TAJUK RENCANA
KOMPAS, Selasa, 13 April 2010
Perjalanan Demokrasi Thailand
Kita sebagai sesama anggota ASEAN sungguh prihatin terhadap perkembangan politik di Thailand. Akibat bentrokan telah jatuh korban jiwa.
Bentrokan antara demonstran dan pihak keamanan akhir pekan lalu itu tak terhindarkan lagi membuat 14 demonstran antipemerintah, seorang fotografer kantor berita Reuters, dan lima tentara tewas.
Mengkhawatirkan keadaan makin tidak terkendali, petugas keamanan dikabarkan lalu mundur. Namun, demonstran sendiri tetap bertahan. Kenyataan ini membuat orang menilai, melalui cara halus maupun cara keras, Perdana Menteri Abhisit Vejjajive telah gagal dalam mengatasi keadaan, sehingga peluang untuk tetap terus bertahan di kekuasaan pun dinilai makin tipis.
Sekadar menengok beberapa perkembangan sepekan terakhir, kita mencatat, PM Thailand yang mulai berkuasa Desember 2008 melalui manuver di parlemen ini sudah mengumumkan keadaan darurat ketika ribuan pendemo antipemerintah terus bertahan di pusat kota Bangkok dan sebagian bahkan ada yang menerobos Gedung Parlemen.
Dengan dekrit keadaan darurat, pemerintah sudah memblokir beberapa situs web dan stasiun televisi yang terkait dengan pendemo yang dikenal sebagai kelompok Kaus Merah. Mereka inilah yang menuntut agar Abhisit mundur dan menyelenggarakan pemilu.
Kemelut politik di Thailand tampaknya sudah sulit diakhiri dengan perundingan. Sebagian kalangan juga mengkhawatirkan terjadinya kudeta oleh militer, seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Ketika kita berdebar-debar menunggu perkembangan selanjutnya, tebersit pertanyaan sekitar penerapan demokrasi.
Dalam jumpa pers World Movement for Democracy (WMD) di Jakarta Kamis pekan lalu disebutkan, tren demokratisasi dalam beberapa tahun belakangan justru memperlihatkan penurunan. Art Kaufman, Direktur WMD yang berpusat di Washington, seperti dikutip harian The Jakarta Post (9/4) menyebutkan, demokratisasi sedang menghadapi tantangan, ditandai oleh berpalingnya banyak negara demokrasi ke arah lain.
Dalam hal Thailand kita melihat bagaimana demokrasi begitu susah payah ditegakkan, setiap kali masih terancam oleh kudeta atau tekanan massa. Sementara itu, di negara seperti Indonesia, isu demokrasi lebih terfokus pada upaya mencari bukti akan manfaatnya. Setelah 12 tahun berdemokrasi, rakyat masih terus bertanya, mana hasil nyata demokrasi pada peningkatan taraf hidup rakyat dan penegakan tata kelola pemerintahan, hingga—misalnya saja— jadi bersih dari korupsi.
Kita tentu berkepentingan pada terwujudnya penegakan yang sinkron antara sistem politik yang demokratis sejati, dan dari sisi hasil memunculkan bukti nyata berupa meningkatnya taraf hidup rakyat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar