RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Minggu, 08 Agustus 2010

Menikmati "Utsusemi" di Pinggir Kamogawa

Menikmati "Utsusemi" di Pinggir Kamogawa

Maiko menuangkan sake, minuman khas Jepang, kepada pengunjung di Ganko Takasegawa Nijyoen, sebuah restoran di Kyoto, Jepang, Kamis (10/6). (KOMPAS/A HANDOKO)***

Oleh Agustinus Handoko

”Utsusemi” adalah paduan santap, seni, dan panorama alam. Pada sebuah senja di bulan Juni, kami menikmatinya di Kamogawa atau pinggiran Sungai Kamo di Kyoto, Jepang. Kami ditemani ”geiko”, penari perempuan Jepang.

Matahari senja memantulkan sinar warna emas di permukaan air sungai Kamogawa yang jernih.

Tempat indah di kota Kyoto itu terlalu sayang untuk dilewatkan ketika berkunjung ke Kyoto. Sungai yang membelah kota Kyoto ini lebarnya sekitar 50 meter, tetapi tidak dalam, hanya sekitar 50 centimeter. Di tepi sunmgai indah itu berdiri Ganko Takasegawa Nijyoen, tempat kami bersantap.

Dan soal bersantap, bagi masyarakat Jepang bukan sekadar urusan mengisi perut, tapi seni menikmati masakan. Hidangan utsusemi di Ganko Takasegawa Nijyoen, Kyoto, Jepang, setidaknya bisa menuturkan bagaimana bersantap menikmati makanan itu dirancang urutan dan tata cara yang mengantar penyantap ke rasa nikmat.

Dibilang unik karena utsusemi terdiri atas tujuh bagian yang mesti disantap satu per satu. Bagian pertama utsusemi adalah kisetsu no zensaibako. Ini adalah hidangan sayur musiman di Jepang yang ditempatkan di sebuah kotak kayu. Sewaktu kami menyantap hidangan ini Juni lalu, sajian terdiri dari rebung muda dan labu kuning yang dikukus dengan rasa tawar. Pada musim lain, jenis sayurannya bisa berbeda.

Berikutnya adalah goma dofu no saimono, yakni tahu yang ditaburi wijen halus dengan campuran sejumlah sayuran hijau. Dua hidangan ini bisa dibumbui dengan saus terpisah. Rasanya manis-asin, tetapi agak asam. Menu ini juga sering dijumpai di restoran-restoran lain di Kyoto.

Selain sayuran, ada pula sashimi, yakni otsukuri 4 syumori. Hidangan sashimi ini terdiri dari empat jenis, yakni yellow tail fish, tsuna, cumi, dan ikan salmon. Sambal khas Jepang, washabi, bisa menjadi penyedap hidangan sashimi ini. Sambal khas Jepang ini bisa membuat tersedak karena pedasnya tidak langsung ke kerongkongan, tetapi nendang ke hidung.

Inilah seninya makan ala Jepang. Untuk masuk ke hidangan ”berat”, ada hidangan perantara, yakni tenpura meriawase. Makanan ringan ini tak jauh berbeda dengan tempura di Indonesia, hanya rasanya agak tawar dengan dominasi aroma ikan.

Hidangan berat

Hidangan berat di Ganko Takasegawa Nijyoen dimulai dari shabu-shabu yang disebut dengan hamo to yuba no tosui syabu syabu. Menu shabu-shabu terdiri dari daging unggas sejenis bebek yang warna bulunya coklat dan hitam. Juga kulit tahu dan nasi putih.

Bagian makanan berat dilanjutkan dengan tomewan, yakni sup miso dan sayuran, tetapi tidak seperti hidangan pembuka yang tawar, kali ini sayurannya dimasak dengan gaya khas Jepang. Kita bisa memasaknya sendiri menggunakan kompor mini yang disiapkan di meja. Kuah yang digunakan untuk memasak sayuran yang disebut kono mono, yakni sejenis terung ini, adalah susu kedelai. Paduan kuah susu kedelai dan sayuran sejenis terung ini memang agak asing, tetapi rasanya lezat.

Hidangan penutup dari rangkaian santap ini adalah ikan bakar. Seperti banyak makanan berjenis daging atau ikan di Jepang, hidangan penutup yang diberi nama ayu no sioyaki ini tidak terlalu matang. Bau amisnya sudah tidak terlalu terasa, tetapi akan lebih nikmat jika dilumuri saus kecap asin, lagi-lagi dengan rasa agak asam.

Ganko Takasegawa Nijyoen sudah dirancang sangat matang untuk memanjakan tamu-tamunya. Dari pinggir jalan, restoran ini tidak terlalu kelihatan. Namun, begitu masuk ke gerbangnya, paduan rumah-rumah panggung untuk lesehan yang terhampar di sebuah taman dengan pohon-pohon rimbun sudah menunggu. Oh ya, hampir lupa, harga utsusemi adalah 4.900 yen atau sekitar Rp 465.500.

Tamu yang lebih suka dengan pemandangan lebih terbuka bisa memilih bagian belakang, yakni tempat makan menggunakan meja yang terjajar di pinggir Kamogawa. Jejak matahari yang mulai hilang menambah indah pemandangan Kamogawa . Dan menyempurnakan kenikmatan kami bersantap.

Sumber : Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010 | 03:48 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar