KTT Nuklir 2010
Oleh Iskandar Hadrianto
Kehadiran Wapres Boediono pada Nuclear Security Summit inisiatif Presiden AS Barack Obama, 12-13 April 2010 di Washington, merefleksikan keseriusan Indonesia dalam denuklirisasi. Pertama kali NSS dilontarkan Obama pada KTT G-8 di L’Aquila, Italia, 8 Juli 2009.
Menengarai lemahnya kontrol penyebaran nuklir, AS berencana mengundang 45 negara dengan target menggalang kesepakatan global keamanan nuklir.
Minggu, 4 April 2010, Iran mengumumkan akan mengundang 60 negara pada Nuclear Energy for All, Nuclear Arms for No-one (NENAN), yang digelar pada 17-18 April 2010. Ketua Tim negosiasi Teheran Saeed Jalili mengatakan, target konferensi NENAN adalah perlucutan senjata nuklir (NWs) sekaligus meredam kekhawatiran bahwa Iran bermaksud membangun kekuatan nuklir perang.
Di Praha, April 2009, Obama mengindikasikan gelar Nuclear Security Summit (NSS) sebagai agenda nonproliferasi yang ditargetkan AS (Mark Lippert, 2009). Kembali di Praha, traktat baru pengurangan hulu-ledak dan pelontar nuklir sebagai modifikasi START 1991 berhasil ditandatangani oleh Obama dan Presiden Rusia Dimitry Medvedev, 8 April 2010.
Sebelumnya, Global Zero Summit di Paris, 2-4 Februari 2010, yang dihadiri 200 tokoh militer, politik, dan pakar keamanan menyepakati perlucutan senjata nuklir dan verifikasi. Sambutan tertulis Obama, dibacakan Wakil Menteri Luar Negeri Ellen Tauscher, menegaskan, dunia bebas nuklir adalah prioritas politik luar negeri AS. Obama sepakat membatasi penyebaran NWs akan meratifikasi Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) dan merundingkan Fissile Material Cutoff Treaty (FMCT). Menurut Obama, perjalanan panjang bersejarah membentuk dunia bebas nuklir dalam sidang Dewan Keamanan PBB mendapatkan dukungan mayoritas. AS sepakat pengurangan bertahap arsenal nuklir sebagai strategi jangka panjang komprehensif sebagaimana tercitra dari diskursus perundingan modifikasi START antara AS dan Rusia yang tengah mendekati perampungannya.
Target keamanan nuklir
Dilandasi prakiraan besar kemungkinan teroris berniat membeli, membangun kekuatan nuklir, atau mencuri senjata nuklir, dalam NSS perlu dicapai target pengamanan perdagangan bahan baku nuklir. Tujuan NSS mendukung upaya ad hoc AS dalam Proliferation Security Initiative (PSI) dan Global Initiative to Combat Nuclear Terrorism (GICNT). Perkuatan monitoring dan evaluasi Badan Tenaga Atom Internasional dalam program nuklir tujuan damai (peaceful uses of nuclear energy/PUNE), pengamanan lalu lintas fissile materials, pemetaan global, pengurangan penimbunan (stockpiles) uranium murni (highly enriched uranium/HEU), dan minimalisasi penggunaan HEU, termasuk pembentukan pusat pelatihan nuklir regional akan dibahas dalam Summit. Alih-alih kata, partisipan juga akan dibebani donasi untuk pembiayaan pertemuan tingkat regional/bilateral.
Indonesia dan WMD
Sejak 1980 Indonesia secara kontinu memberikan kontribusi signifikan pada Konferensi Perlucutan Senjata (KPS/Conference on Disarmament) bentukan DK-PBB. Komitmen membentuk rezim internasional pelarangan senjata pemusnah massal (WMD), termasuk senjata kimia dan biologi, nyata ditunjukkan Indonesia. Bahkan, pada Konferensi Amandemen Partial Test Ban Treaty (PTBT) tahun 1991, Ali Alatas terpilih sebagai Presiden Konferensi yang mendasari disepakatinya traktat pelarangan total uji coba nuklir (Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) 1996. Berkat komitmen dan kontribusi Indonesia pada perlucutan senjata, Dubes Sudjadnan menjadi Ketua Pertemuan Persiapan (PrepCom) NPT 2005.
Walaupun Indonesia ”setengah hati” berpartisipasi dalam upaya ad hoc AS seperti PSI, bahkan tidak terlibat GICNT (RI lebih mengedepankan pendekatan multilateral dalam kerangka PBB), sebagai negara pihak (party) NPT Indonesia selalu menyuarakan penghentian pengembangan nuklir perang, baik vertikal maupun horizontal. Sebaliknya, Indonesia sepakat dalam PUNE di bawah payung IAEA. Dalam Group-21, Indonesia terus mendesak negara nuklir agar memberikan negative security assurances mengikat secara hukum (legally binding) dan tidak terbatas pada pernyataan unilateral. Isu besar yang ditengarai adalah masih adanya policy of ambiguity—kebijakan mendua AS dalam memberikan perlakuan berbeda kepada Israel (Dimona reactor, 1960-an) yang nyata berkekuatan nuklir (tidak pernah dideklarasikan) vis-à-vis niat negara NPT, seperti Iran yang dianggap non-compliance karena ingin mengembangkan PUNE; di samping adanya treshlod countries (negara nuklir non-NPT)). Partisipasi Indonesia pada NSS mendatang harus maksimal dimanfaatkan demi mengurangi penyebaran nuklir vertikal dan horizontal sekaligus menggalang usaha global mereduksi nuklir sebagai kekuatan penggentar (deterrence) merupakan salah satu modalitas penting dalam meredam ketegangan nuklir Timur Tengah dan Semenanjung Korea karena kepemilikan nuklir harus disertai tanggung jawab terhadap kelestarian kemanusiaan (humanity). Keputusan pemerintah untuk mengutus Menlu Natalegawa hadir dalam NENAN di Teheran diharapkan dapat memberikan pesan khusus agar Iran lebih transparan dalam program nuklirnya sekaligus mematuhi ketentuan IAEA. Pada tataran pikir inilah ruang lingkup diplomasi Indonesia harus dimainkan; menjadi peace maker yang mengedepankan soft-power untuk meredam konflik kepentingan sesuai semangat Konstitusi.
Iskandar Hadrianto,
Alumnus APCSS dan bekerja di Kementerian Luar Negeri.
Tulisan adalah pendapat pribadi
Source : Kompas, Selasa, 13 April 2010 | 04:37 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar