GANGGUAN PADA DARAH
Penderita Hemofilia Banyak yang Tidak Terdiagnosis
JAKARTA - Banyak penderita hemofilia atau gangguan pembekuan darah yang tidak terdeteksi. Akibatnya, mereka menderita, tidak produktif dan terancam hidupnya. Padahal, dengan terapi yang tepat, penderita hemofilia dapat hidup produktif serta tertangani.
Hemofilia merupakan gangguan pembekuan darah yang bersifat genetik atau diturunkan. Hal itu disebabkan kurang atau hilangnya salah satu faktor pembeku darah (faktor VIII atau IX). Kelainan itu diderita sejak anak lahir dan penderita sebagian besar laki-laki.
Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Hemofilia Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo Jakarta Prof Djajadiman Gatot mengatakan, angka kejadian hemofilia A (kekurangan faktor VIII) sekitar 1 : 5.000-10.000 kelahiran bayi laki-laki. Adapun hemofilia B (kekurangan faktor IX) sekitar 1 : 23.000-30.000 kelahiran bayi laki-laki. ”Hemofilia A merupakan jenis terbanyak, yakni sekitar 85 persen,” ujar Djajadiman dalam konferensi pers terkait peringatan Hari Hemofilia Sedunia, Kamis (15/4). Peringatan itu lakukan setiap 17 April dan tahun ini mengambil tema ”Bersatu Mencapai Pengobatan bagi Semua”.
Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Prof HS Moeslichan mengatakan, dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 213 juta, diperkirakan terdapat 20.000 orang penderita hemofilia. Namun, sejauh ini yang telah terdiagnosis, menurut data HMHI, ada 1.236 penderita hemofilia dan kelainan pendarahan lainnya. ”Itu berarti baru sekitar 5 persen yang terdiagnosis,” ujar Prof Moeslichan.
Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui dan menyadari gejala penyakit itu. Gejalanya, antara lain, adalah pendarahan di sendi, otot, dan organ bagian dalam tubuh. Pendarahan kerap kali ditandai dengan adanya bengkak atau memar segera setelah terjadinya benturan.
Djajadiman mengatakan, untuk diagnosis terbilang cukup sulit dan membutuhkan fasilitas laboratorium memadai. Reagen untuk pengetesan darah juga mahal. Jika tidak ditangani, bisa menimbulkan kerusakan pada lokasi terjadinya pendarahan yang dapat mengakibatkan kelumpuhan. Dapat pula terjadi pendarahan organ bagian dalam seperti di otak dan rongga perut yang bisa menyebabkan kematian.
Pengobatan dapat dilakukan dengan terapi pengganti faktor VIII atau IX dalam jangka waktu tertentu. Hanya saja, pengobatan hemofilia masih sangat mahal. Untuk terapi pencegahan (profilaksis) biayanya mencapai Rp 100 juta per tahun bagi penderita dengan berat badan 25 kg.
(INE) ***
Source : Kompas, Jumat, 16 April 2010 | 04:21 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar