H I V/A I DS
Produksi Obat Dalam Negeri Tidak Maksimal
JAKARTA - Produksi obat dalam negeri selama ini tidak berkembang karena tidak ada kepedulian dari pemerintah dan pengambil keputusan yang lain. Kenyataan ini ditunjukkan dari dana pemerintah yang terkadang terlambat untuk pembiayaan obat antiretroviral lini 1 yang kini digunakan 95 persen orang yang membutuhkan.
Ketika dana pemerintah tidak cukup dan terlambat, obat-obat antiretroviral (ARV) impor masuk melalui Global Fund. Jika obat ARV impor terus-menerus masuk, obat ARV produksi dalam negeri dikhawatirkan akan dilupakan dokter. Akibatnya, produksi obat ARV dalam negeri akan berkurang bahkan terhenti.
Prof DR dr Samsuridjal Djauzi SpPD, Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan hal itu dalam diskusi ”Membangun kemandirian untuk meningkatkan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia” yang diselenggarakan Unit Pelayanan Terpadu HIV Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, akhir pekan lalu.
Keberadaan obat ARV produksi dalam negeri yang lebih murah sangat dibutuhkan karena obat ARV impor tidak dapat dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat karena harganya yang mahal, sekitar Rp 8 juta-Rp 10 juta per bulan. Masalah ini harus segera menjadi perhatian pemerintah mengingat jumlah kasus HIV dikhawatirkan akan terus meningkat.
Samsuridjal mengingatkan, jika masalah ini tidak ditangani dengan serius, dikhawatirkan pada tahun 2020 akan ada 1,6 juta kasus HIV di Indonesia. Oleh karena itu, perlu komitmen kuat pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk mengurangi kecepatan penularan. Selain strategi yang jelas, dukungan dana yang cukup juga menjadi syarat utama.
”Selama ini 70 persen dana penanggulangan HIV/AIDS didapatkan dari bantuan luar negeri. Indonesia juga dibanjiri oleh bermacam-macam produk tes HIV impor sehingga tes HIV buatan Indonesia tidak berkembang,” kata Samsuridjal.
Luar negeri menonjol
Kurniawan Rachmadi dari Kelompok Studi Khusus AIDS menekankan perlunya kesadaran akan pentingnya kesehatan. Apabila sudah dianggap penting, kesehatan tidak lagi dipandang sebagai hal yang konsumtif tetapi investasi.
”Jika pemerintah peduli pada pengembangan produk nasional, kebijakan publiknya juga akan bisa memengaruhi anggaran kesehatan,” ujarnya.
Upaya penanggulangan HIV/AIDS menjadi lebih rumit, kata Kurniawan, karena faktor bantuan luar negeri yang sangat menonjol. Pada umumnya dana bantuan luar negeri diusahakan kembali lagi ke negara yang memberi bantuan dalam bentuk gaji tenaga ahli, pelatihan, dan pembelian produk buatan negara maju. ”Kesadaran bahwa kesehatan itu penting. Itu saja dulu yang harus dikembangkan,” ujarnya. (LUK)***
Sumber : Kompas, Senin, 4 Januari 2010 | 03:44 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar