DENNIS ANDERSON. (KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT) ***
Oleh Andy Riza Hidayat
Kota Gothenburg, Swedia, selalu merekam kegembiraan ribuan remaja dari lima benua setiap tahun. Betapa tidak, di kota ini sejak 1975 berlangsung turnamen sepak bola Gothia Cup. Turnamen ini seakan menjadi piala dunianya remaja yang berlangsung pada musim panas.
Orang-orang di balik acara ini pun memiliki kebanggaan terhadap suksesnya acara ini. Salah satunya adalah Dennis Anderson, Sekretaris Jenderal Gothia Cup. Misi Anderson untuk memadukan olahraga sepak bola dan ragam budaya dari berbagai belahan dunia tercapai.
Walaupun bernama Gothia Cup, turnamen ini memang lebih tepat disebut sebagai festival persahabatan remaja pencinta sepak bola. Mereka berdatangan dari banyak negara.
Anderson sudah 30 tahun bekerja membangun turnamen ini, menjadikannya turnamen yang menyenangkan. Dia ingin Gothia Cup menjadi tempat belajar pencinta sepak bola untuk menjunjung tinggi fair play serta menghargai perbedaan warna kulit, agama, dan budaya.
Dengan demikian, para peserta tidak melulu berkonsentrasi pada bagaimana mereka bisa memenangi pertandingan, tetapi lebih dari itu.
”Lebih dari sekadar bermain sepak bola, kami ingin mempertemukan perbedaan remaja dari seluruh dunia melalui turnamen sepak bola,” kata Anderson saat menerima Kompas di Stadion Gamla Ullevi, Gothenburg, beberapa waktu lalu.
Dengan semangat seperti itulah, sebanyak 71 negara mengirimkan wakilnya ke Gothenburg. Luar biasa, sekitar 35.200 remaja dari 1.567 tim sepak bola pun mengikuti laga yang penuh kegembiraan dan persaudaraan.
Perlu kerja keras dan keseriusan serta komitmen panitia untuk ”mengelola” jumlah peserta sebanyak itu. Bukan cuma soal pertandingan atau kompetisi, melainkan juga untuk mempersiapkan penginapan, konsumsi, serta akomodasi lainnya.
Apa rahasia sukses Anderson menggelar turnamen sebesar ini? Dia menjawab, ”Kuncinya, perlu organisasi yang baik.”
Organisasi yang baik dan solid itu tidak serta-merta bekerja begitu saja. Untuk menyiapkan turnamen ini, Anderson membutuhkan waktu satu tahun sebelum turnamen berlangsung. Ibaratnya, panitia mempersiapkan diri sepanjang waktu.
Untuk persiapan Gothia Cup 2011, misalnya, panitia sudah bekerja sepekan setelah pelaksanaan Gothia Cup 2010 berakhir pada 24 Juli lalu. Untuk kegiatan tahun depan itu, panitia menetapkan pelaksanaan turnamen akan jatuh pada 17 sampai 23 Juli 2011. Pembukaan pendaftaran secara online dimulai September 2010.
Sepak bola dan budaya
Anderson bukan orang yang berlatar pendidikan mentereng. Namun, olahraga, khususnya sepak bola, menempa dia menjadi seorang organizer piawai. Dia hanya lulusan sekolah setingkat sekolah menengah atas (SMA) di Gothenburg. Kemampuan berorganisasi dia dapatkan lewat sepak bola, olahraga yang dia cintai sejak kecil.
”Olahraga ini mengajari pemainnya membagi kebahagiaan dengan sesama. Oleh karena itu, kami menggabungkan unsur sepak bola dan budaya sekaligus dalam satu manajemen organisasi yang rapi,” ujarnya.
Anderson memang tak bisa bekerja sendiri. Dia melibatkan masyarakat dengan menghimpun 2.000 relawan untuk berpartisipasi selama turnamen. Para relawan itu terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan warga biasa. Mereka melayani ribuan tamu selama lebih dari seminggu di Gothenburg, dengan menyediakan akomodasi, penginapan tim, lapangan, wasit, dan makanan.
Selama turnamen, semua pemain, pelatih, dan orangtua pemain menginap di 60 sekolah dan 25 hotel di Gothenburg. Untuk mempermudah mobilitas, panitia menjalin kemitraan dengan perusahaan transportasi Swedia bernama Västtrafik.
Para peserta, orangtua, dan pendukung tim mendapatkan kartu Gothia Card. Dengan kartu itu, mereka dapat bepergian ke mana saja di Gothenburg, termasuk ke sejumlah tempat wisata. Dia juga menggandeng sponsor lokal dan internasional yang berjumlah 22 perusahaan.
”Saya puas, turnamen berjalan lancar. Lebih dari itu, selama ajang ini terbangun semangat persahabatan di antara sesama pemain dengan latar belakang yang berbeda,” kata Anderson di Stadion Gamla Ullevi, Gothenburg.
Anderson selalu menunggu musim panas datang di Gothenburg, seperti pada masa kecilnya saat menjadi pemain sepak bola. Selama sepekan, kota kelahirannya itu menjadi ”ibu kota” para remaja. Masyarakat Gothenburg pun merasakan dampak sosial dan ekonomi yang luar biasa.
Hal ini dirasakan Thorleif Wetterlin, sopir angkutan wisata di Gothenburg. ”Kami senang, semua orang dapat menikmati Gothenburg. Perekonomian menjadi ramai,” kata Thorleif.
Tak sepenuhnya komersial
Anderson menikmati pertandingan sepak bola yang berlangsung selama turnamen dengan menonton sejumlah pertandingan penting. Sesekali dia menemui kolega dari negara lain di stadion. Beberapa kali dia memberikan bingkisan kepada sahabat yang hanya bisa dijumpainya saat Gothia Cup.
Meski menjadi orang paling penting dalam turnamen, menemui Anderson bukanlah hal yang sulit. ”Anda bisa menemui saya di sini (Heden, pusat penyelenggaraan Gothia Cup),” katanya. Hampir setiap hari, selama penyelenggaraan Gothia Cup 2010, ia selalu ada di kawasan ini.
Dalam 36 kali penyelenggaraan, panitia mendapatkan keuntungan dari turnamen ini. Ia tak bersedia menyebut angka yang jelas, tetapi mengatakan, 25 persen dari seluruh keuntungan turnamen itu disumbangkan ke Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Di benua-benua itu, panitia mendirikan sekolah sepak bola untuk menampung anak-anak dari keluarga miskin.
Dari tahun ke tahun, penyelenggaraan Gothia Cup semakin banyak pesertanya. Tahun ini merupakan tahun pertama bagi Indonesia berpartisipasi dalam turnamen yang diwakili Jakarta Football Academy (JFA). Sejak pertama kali penyelenggaraannya, sudah 133 negara yang berpartisipasi dalam turnamen.
Pada tahun-tahun mendatang, Anderson berambisi melibatkan lebih banyak pemain perempuan dalam turnamen. Menurut dia, masa depan sepak bola juga ada di kalangan kaum perempuan. Dewasa ini, perkembangan sepak bola semakin pesat. Perkembangan ini menembus sekat jender dan beragam kultur di dunia.***
Sumber : Kompas, Sabtu, 28 Agustus 2010 | 03:00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar