Prof Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta, di belakang nisan dan foto almarhum Prof Achmad Mochtar di Ereveld Ancol, Sabtu (3/7) pagi, didampingi dua cucu almarhum, Monique Hasna Mochtar dan Jolanda Astrid Mochtar. (KOMPAS/IRWAN JULIANTO)***
LEMBAGA EIJKMAN
Profesor Achmad Mochtar Tidak Mati Sia-sia
Kami cuma tulang-tulang berserakan.../Berikan kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Chairil Anwar, ”Krawang Bekasi”, 1948
Potongan ayat-ayat puisi ”Krawang Bekasi” karya Chairil Anwar tahun 1948 seolah berbicara lagi di Ereveld Ancol, Sabtu (3/7) lepas fajar lalu, setelah Georgina Tapiheru memetik gitar akustik sambil menyanyikan ”Gugur Bunga” ciptaan Ismail Marzuki. Ditingkah gerimis tipis, suasana dini hari itu mengiris sunyi.
Di makam Belanda itu berjajar ratusan nisan para korban eksekusi militer pendudukan Jepang antara 1942-1945. Bukan cuma warga asli Belanda, tetapi juga putra-putra Indonesia. Di antaranya adalah almarhum Prof Dr Achmad Mochtar, yang dipenggal kepalanya tepat 65 tahun lalu: 3 Juli 1945. Upacara sederhana tetapi khidmat untuk memperingati wafat, reputasi, dan jasa-jasa direktur Indonesia pertama Lembaga Eijkman ini.
Makamnya baru-baru ini ditemukan di Ereveld Ancol setelah puluhan tahun sejarah seolah melupakannya. ”Di tempat ini 65 tahun lalu, Prof Dr Achmad Mochtar—Direktur Lembaga Eijkman—gugur dipancung tentara pendudukan Jepang. Beliau dituduh memimpin tindakan sabotase terhadap Jepang, yakni mencemari vaksin TCD (tifus, kolera, disentri) dengan bakteri dan toksin tetanus. Ia dituduh menyuntikkan vaksin mematikan itu kepada ratusan romusa,” kata Prof Dr Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam renungannya.
Meluruskan sejarah
Menurut Sangkot, amat perlu meluruskan sejarah dan merehabilitasi nama baik almarhum Prof Achmad. Ini bukan melulu karena ia adalah direktur Indonesia pertama Lembaga Eijkman, tetapi karena memang tuduhan yang ditimpakan kepada almarhum amat tidak adil.
Peristiwa tewasnya sekitar 900 romusa (tenaga kerja paksa) Indonesia di wilayah Klender terjadi pada Juli 1944. Atas perintah penguasa Jepang, mereka divaksinasi dengan vaksin TCD produksi Lembaga Pasteur Bandung yang dikuasai Angkatan Darat Jepang—berganti nama menjadi Boeki Kenkyujo. Vaksin yang disimpan di Lembaga Eijkman dibawa militer Jepang ke Klender lalu disuntikkan staf Eijkman dan beberapa dokter dari Jawatan Kesehatan Kota Jakarta. Mereka semua tewas dengan manifestasi keracunan toksin tetanus.
Prof Achmad, beberapa anggota staf Eijkman, dan dokter Jawatan Kesehatan Kota Jakarta ditangkap Kenpeitai. Mereka disiksa dan dipaksa mengakui kematian para romusa adalah kesalahan mereka. ”Prof Mochtar tahu, tanpa pengakuan, siksaan akan terus berjalan dan hampir pasti akan berakhir dengan kematian mereka. Ia mengakui itu sebagai perbuatannya. Ia mengorbankan nyawa dan reputasinya asalkan sejawat-sejawatnya dibebaskan,” kata Sangkot.
Betul, rekan-rekannya dibebaskan Januari 1945, sementara Prof Achmad dieksekusi sebulan sebelum Jepang bertekuk lutut kepada tentara Sekutu. Betulkah pihak Jepang ingin menghapus jejak tindakan genosida yang mereka lakukan sendiri?
Sehari sebelumnya, 2 Juli 2010, majalah Science yang amat bergengsi menurunkan laporan dua halaman: ”History of Science: Righting a 65-Year-Old Wrong”. Di sana terungkap, militer Jepang pada pengujung Perang Pasifik amat butuh vaksin tetanus untuk pasukannya. Tidak mustahil 900-an romusha yang tewas itu dijadikan ”kelinci percobaan” toksisitas racun tetanus. Pada Januari 1945 dokter armada Laut Selatan Kedua, Hirosato Nakamura, menyuntik 17 narapidana Indonesia dengan vaksin tetanus dan 15 orang mati. Mahkamah Penjahat Perang Australia memvonis Nakamura empat tahun penjara. (ij)***
Sumber : Kompas, Selasa, 6 Juli 2010 | 04:36 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar