RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Selasa, 27 April 2010

Sejumlah Sekolah 100 Persen Siswanya Tidak Lulus

Murid SMA Negeri 3 Yogyakarta membagikan makanan kepada pengayuh becak di Perempatan Tugu, Yogyakarta, sebagai ungkapan syukur setelah dinyatakan lulus ujian nasional, Senin (26/4). Pada tahun ini siswa di DI Yogyakarta yang tidak lulus ujian nasional sebanyak 9.237 siswa. Jumlah ketidaklulusan siswa pada ujian nasional tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2009 sebanyak 1.825 siswa. (Kompas/Ferganata Indra Riatmoko)***

Hasil UN Mengejutkan

Sejumlah Sekolah 100 Persen Siswanya Tidak Lulus

JAKARTA - Ujian nasional yang hasilnya diumumkan pada Senin (26/4) mengejutkan banyak pihak, terutama orangtua siswa, guru, kepala sekolah, dan siswa yang bersangkutan. Ini antara lain disebabkan meningkatnya jumlah siswa yang tidak lulus.

Daerah yang paling banyak siswanya tidak lulus dan harus mengulang ujian nasional (UN) adalah Nusa Tenggara Timur sebanyak 18.333 orang, Jawa Tengah 13.914 orang, Nusa Tenggara Barat 9.086 orang, dan Sulawesi Selatan 8.451 orang

Secara nasional, dari 1.522.162 peserta, ada 154.079 peserta yang harus mengikuti UN ulang pada 10-14 Mei.

Ujian tahun ini juga diwarnai banyaknya sekolah yang siswanya 100 persen tidak lulus UN. Di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, misalnya, ada tiga SMA yang angka kelulusannya nol, yaitu SMA Kampung Laut, SMA Bahari, dan SMA Jenderal Soedirman.

Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Cilacap Marjaka, Senin, mengatakan, jumlah siswa dari ketiga SMA yang tidak lulus semua itu hanya sedikit, yakni 88 siswa. SMA Bahari dan SMA Jenderal Soedirman, contohnya, siswa peserta UN di kedua sekolah itu masing-masing hanya 10 dan 18 siswa.

Namun, untuk SMA Kampung Laut, Marjaka mengakui, memang cukup mengkhawatirkan karena tak satu pun dari 60 siswa kelas tiga di sekolah itu yang lulus UN. Tahun lalu pun hanya 50 persen siswa di sekolah itu yang lulus UN.

”Para siswa dari ketiga sekolah ini harus mengulang semua mata pelajaran,” katanya.

Enam sekolah

Di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, ada enam madrasah aliyah (MA) yang tidak satu pun siswanya lulus UN. Sementara di Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi yang merupakan kabupaten pemekaran terbaru, tingkat kelulusannya hanya 46 persen.

”Kami langsung melakukan pertemuan dengan pihak-pihak terkait untuk membahas persiapan ujian susulan,” kata M Mithar, Ketua Panitia Ujian Nasional Kabupaten Majene.

Keenam madrasah yang siswanya tidak lulus 100 persen adalah Madrasah Aliyah Daru Da’wah wal Irsyad (DDI) Kampung Baru, MA Tande, MA DDI Baruga, MA Limboro, MA Simullu, dan MA Rangas. Ada pula SMK 2 Majene yang jumlah siswa yang lulus hanya 128 dari 700 peserta.

Sementara di Sulteng, Kabupaten Sigi menempati urutan teratas yang persentase kelulusannya rendah. Di kabupaten pemekaran baru ini, dari 3.645 peserta ujian nasional, hanya 45 persen yang lulus dan sisanya 55 persen harus mengulang.

Di Sumatera Selatan, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Sumsel Widodo menjelaskan, di Sumsel terdapat empat SMA yang siswanya tidak lulus 100 persen untuk mata pelajaran tertentu. ”Ketidaklulusan sampai 100 persen merupakan kasus yang tidak wajar,” kata Ketua Komisi V DPRD Sumsel yang membidangi pendidikan, Bihaqqi Sofyan.

Di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, semua siswa peserta UN di MA Darul Amman di Kecamatan Pringsurat tidak lulus UN. Siswa peserta UN di MA tersebut terdata 13 orang, dan semuanya berasal dari jurusan IPS.

”Kami belum mendata kegagalan siswa terjadi pada mata pelajaran apa saja,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Temanggung Tri Marhaen Suhardono.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, siswa tak perlu panik jika tak lulus UN karena masih ada kesempatan untuk mengikuti UN ulang. Hasil UN pun akan diserahkan pada masing-masing guru dan sekolah untuk diperhitungkan dengan aspek-aspek lainnya, seperti aspek akhlak dan kepribadian, lulus mata pelajaran yang diujikan di sekolah, dan telah merampungkan seluruh program pendidikan.

Guru terbatas

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Nusa Tenggara Timur (NTT) Thobias Uly di Kupang mengatakan, ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kelulusan siswa SMA/SMK di NTT. Namun, rendahnya penghayatan dan pemahaman guru terhadap kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dianggap sebagai faktor paling krusial.

”Kreativitas guru sangat rendah untuk mengembangkan KTSP,” ujarnya.

Faktor lainnya yang menyebabkan hasil UN untuk NTT kali ini rendah, menurut Uly, adalah kondisi geografis sekolah yang sulit dijangkau, kurangnya sarana dan prasarana penunjang, jumlah guru yang terbatas, dan rendahnya tanggung jawab orangtua atas pendidikan siswa. Kondisi ini ditambah lagi dengan pemerintah kabupaten/kota juga kurang memberikan perhatian pada sektor pendidikan dan kurang memperhatikan petunjuk-petunjuk provinsi terkait persiapan UN.

”Prestasi yang dihasilkan dalam UN tahun ini menunjukkan kegagalan serius NTT di bidang pendidikan,” kata Wakil Ketua DPRD NTT Ansel Talo.

Padahal, dana untuk pendidikan di NTT meningkat. Tahun 2009, misalnya, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga NTT mengelola dana Rp 100 miliar dari dana APBD dan Rp 300 miliar dari APBN. Adapun tahun 2010 anggarannya meningkat menjadi Rp 250 miliar dari APBD dan Rp 400 miliar dari APBN.

Bisa diprediksi

Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Rochmat Wahab mengatakan, penurunan jumlah kelulusan UN tahun ini sebenarnya bisa diprediksi. Kebijakan dalam pelaksanaan UN yang waktunya dipercepat dengan standar minimal kelulusan yang dirasa tinggi untuk diberlakukan secara nasional membuat persiapan sekolah dan siswa tidak maksimal.

Di sisi lain, lanjut Rochmat, adanya pengawasan yang serius dengan berperannya tim pemantau independen dan dilibatkannya perguruan tinggi dalam pengawasan membuat celah kecurangan semakin sempit.

”Soal UN yang sama di semua daerah sebenarnya tidak masalah. Tetapi dalam penentuan standar minimal kelulusan, mestinya unit analisisnya provinsi. Ada keleluasaan sekolah untuk bisa memilih apakah dia mau ikut di standar kelulusan yang tinggi, rendah, dan menengah,” ujar Rochmat.

Rully Chairul Azwal, Wakil Ketua Komisi X DPR, mengatakan, DPR tetap pada sikapnya untuk mengevaluasi sistem ujian nasional yang akan dilaksanakan tahun 2011. Pelaksanaan ujian nasional mesti bisa mengakomodasi pentingnya ujian nasional untuk penyamaan standar mutu secara nasional, syarat kelulusan, dan teknik pelaksanaan.

Untuk itu, Komisi X akan segera membentuk Panja Evaluasi UN. Dalam pelaksanaan UN tahun 2011 tetap harus ada perubahan sistem yang lebih baik, yang adil untuk semua pihak yang berkepentingan dengan kemajuan pendidikan nasional. (ELN/LUK/MDN/WAD/WER/ REN/ICH/APA/BRO/EGI/JON/ ENG/KOR/CHE/KOMPAS)***

Sumber : Kompas, Selasa, 27 April 2010 | 04:56 WIB

Ada 17 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

soleh @ Selasa, 27 April 2010 | 16:15 WIB
standarisasi pendidkan itu perlu, kenapa mesti takut? tinggal upaya untuk meraih itu yang harus di persiapkan bersama dan perlu komitmen dan konsensus.

farrell @ Selasa, 27 April 2010 | 15:55 WIB
kasian ini negeri..bangsa lain sudah terbang keluar angkasa..kita masih bicara tentang sistim pendidikan...bubarkan aja depdiknas...gak guna

farrell @ Selasa, 27 April 2010 | 15:53 WIB
kasihan ini negeri .. orang sudah terbang keluar angkasa..kita masih bicara sistim pendidikan...bubarkan saja depdiknas..gak guna..

AMDIN @ Selasa, 27 April 2010 | 15:47 WIB
aduh.......... kualitas pendidikan indonesia masih perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus dari pihak pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan kita.

aridha @ Selasa, 27 April 2010 | 15:22 WIB
Tidak perlu risau hanya karena tak lulus UN. Toh kata film nya bang Dedi Ini negeri yang lucu. Pendidikan masih diperdebatkan, apakah penting atau tidak penting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar