Piala Dunia sebagai Metafora Kehidupan
Oleh Azyumardi Azra
Akhirnya kita sampai ke titik terakhir Piala Dunia 2010. Bagi tim yang menang dan menjadi juara dunia sepak bola, itu pasti merupakan momen puncak pencapaian yang bakal dikenang sepanjang masa. Sebaliknya, bagi tim yang kalah, dalam segi-segi tertentu, kekalahan itu bisa jadi merupakan tragedi, baik pada tingkat personal maupun kolektif tim dan bahkan bangsa-negara. Kemenangan atau kekalahan dalam pertarungan, keberhasilan dan kegagalan, adalah kontras yang lumrah belaka dalam kehidupan, tidak terkecuali dalam Piala Dunia 2010.
Meminjam argumen Hoyningen-Huene, Guru Besar Etika Sains dan pendiri Pusat Filsafat dan Etika Sains, Universitas Leibniz, Hannover, Jerman, dalam tulisannya Why is Football So Fascinating? (2010), dalam pertandingan sepak bola, kita hakikatnya berpacu dengan kehidupan. Dalam permainan tertentu, kita memainkan aspek tertentu kehidupan, dan sepak bola sangat kaya dalam menghidupkan kembali bumbu tertentu dalam drama kehidupan.
Piala Dunia 2010 atau pertandingan sepak bola umumnya penuh berbagai segi analogis, khususnya tentang unsur-unsur dramatis dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat drama kehidupan, seperti sering terlihat dan tersirat di beberapa pertandingan Piala Dunia 2010, lebih kurang merupakan kombinasi di antara tindakan atau perbuatan sengaja yang terencana baik untuk memenangkan tim masing-masing dengan nasib baik atau nasib buruk. Lihatlah, apa yang kurang dengan tim Perancis, Brasil, dan Argentina; mereka memiliki pemain unggulan dunia, tetapi akhirnya harus kalah.
Seperti juga bisa dilihat sepanjang Piala Dunia, dan juga dalam sepak bola umumnya, sebagaimana kehidupan lazimnya, keberhasilan selalu melibatkan setidaknya dua faktor: kemampuan (ability) dan kesempatan (chance) yang memunculkan nasib baik (good luck). Maka, ada orang atau tim yang sangat mampu, tetapi gagal karena tidak punya kesempatan yang muncul seketika yang membawanya ke dalam nasib baik (good fortune). Sebaliknya, ada orang atau tim yang sebenarnya punya kemampuan biasa-biasa saja, tetapi punya kesempatan yang dapat dimanfaatkan maksimal untuk kemenangan dan keberhasilan. Inilah good fortune yang tidak pernah bisa diprediksi dan bahkan diusahakan secara sengaja. Keberuntungan selalu seolah-olah turun dari ”langit”.
Metafora
Mempertimbangkan begitu banyak paralelisme dan analogi antara pertandingan sepak bola dan kehidupan riil sehari-hari, tidak berlebihan jika beautiful game ini dapat disebut sebagai ”metafora” kehidupan. Sepak bola sebagai metafora terletak pada kenyataan bahwa aspek dan sisi tertentu permainan ini mengandung keserupaan dan kemiripan dengan kehidupan biasa. Meminjam kerangka Andrea Borghini dan Andrea Baldini dalam When Soccer Club Becomes a Mirror (2010), terdapat setidaknya tiga hal dalam sepak bola yang pas menggambarkannya sebagai metafora kehidupan.
Sepak bola—seperti juga kehidupan—memiliki sifat tidak bisa diprediksi (unpredictable). Seseorang atau tim sepak bola boleh memiliki berbagai potensi dan kemampuan, yang secara matematis membuatnya hampir pasti menang dalam pertandingan atau kehidupan. Namun, perhitungan matematis sering tidak menjadi kenyataan karena dalam pertandingan atau kehidupan terdapat banyak faktor yang muncul dan bekerja secara tak terduga. Hasil akhir pertandingan sepak bola atau kehidupan tidak pernah bisa diprediksi, diramalkan, apalagi dipastikan.
Kedua, pertandingan sepak bola atau kehidupan, pada dasarnya adalah persoalan kalah atau menang. Karena itu, setiap orang, apakah pemain atau tim sepak bola, harus menyiapkan dirinya untuk ”siap menang” dan ”siap kalah”. Jika hal ini dipahami dengan baik, bisa menumbuhkan sikap batin yang sehat dan bahkan penuh kebijaksanaan dalam memandang setiap perjalanan pertandingan sepak bola dan kehidupan. Orang atau pemain yang bijak tidak terlalu jumawa, tinggi hati dan takabur kalau dia menang. Sebaliknya, ia tidak pernah putus asa jika gagal.
Ketiga, pertandingan sepak bola atau kehidupan sehari-hari memperlihatkan adanya otoritas lebih tinggi di atas segalanya. Tidak ada siapa pun yang bebas dari realitas semacam ini. Dalam sepak bola ada wasit dan hakim garis yang kemauan dan keputusannya tidak bisa dibantah; sedangkan, dalam kehidupan, setiap orang memiliki figur lebih tinggi yang bisa membuat keputusan yang sering sangat memengaruhi perjalanan kehidupan—bisa berarti berdampak baik atau buruk bagi orang bersangkutan.
Meski Piala Dunia memunculkan banyak pecundang dan menghasilkan hanya satu pemenang puncak, tidak berarti perjuangan telah selesai. Bagi juara Piala Dunia 2010, sepatutnya mereka tidak puas dan mabuk kejayaan. Pemenang yang bijak adalah mereka yang dalam filsafat Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero. Sebaliknya, mabuk kemenangan dan keberhasilan dapat menggiring mereka ke dalam kekalahan dalam perjuangan berikutnya.
Sebaliknya juga, mereka yang kalah, tidak pada tempatnya kehilangan harapan. Justru, seyogianya membangkitkan harapan; karena harapan itu dapat menjadi kekuatan pendorong yang bisa membawa kepada keberhasilan dan kemenangan. Karena itulah, orang yang putus asa tidak punya masa depan dan selamanya jadi pecundang.
Piala Dunia 2010 segera menyelinap ke balik lembaran sejarah dengan berbagai ironi, drama, dan euforianya. Namun, metafora yang ditinggalkannya berlaku abadi selama kehidupan ini terus melangkah. Orang bijak adalah mereka yang bisa mengambil berbagai metafora itu dalam perjalanan hidup yang penuh drama manis atau pahit sekalipun.
Azyumardi Azra.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta; Penggemar Sepak Bola
Sumber : Kompas, Kamis, 8 Juli 2010 | 03:02 WIB / Foto : FIFA 2010.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar