RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Selasa, 13 April 2010

16 Peti Mati di Monumen Demokrasi, Bangkok

Sebanyak 16 peti kosong disiapkan untuk para korban tewas akibat bentrokan antara pemrotes antipemerintah dan aparat keamanan Thailand di pelataran Monumen Demokrasi, Bangkok, Minggu (11/4).
(Kompas/Fransiska Romana Ninik)
***

THAILAND

16 Peti Mati di Monumen Demokrasi, Bangkok

Oleh Fransisca Romana

Isak tangis dan sorak-sorai membahana di pelataran Monumen Demokrasi di Bangkok, Minggu (11/4) malam. Sebanyak 16 peti mati berisi jenazah pemrotes anti-Pemerintah Thailand yang tewas diusung ke monumen, tempat terjadinya bentrok antara pemrotes dan aparat keamanan sehari sebelumnya.

Tepuk tangan panjang bercampur teriakan bernada marah, sedih, sekaligus bangga mengiringi peti mati yang diusung satu per satu ke tengah Monumen Demokrasi, yang menjulang di Jalan Raya Thanon Ratchadamnoen Klang di pusat kota Bangkok. Peti mati berwarna merah, sesuai dengan atribut pemrotes yang disebut ”Kaus Merah”, dihiasi bunga-bunga segar warna-warni. Beberapa di antaranya dibalut dengan bendera Thailand. Foto-foto korban diletakkan di atas peti, beberapa di antaranya terlihat masih sangat muda.

Wangi dupa yang dibakar merebak ke udara. Para biksu Buddha bersiap-siap untuk mendoakan para korban itu. Para petugas keamanan dari kelompok Kaus Merah harus berusaha keras menghalau orang-orang yang mengerubuti peti tersebut untuk mengambil gambar dan menyuruh mereka duduk. Di sekitar peti mati, para wartawan dan fotografer sibuk mengabadikan momen tersebut.

Tak lama kemudian, seorang biksu mulai mendaraskan doa-doa. Ribuan anggota Kaus Merah mengatupkan tangan dan memejamkan mata. Beberapa ibu tampak tersedu dan berusaha keras menahan tangisnya.

Simbol

Doa-doa menggema di sudut-sudut Monumen Demokrasi, yang menjadi simbol berdirinya monarki konstitusional di Thailand. Monumen Demokrasi, dalam bahasa Thai disebut Anusawari Prachathipatai, didirikan pada tahun 1939 untuk mengenang kudeta Siam, yang menuntun pada bentuk negara Thailand sekarang ini. Kudeta dipimpin oleh Pemimpin Militer Kerajaan Siam Plaek Pibulsonggram terhadap Raja Prajadhipok (Rama VII).

Di pusat monumen itu ada sebuah ukiran Konstitusi Thailand 1932 di atas dua mangkuk persembahan emas. Konstitusi itu secara simbolik dijaga oleh empat bangunan tinggi mirip sayap setinggi 24 meter, melambangkan empat cabang angkatan bersenjata Thailand, yaitu angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, dan kepolisian.

Pada dasar monumen terdapat relief yang menggambarkan angkatan bersenjata Thailand sebagai pemenang demokrasi. Dalam kisah versi relief itu, kudeta dilakukan angkatan bersenjata atas nama rakyat Thailand dengan maksud membuat Thailand sebagai negara demokrasi.

Akan tetapi, faktanya adalah kudeta militer itu direncanakan dan dilakukan sekelompok kecil perwira dan elemen sipil di pemerintahan saat Raja Rama VII sedang berlibur. Kudeta itu diikuti perumusan konstitusi pertama Thailand meskipun masih jauh dari demokrasi penuh.

Generasi selanjutnya

Lepas dari sejarah yang melatarbelakanginya, Monumen Demokrasi telah menjadi lokasi bagi aktivis demokrasi generasi selanjutnya untuk menggemakan suara mereka. Di tempat inilah mahasiswa berdemonstrasi melawan rezim militer tahun 1973. Di monumen ini pula, aksi protes aktivis memicu terjadinya kudeta militer tahun 1976.

Tahun 1992, sejumlah warga Thailand tewas saat mereka memprotes rezim Jenderal Suchinda Kraprayoon di Monumen Demokrasi. Kini, tahun 2010, masih di Monumen Demokrasi, sebanyak 16 warga sipil dan 5 tentara tewas dalam bentrokan antara pemrotes dan aparat yang menuntut dipulihkannya demokrasi di Thailand.

Kaus Merah menuding Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva berkuasa tanpa mandat dari rakyat karena terpilih di parlemen menyusul mundurnya dua sekutu Thaksin dari pemerintahan akibat putusan pengadilan. Mereka ingin Abhisit membubarkan parlemen segera dan menggelar pemilu dini, yang mereka yakin akan dimenangi para sekutu Thaksin.

Thaksin, yang hidup di pengasingan di luar negeri pascakudeta militer tahun 2006, dua kali terpilih dalam pemilu. Oleh lawan-lawannya, Thaksin dipandang korup, menyalahgunakan kekuasaan, dan tidak menghormati kerajaan. Rakyat miskin di pedesaan, terutama wilayah utara dan timur laut Thailand, mencintai Thaksin karena kebijakannya yang populis.

Hingga jauh malam, doa-doa masih terdengar di antara orasi di panggung utama di Ratchadamnoen. Para korban tewas itu layaknya pahlawan bagi gerakan Kaus Merah dan membuat mereka akan terus bertahan hingga tuntutan mereka dipenuhi.

Sampai saat itu datang, Monumen Demokrasi masih tegak berdiri, menjadi saksi bagi satu lagi episode politik Thailand yang akan menentukan gerak bangsa ini selanjutnya. ***

Source : Kompas, Selasa, 13 April 2010 | 03:05 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar