18 April 2011
RUSWANTO ADI PRADANA ONLINE
P U I S I
Gunawan Maryanto
OIDIPUS 1
Kita pernah melewatinya, dengan sedikit tergesa: jalan tanah menuju pekuburan itu. Aku Oidipus dan kau Antigone. Aku buta dan kau terlalu muda.
“Ada angin berayun di atas ban bekas di tepi jalan. Di seberangnya, pagar bata setengah badan,” katamu, seperti biasa, menjadi sepasang mataku.
Aku mencium bau lumut, Anakku. Aku mencium bau kematian yang langu.
“Tak ada yang layak kuceritakan: pagar lumutan, rumah-rumah kosong. Bentangan sawah di kejauhan. Kau pernah melihat segalanya, Papa, sebelum peniti itu menyudahi matamu. Apakah ini tempat yang dijanjikan. Di mana kita akan diam dan menetap?”
Bukan. Kita hanya pernah melewatinya. Entah kapan. Kau Oidipus aku Antigone. Aku bertanya, siapa menaruh bandulan dari ban itu di sana, di pohon angsana. Lalu lumut, kenapa ia begitu setia. Melekat pada pagar di samping kita.
Aku ingat kita pernah bertukar rupa. Di jalan tanah yang sama.
Jogja, 2010
Gunawan Maryanto
OIDIPUS 2
“Ini jalan tanah yang keramat, Kakakku. Tak ada satu pun yang berani lewat.”
Jika demikian kita kian dekat, Adikku. Orakel tak pernah keliru memberi alamat. Di sini aku mencium hujan yang sudah lewat. Mengendap di dalam dinding-dinding bata. Menyelinap di antara genting-genting tanah liat. Aku dengar tawa Ismene bermain ayunan dari ban karet. Tawanya berderai seperti tempias hujan di rumah kita.
Oidipus dan Antigone berpelukan di jalan tanpa nama.
Jalan yang telah lama ditinggalkan para pejalan.
Jogja, 2010
Gunawan Maryanto
OIDIPUS 3
Aku pernah berlari. Jauh sekali. Meninggalkan kematian bapakku dan keindahan tubuh ibuku. Lalu di sebuah jalan tanah yang sedikit basah aku membunuh seorang pejalan. Sebuah pagar setengah badan merekam dan menyimpannya di sebalik lumut yang lebih tua dari kesedihan.
Sepi. Hanya angin menggoyang sebuah ayunan. Menggoyang bayang Jocasta dalam lamunan. Lalu di sebuah rumah kosong kami bercinta. Sebelum gelap, sebelum sepenuhnya gelap, aku menyimpan kilau air matanya.
“Kenapa kakimu bengkak serupa gajah?”
Aku diam mengingat sebuah padang rumput. Seseorang memaku kakiku.
Sejak saat itu panggil saja aku Oidipus.
Jogja, 2010
Toni Lesmana
TIGA SAJAK KASMARAN
1
pada sehampar angin kau membaringkan segalanya. seperti sebuah kitab dengan huruf yang terus berubah dan kata-kata yang bersikeras mematangkan diri pada perubahan cuaca.
2
lehermu menyembunyikan sungai yang paling kurindukan. arus yang menyalakan purnama di dadamu. dan memekarkan mawar di pahamu. ayat-ayat yang menyertai risalah napas dan kehidupan.
3
tubuhmu adalah perjalanan. membujur ke utara. rambut dan telapak kakimu menyatukan dua kutub. sementara pusarmu adalah pusat yang dicintai matahari. tanganmu terentang ke barat dan timur. aku membacamu sambil menghapal arah dan musim.
2011
Toni Lesmana
BAIT-BAIT YANG GUGUR DARI KITAN LUPA
(1)
sunyi tak memiliki nama
tapi ia membuka seluruh pintu
untuk setiap nama
yang mengetuknya
(2)
waktu adalah penyair
detik yang kita baca selalu baru
dan segar. padat dan runcing
bukankah usia adalah sajak
yang terus kita hayati
hingga mati
(3)
peristiwa seperti undakan
ada airmata, tawa, rahasia
yang menunggu untuk direguk
sebelum terus mendaki
menuju rumah kekasih
(4)
kehilangan serupa pelajaran
akan terus berulang
sebelum sampai pada penyerahan
(5)
bacalah sajak
dan genggamlah setiap kunci
seperti kau dekap kekasihmu
seperti kematian mendekapmu
2011
Ahmad Muchlish Amrin
BERKISAR MERAH DARI KANGEAN
Pulau ini telah mengambil langit
dalam diriku, hingga matahari dan bulan tak terbit.
Kunyalakan perapian di mataku
lalu aku mengembara sambil kuteguk bayangan diriku.
Kutarik suaraku sepanjang jalan.
Keras dan lantang.
Pulau mengembalikan langit,
hingga matahari dan bulan
bersinar dalam kata-kataku.
Pulauku ingin berkata-kata lewat suaraku
dan mengembara dengan kakiku dan
menaruh mahkota di kepalaku dan
kubawa pulauku menyeberangi laut
sampai maut bertaut.
Kangean, Desember 2010
Ahmad Muchlish Amrin
KEPADA UMBU LANDU PERANGGI
Umbu, pada laut yang menyimpan maut
aku ingin bertanya muasal pasang dan surut.
Pada mata sedalam laut
kutangkap ikan-ikan bersisik lumut:
menelan matahari di siang hari
dan menelan bulan di malam hari.
Memang aku tahu
sirip kanan-kiri mengipas di air garam
tapi ikan-ikan tak pernah asin.
Umbu, di atas sampan kukibarkan layar
tiang menusuk bintang bagai bulu mataku,
gelombang menggesek air
yang bergambar bunga karang di dasar,
dan di tengah bahtera itu, Umbu
sudah tak kukenali lagi arah
hanya biru langit
dan air laut berombak di mata.
Memang aku tahu
langit selalu bertaut pada laut
adakah laut mengalami maut, Umbu?
2009-2011
****
Ahmad Muchlish Amrin lahir di Sumenep, Madura, 24 Agustus 1984. Kini ia mengelola Komunitas Tang Lebun di Bantul, Yogyakarta.
Gunawan Maryanto bergiat di Teater Garasi sebagai penulis dan sutradara. Buku puisinya yang terbaru, Sejumlah Perkutut buat Bapak (2010), mendapat Khatulistiwa Literary Award 2010. Ia tinggal di Yogyakarta.
Toni Lesmana lahir di Sumedang, Jawa Barat, 25 November 1976. Ia menulis puisi dan prosa dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. ***
Source : Kompas, Minggu, 17 April 2011
KOMENTAR
Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini.
Minggu, 17 April 2011 | 19:41 WIB
keren
Tidak ada komentar:
Posting Komentar