tumbuhan gagah tumbuhan yang menyembunyikan umbi berwarna ramah, kini kau sejati

jadi lobak putih yang sepanjang umur rela terbenam dalam tanah.

tak ia pamer pada makhluk di permukaan bumi, umbi putih pemeram minyak atsiri. tak jengah hidup merendah dalam tanah, meski mampu turunkan amuk tekanan darah. ia tak merasa tak berharga saat kutu-kutu membentuk kampung di daunnya. jamur, ulat, dan bakteri busukkan umbi: sang inti diri. lobak pantang hidup khawatir

sebab mati takkan membuatnya berakhir. diyakininya di antara rampak daun koyak akan ada kuntum bunga yang mekarkan petal, putik yang disetubuhi serbuk sari

yang membuat biji lahir dan mungkin lagi dibawa kenari

terbang melintasi rumah-rumah petani, terjatuh di kali, menyusur arus yang menggiring ke tepi, ke sebuah daratan lain, ke tanah yang lain, yang akan membentangkan tangan-tangan mistiknya lalu mendekap dan membenamkan bji karena tanah di mana pun tahu: sebutir biji menyimpan nasib bumi: cintanya

yang abadi.

2011

- Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, Lampung, 1981. Buku puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).

- Pranita Dewi lahir di Denpasar, Bali, 19 Juni 1987. Kumpulan puisinya bertajuk Pelacur Para Dewa (2006).***

Source : Kompas, Minggu, 03 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar