Sebanyak 45 orang yang akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga pengganti atau dikenal dengan istilah "infalan" berjalan menuju bus yang akan membawa mereka ke Jakarta, Jumat (20/8). (KOMPAS/PRIYOMBODO)***
Oleh Lusiana Indriasari dan Yulia Sapthiani
Menjelang Lebaran, ribuan perempuan desa didatangkan ke Jakarta dan sekitarnya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga musiman. Sulitnya akses ekonomi di pedesaan mendorong mereka mencari nafkah untuk keluarga.
Narti (40) adalah perekrut tenaga pembantu rumah tangga. Sejak awal bulan puasa lalu, Narti sibuk luar biasa. Pagi, siang, malam, hingga pagi lagi telepon genggamnya tidak pernah berhenti berdering. Dengan sabar, Narti pun melayani para peneleponnya.
”Mau yang umur berapa, Bu? Tapi di sini tidak menyediakan tenaga di bawah 15 tahun,” kata Narti kepada para peneleponnya. Kebanyakan yang menelepon Narti adalah ibu-ibu yang tinggal di Jakarta dan Batam.
Setelah menutup telepon, Narti siap-siap bertugas. Ia membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan jaket, celana panjang, kaus tangan, dan kaus kaki untuk melindungi kulitnya dari sengatan matahari. Dari rumahnya di Desa Purworejo II, Sragen, Jawa Tengah, ibu dua anak ini naik sepeda motor untuk mencari orang yang mau diajak bekerja ke Jakarta.
Setiap hari, Narti bersama Yuli, teman yang dipercaya membantu merekrut orang, berkeliling dari satu kampung ke kampung lain di wilayah Sragen dan sekitarnya. Terkadang mereka harus menempuh jalan terjal perbukitan untuk masuk ke perkampungan. Wilayah paling jauh yang dimasuki Narti sampai ke Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Narti adalah ujung tombak dari penyalur tenaga kerja Ibu Hadi yang berlokasi di Depok, Jawa Barat. Sejak tahun 2001, ia bergabung menjadi sponsor Ibu Hadi. Asal tahu saja, peran Narti sebagai perekrut tenaga itu biasa disebut sebagai sponsor.
Selain Narti, Yayasan Ibu Hadi memiliki lebih dari 100 sponsor. Mereka tersebar di seluruh Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Madura, Lampung, Palembang, dan Jambi. Sponsor langsung datang ke rumah-rumah penduduk.
Pada hari biasa, Narti bisa mengumpulkan 10-15 orang untuk disalurkan ke yayasan. Untuk Lebaran, ibu dua anak ini bisa mengirimkan 120 tenaga kerja menggunakan dua bus sewaan. Semua tenaga tersebut adalah perempuan.
”Tahun lalu, saya bisa mengirim ’infalan’ sampai lima bus,” kata Narti yang pernah delapan tahun menjadi tenaga kerja Indonesia di Singapura.
”Infalan” yang dimaksud Narti adalah tenaga kerja yang mau bekerja pada musim Lebaran.
Dadang Suryana (59), salah satu sponsor yayasan penyalur tenaga kerja Ibu Gito di Cipete, Jakarta Selatan, mendatangkan pembantu ”infal” dari Kabupaten Bandung, seperti Ciwidey, Soreang, Cililin, dan Banjaran. ”Saya tidak bisa memberangkatkan orang kalau belum diminta dari Jakarta,” kata Dadang yang merekrut orang dibantu istrinya, Wida (45), dan anaknya, Dewi (17).
Sebelum mengirim ke Jakarta, Dadang harus menampung dulu tenaga kerja yang ia rekrut di rumahnya yang sempit. Apabila jumlah tenaga kerja yang direkrut cukup banyak, terpaksalah para rekrutan tidur di halaman dan saung kecil di depan rumah Dadang.
Motor ”kinclong”
Jumat (20/8), Narti siap memberangkatkan sekitar 50 tenaga kerja ke Jakarta. Sebagian dari mereka sudah pernah berkali-kali ikut Narti ke Jakarta, sedangkan sebagian lagi baru pertama kali ini ikut ”infal”.
Sejak pukul 10.00, para pencari kerja ini berdatangan dari desa masing-masing ke rumah Narti. Mereka diantarkan oleh orangtua, suami, dan anak-anaknya.
Siti Utami (26) dari Desa Blabur, Sragen, sudah empat kali ikut ”infal”. Setiap kali hendak berangkat ke Jakarta, ia selalu diantar suaminya, Toni (26), dan anaknya, Devina (6). Toni yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan ini mengendarai sepeda motor baru, keluaran tahun 2009.
Hampir semua suami yang mengantarkan istrinya siang itu bersepeda motor ”kinclong”. Uang untuk membeli sepeda motor itu boleh jadi diperoleh dari para istri yang setiap tahun menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta. ”Sebagian duite memang untuk nyicil motor,” ucap Siti.
Ketika hendak berangkat ke Jakarta, Siti dan teman-temannya sering kali tidak membawa bekal uang sepeser pun. Bahkan, untuk menanggung keperluan anak-anak yang ditinggalkan, mereka harus berutang kepada sponsor.
Surati (45), salah satu tenaga kerja yang siap berangkat sore itu, mengomel panjang lebar ketika suaminya meminta uang untuk membeli sampo. ”Kudune kowe ki sing nyangoni aku, kok malah njaluk sangu (Harusnya kamu yang kasih uang saku buat aku, kok malah minta uang saku),” kata Surati.
Toh ia tetap mengeluarkan beberapa lembar uang dua ribuan yang dimilikinya.
Sebelum berangkat, Narti mengabsen dan memberikan pengarahan kepada para tenaga kerja yang siap diberangkatkan.
”Nanti kalau kerja jangan pilih-pilih. Namanya kerja sama orang itu tidak enak. Yang penting niat kerja biar dapat uang banyak,” kata Narti wanti-wanti.
Menjelang pukul 14.00 sebuah bus besar datang untuk mengangkut mereka ke Jakarta. Saat itu perjuangan telah dimulai. Bahkan harus melintasi hari Lebaran, di mana seharusnya para anggota keluarga berkumpul....
Sumber : Kompas, Minggu, 29 Agustus 2010 | 02:56 WIB
Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda
- Agus Ruwiyanto
Minggu, 29 Agustus 2010 | 06:14 WIB
apakah kita benar - benar sudah merdeka??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar