RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Kamis, 27 Mei 2010

Sekolah Unggulan Pun Melorot

HASIL UN

Sekolah Unggulan Pun Melorot

SMP dan SMA Seminari Pius 12 Kisol di Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, sejak berdiri 55 tahun lalu selalu meraih kelulusan 100 persen. Kini, tradisi kelulusan 100 persen itu tumbang.

Tingkat kelulusan ujian nasional SMA Seminari Kisol yang diumumkan akhir April lalu persisnya 94,5 persen. Tercatat 2 dari 36 siswanya gagal. Keduanya dari Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Kegagalannya karena nilai Matematika-nya hanya sekitar 3,5.

Kegagalan mempertahankan tradisi kelulusan 100 persen itu membuat keluarga besar Seminari Kisol dan sejumlah pihak di NTT hingga alumninya di seluruh pelosok Tanah Air terperangah. Mereka hampir tak percaya atas berita tersebut hingga SMA Seminari Kisol tahun ini tidak termasuk dalam kelompok delapan SLTA di NTT dengan kelulusan 100 persen.

”Berita ini sangat mengejutkan. Alumni rata-rata tidak siap menerimanya,” tutur Pascal Lesek, alumnus Seminari Kisol (SMP 1992 dan SMA 1995).

Seminari Kisol adalah sekolah khusus menjadi pastor. Jumlah siswanya selalu mengerucut akibat seleksi ketat pada setiap semesteran. Seminari Kisol dan juga dua sekolah tua sejenis di Flores, yakni Seminari Mataloko dan Seminari Hokeng, dikenal sebagai sekolah bermutu tinggi di NTT.

Semua siswanya diasramakan, selalu dalam gemblengan berdisiplin ketat, dan didukung perpustakaan memadai. Selain didorong menggapai prestasi akademik memuaskan, siswa juga diberi ruang mengembangkan bakatnya, seperti seni musik, drama, olahraga, dan sejumlah kegiatan ekstra lainnya.

Siswa juga wajib menguasai bidang akademik dan sejumlah kegiatan ekstra tersebut untuk menghadapi seleksi semesteran yang sangat ketat. Karena itu, tidak sedikit siswanya hanya semata-mata ”mencuri ilmu” serta mengalami proses pembentukan watak dan kepribadian, bukan karena niat menjadi pastor.

Wakil Kepala SMA Seminari Kisol Romo Bone Rampung Pr mengakui kegagalan 2 dari 36 peserta UN sekolahnya tahun ini merupakan sejarah baru sekolah itu sejak berdiri lebih dari setengah abad lalu.

”Berita ini memang mengejutkan. Namun, setelah ditelusuri, kami semua akhirnya memaklumi,” tuturnya.

Menurut Romo Bone, Jurusan IPA SMA Seminari Kisol sejak beberapa tahun lalu agak terganggu karena guru andalannya sakit. Sang guru ini pernah mengajukan permohonan berhenti mengajar. Namun, Keuskupan Ruteng sebagai pemilik sekolah belum merestui.

Potret buram

Kegagalan SMA Seminari Kisol meraih kelulusan 100 persen seakan melengkapi potret buram pendidikan NTT, sebagaimana tergambar melalui kelulusan UN. Banyak sekolah unggulan di NTT pun mengalami kemerosotan.

Di Ende, SMAK Syuradikara, yang juga sering dari tahun ke tahun siswanya lulus 100 persen, tahun ini persentase kelulusannya hanya 80,43 persen (36 siswa tidak lulus).

”Peristiwa ini menjadi refleksi bagi kami, berarti koordinasi belum berjalan baik di antara komponen penting internal pendidikan, yakni siswa, guru, dan kepala sekolah. Untuk mengatasi hal ini perlu adanya kedisiplinan yang kuat,” kata Kepala SMAK Syuradikara Ende Pater Kanisius Bhila SVD.

Atas kemerosotan prestasi UN NTT, Pastor Dr Philipus Tulle SVD dari Seminari Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, meminta pejabat berkompeten tidak justru menuding pihak lain sebagai biang penyebabnya.

”Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga NTT adalah subyek utama pendidikan di provinsi ini. Karena itu, tidak pada tempatnya menuding pihak lain sebagai penyebab kemerosotan UN. Pejabat seharusnya menggugat diri sendiri sebelum menuding pihak lain,” katanya.

Kata Philipus Tulle, penyebab utama kegagalan UN SMA NTT kali ini adalah karena pendidikan, termasuk sekolah, umumnya tak lagi diurus oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Mereka jelas tidak lagi memiliki komitmen total terhadap pendidikan. Akibatnya, siswa hanya belajar untuk sekolah, bukan belajar untuk hidup, sehingga kemerosotan mutu pendidikan pun tidak terhindarkan.

Marsel Robot, dosen Bahasa dan Sastra FKIP Undana Kupang, melihat kemerosotan itu, antara lain, akibat sistem UN yang dinilainya diskriminatif dan terlalu angkuh. ”Bagaimana pemerintah menentukan kelulusan siswa tanpa mempertimbangkan diversitas kondisi sekolah seperti guru, fasilitas pendukung, fisik bangunan, sumber belajar siswa, dan lingkungan sekolah. Bagaimana mungkin membandingkan tingkat kelulusan di Jakarta dan di NTT yang penuh dengan keterbatasan!” ujarnya.

Agus Beda Ama dari FKIP Universitas Katolik Widya Mandira Kupang berpendapat, UN hanya bermanfaat sebagai salah satu instrumen penilaian kinerja pembelajaran secara nasional, tetapi tidak adil untuk menjadi instrumen penentu kelulusan siswa.

”UN itu hanya mengukur hasil, tidak mengukur proses. Padahal, input proses merupakan tahap krusial dalam memengaruhi mutu output. Jadi, UN itu seharusnya hanya sebagai pemotret peta kekuatan dan kelemahan pengelolaan pendidikan secara nasional,” tegasnya.

Kondisi demikian tak bisa sepenuhnya disalahkan lembaga pendidikan ataupun orangtua, dalam hal ini komite sekolah. Para bupati dan gubernur NTT tidak boleh tinggal diam kalau tidak ingin kualitas pendidikan NTT terus terpuruk. (ANS/SEM)***

Sumber : Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 05:00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar