RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Rabu, 30 Desember 2009

Kini, di bidang Microchip juga telah dipetakan skenario untuk 20 tahun ke depan

LAPORAN IPTEK

Annus Horribilis? O Tempora! O Mores!

Oleh : NINOK LEKSONO

Menyusul terbakarnya istana, juga perpisahan Pangeran Edward dan istrinya, Sarah Ferguson, Ratu Elizabeth II menyebut tahun 1992 sebagai tahun mengerikan, atau annus horribilis. Makna tahun mengerikan waktu itu bertambah lagi saat dua bulan kemudian perpisahan Pangeran Charles dan Putri Diana diumumkan.

Ya, itulah salah satu babakan perjalanan bagi keluarga kerajaan Inggris. Kita bangsa Indonesia tampaknya juga akan mengakhiri tahun ini sambil bertanya, apakah 2009 juga annus horribilis bagi kita?

Kita memang seolah tak habis dirundung malang. Berlangsungnya pemilu legislatif dan pemilu presiden secara damai ternyata tak diikuti oleh ”masa-masa bahagia”. Setelah gugatan pemilu legislatif dan pemilu presiden, muncul serangkaian peristiwa yang begitu menyedot perhatian bangsa, mulai dari cicak vs buaya, Bank Century, hingga yang terakhir buku Membongkar Gurita Cikeas.

Mau tak mau, sebagian besar waktu, tenaga, dan pikiran pemerintah pun tersedot untuk menghadapi isu-isu besar tersebut.

Menyusuri bulan-bulan yang menyedot perhatian itu, yang seperti menyandera aktivitas penting lain, tak jarang disertai dengan tontonan niretika, orang pun teringat pada ucapan Cicero: O tempora! O mores!

Secara harfiah, ungkapan di atas berarti ”O, zaman! O kebiasaan itu! Namun, orang lalu mengartikannya: Sungguh, ini saat yang buruk!

(Sekadar melengkapi catatan sejarah, Cicero menyampaikan ungkapan di atas saat bicara di Senat Romawi. Ia membuka serangan terhadap Catiline, yang ia tuduh sedang berkomplot, dengan satu pertanyaan retorik. Pertanyaan itu berbunyi, ”Berapa lama Anda akan mempermainkan kesabaran kami, Catiline?” Lalu ia pun berseru, ”O tempora! O mores!” Ungkapan itu menjadi satu warisan bagi mereka yang ingin mengeluhkan zaman yang menyesakkan ini.)

Kinerja nyata

Menjelang tutup tahun, media pun menampilkan kilas balik tahun yang akan segera lewat. Di Newsweek (28/12), ada foto jembatan gantung panjang yang dimuat untuk melambangkan keberhasilan China mengatasi krisis dengan mengucurkan stimulus jitu. Senin lalu, China juga diberitakan meluncurkan kereta cepat berkecepatan 350 km/jam untuk menghubungkan kota-kota di wilayah selatan negeri. Ya, China terus melesat maju, bahkan tidak saja di muka bumi, tetapi juga ke ruang angkasa.

Dalam kaitan untuk menerobos kebuntuan mencapai kesepakatan baru untuk memerangi pemanasan global, The Economist (12/12) dalam rubrik ”Technology Quarterly” memuat generasi baru pembangkit listrik tenaga nuklir yang menjanjikan keamanan dan efisiensi baru.

Kemajuan lain juga diperlihatkan di wilayah kesehatan, di mana ada metode penyembuhan baru yang membuat pasien tak selalu harus dibedah. Teknik non-invasif yang melibatkan suara dan cahaya mengurangi kebutuhan untuk membedah.

Para ilmuwan kini juga terus memikirkan apakah kita sendirian di alam semesta ini, atau bahkan di semesta lain (lihat Scientific American, Jan 2010).

Kebutuhan Indonesia

Untuk menanggulangi berbagai tantangan yang ada, lebih-lebih untuk menarik bangsa ke aras kemajuan, Indonesia sesungguhnya membutuhkan banyak kemajuan iptek.

Di Kopenhagen, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca Indonesia hingga 26 persen sampai tahun 2020. Ini juga perlu disertai dengan peta jalan dan inovasi untuk mencapainya.

Dapat dipertanyakan, seberapa intensif kita mengupayakan riset untuk energi terbarukan seperti angin, surya, dan panas bumi? Bagaimana potensi riset yang ada di Tanah Air dapat didayagunakan untuk mendukung tekad Indonesia untuk ikut menanggulangi fenomena pemanasan global? Apa pula langkah yang dapat dilakukan untuk menanggulangi salinasi, juga rob di pesisir utara Pulau Jawa yang tampak semakin akut?

Masih dalam kaitan perubahan iklim, bagaimana pula langkah untuk membantu petani yang mulai kehilangan pegangan harus menanam apa pada musim apa? Cuaca semakin ekstrem dan semakin sulit diramalkan, apakah banyak hujan atau sangat kering, lalu bagaimana kita harus menghadapinya, karena ini juga terkait dengan kemungkinan semakin seringnya bencana datang.

Semua itu merupakan tantangan aktual yang dihadapi Indonesia sekarang ini, sementara di luar itu masih ada amanat konstan sebagai konsekuensi eksistensi negara ini di atas Cincin Api. Ancaman gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, juga terus bersama kita, hingga setiap kali kita akan ditagih mengenai kesiapan kita untuk menghadapi fenomena alam bawaan ini.

Ke masa depan

Di luar itu, seperti disinggung pada awal kolom ini, dalam melangkah ke masa depan, tak pelak lagi peranan teknologi informasi dan komunikasi sangat besar. Namun, teknologi informasi dan komunikasi sebagai fondasi zaman informasi juga mengalami kemajuan pesat.

Sejak dicanangkan tahun 1975, Hukum Moore berimplikasi bahwa peralatan komputer tak akan henti-hentinya terus semakin kecil, semakin cepat, dan semakin murah. Tren ini tentu harus dipahami karena ujung-ujungnya juga akan berimplikasi pada daya saing. Pengalaman di bidang seluler, dan sebelumnya di otomotif, yang membuat Indonesia tak lebih sebagai konsumen murni, apakah juga akan terus berlanjut?

Kini, di bidang microchip juga telah dipetakan skenario untuk 20 tahun ke depan sehingga manakala terlambat untuk mengikuti derap perkembangan ini, industri kreatif yang kita unggulkan sebagai tulang punggung perekonomian kita pada masa mendatang juga kurang bergigi.

Semoga nuansa annus horribilis karena tersandera oleh berbagai kasus pada tahun 2009 tak berkepanjangan memayungi langit Indonesia.***

Sumber : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 02:45 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar