FAKTOR
Seribu Tahun Menunggu Bangun dari Tidur Panjang
Oleh : TRIAS KUNCAHYONO
Ada dua tahun penting yang dikenang anak-anak India pada masa depan. Pertama tahun 1947 dan kedua tahun 1991.
Tahun 1947 sangat penting bagi India. Pada tahun itulah India merdeka, lepas dari jajahan Inggris, pemerintah kolonial yang menguasai India sejak abad ke-18.
Lalu, apa pentingnya tahun 1991? Pada tahun itu, India memutuskan untuk meliberalisasi ekonominya. Yang lebih penting lagi adalah bukan sekadar liberalisasi ekonomi, melainkan mulai saat itu India terbebas dari sikap budaya yang tecermin dalam rezim ekonomi inward looking-nya.
Apa yang disebut sebagai rezim ekonomi inward looking selalu diasosiasikan dengan Perdana Menteri Pertama India Jawaharlal Nehru dan penasihatnya, Mahalanobis. Namun, ”Nehruvian Vision” hanyalah manifestasi terakhir dari sikap budaya inward looking yang menguasai peradaban India hampir satu milenium.
Tahun 1991 menjadi titik balik India. Pada saat itulah India dipaksa untuk membuka dirinya terhadap dunia luar. Ibarat Restorasi Meiji di Jepang yang ditandai dengan kunjungan armada laut Amerika Serikat yang dipimpin Komodor Matthew Perry pada tahun 1854. Restorasi Meiji ini menandai pembukaan Jepang pada dunia luar.
Restorasi Meiji mendorong terjadinya perubahan besar-besaran dalam struktur politik dan sosial di Jepang. Sementara ”pembukaan” India tidak terbatas pada bidang ekonomi saja, tetapi pada semua aspek kehidupan. Dan, semua proses ”pembukaan” itu dipercepat oleh revolusi komunikasi yang terjadi secara bersamaan—televisi kabel, telepon seluler, dan internet.
Apa yang terjadi pada 1991 tidak mendadak begitu saja. Namun, benih-benih dari perubahan itu sudah mulai ditebar pada awal abad ke-19. Pada saat itulah mulai terjadi reformasi sosial, seperti diperkenalkannya bahasa Inggris. Proses itu berkembang secara bertahap dan sampai menembus pertengahan abad ke-20, saat India terbebas dari penjajahan. Kemerdekaan dan terlepasnya India dari kekuasaan kolonial telah mengakselerasi proses perubahan itu.
Secara ringkas demikianlah, Sanjeev Sanyal mengawali bukunya yang berjudul The Indian Renaissance, India’s Rise After A Thousand Years of Decline. Lewat bukunya ini, Sanjeev ingin menceritakan, India pada suatu masa pernah menjadi negara besar. India menjadi pemain utama dalam perdagangan dunia. Kemudian, India ”mengurung diri” dan kejayaannya pun pudar. Baru satu milenium kemudian, India terbangun dari tidur panjangnya.
Gambaran betapa India pernah menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia juga diungkapkan oleh Angus Maddison (The World Economy: Historical Statistics, OECD, 2003). Sumbangan India pada perekonomian dunia pada abad pertama mencapai 33 persen atau tiga kali lipat Eropa Barat dan lebih besar dibandingkan dengan sumbangan Kekaisaran Romawi yang hanya 21,5 persen. Adapun sumbangan China 26 persen.
India pernah mengalami zaman keemasan—sampai abad ke-11—baik di bidang ekonomi maupun budaya. Sumbangan India kepada dunia pun bisa lewat berbagai temuannya, antara lain yoga, aljabar, konsep nol, catur, bedah plastik, metalurgi, Hinduisme, dan Buddhaisme. Budaya Hindu tidak hanya berkembang di India, tetapi misalnya juga di Kamboja (Kerajaan Angkor) dan Nusantara (Majapahit).
Sejarah mencatat, India dikenal sebagai salah satu asal muasal peradaban manusia. Adalah Peradaban Lembah Indus atau yang juga dikenal dengan Peradaban Harappan yang berkembang antara 3300 dan 2000 SM. Peradaban itu berkembang di wilayah yang sekarang adalah India dan Pakistan bagian utara. Posisi India pada masa lalu sama dengan Amerika Serikat pada zaman kini.
Masa keemasan India mulai surut karena terjadi perubahan sikap budaya mereka, yakni dengan diciptakannya berbagai aturan yang membelenggu semua aspek kehidupan. Semangat inovasi pun mulai merosot dan akhirnya membawa India ke kemunduran.
Kini, India menjadi salah satu dari tiga kekuatan besar di Asia selain China dan Jepang. Semua itu terjadi tidak secara mendadak, tiba-tiba, tanpa usaha, tetapi dengan usaha yang luar biasa dan ketekunan.
Kapan kita akan sampai di sana? Apakah harus juga menunggu 1.000 tahun untuk bisa seperti India, China, dan Jepang? Mestinya tidak, bukan? ***
Sumber : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 03:20 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar