Puisi Zaim Rofiqi
Telepon
Entah berapa lama aku tidur.
Aku bermimpi tidur panjang, sangat panjang, lalu sebuah
telepon berdering menggetarkan seisi ruangan dan aku tersentak
terbangun.
Kuangkat gagang telepon itu, “Halo, halo?”
Tak ada jawaban.
Hanya suaraku yang terdengar gagap,
gemanya terus-menerus memantul di seluruh ruangan hingga
membuatku tak bisa kembali tidur.
Aku masih terjaga mendengar gema suaraku sendiri ketika
menjelang subuh aku terbangun karena dering telepon yang
mengabarkan kematian kembaranku.
Di luar, jarum-jarum gerimis mulai menusuki kaca jendela
kamarku.
2009
—AndrĂ¡s Gerevich
Aku terbang di dalam mimpiku.
Aku bermimpi tidur panjang, begitu panjang, lalu seleret
halilintar berpijar diikuti sebuah dentuman besar menggelegar
dan aku tersentak terbangun, lalu terbang.
Mulanya aku hanya berputar-putar di atas tempat tidurku, turun,
naik, turun, naik, dengan keseimbangan yang tak pernah
kumiliki sebelumnya, lalu melesat ke kiri, ke kanan, berkitar-
kitar ke seluruh sudut mengamati seluk beluk kamar yang entah
telah berapa lama aku tinggali: aku telusuri dinding-dinding
kamar dari batu bata dan kayu itu. Di beberapa bagian
kutemukan cat dinding yang mulai terkelupas dan berbercak,
juga beberapa kayu yang mulai keropos karena rayap. Kumakan
dua-tiga rayap yang ada di salah satu kayu di sudut langit-langit,
lalu aku melesat ke atas meja, hinggap di atas sebuah dompet, di
depan sebuah pigura rotan yang terpelitur mengilat. Selembar
foto tua menghampar di dalam pigura itu. Cukup lama kuamat-
amati foto itu: dua perempuan dan tiga laki-laki saling
berangkulan. Wajah mereka semua menyeringai, kecuali satu
lelaki yang ada di ujung kanan. Aku merasa mengenal wajah itu,
tapi telah lupa siapa.
Bosan dengan pigura dan foto, aku beralih berkitar-kitar di atas
sebuah rak buku di sudut kamar. Dua buku besar bersampul
merah dan putih menarik perhatianku. Aku mendekat, dan
hinggap di atas sebuah cangkir plastik yang berdiri di atas salah
satu buku di rak itu. Namun, ups, cangkir plastik itu ternyata tak
kuat menahan berat tubuhku. Sebelum melesat, aku masih
sempat melihat air dari cangkir itu luber membasahi buku merah
dan putih itu, juga beberapa buku lain di kanan kiri mereka.
Aku kembali hinggap di atas meja, lalu melesat menuju sebuah
kursi di tengah ruangan. Beberapa saat berdiri di atas kursi itu,
aku merasa bingung apa yang harus kulakukan. Betapa besar
kursi ini, pikirku. Begitu besarnya hingga aku merasa ia bisa
menopang sepuluh atau lima belas kali lipat berat tubuhku,
bahkan mungkin lebih. Aku meloncat-loncat di atasnya. Seekor
semut terlihat menuruni sandaran kursi, dan dalam sekali gerak
aku berhasil menyambar makhluk kecil itu. Kembali aku berdiri
di atas kursi kayu itu, menoleh ke kiri ke kanan, ke atas ke
bawah, dan perlahan kusadari betapa luas ruangan tempat aku
dan kursi ini berada. Meski begitu, beberapa saat kemudian, aku
mulai merasa tak betah berada di tengah-tengah keluasan ini.
Ruangan ini begitu luas, dan mungkin sanggup menampung
ratusan, bahkan mungkin ribuan makhluk sebesar diriku, dan
aku mungkin bisa melakukan apa saja yang ingin kulakukan di
sini. Namun entah mengapa aku merasa ingin segera keluar dari
sini. Sesuatu di luar ruangan berdinding batu bata dan kayu ini
mungkin lebih menarik dibanding segala sesuatu yang ada di
sini, pikirku.
Melewati pintu kamar tidurku, aku sampai di ruang tamu.
Setelah melayang-layang mengelilingi ruang itu beberapa kali,
aku lalu hinggap di atas sandaran sebuah sofa panjang di tengah
ruangan. Sambil meloncat-loncat kecil menyusuri sandaran
berlapis beludru itu, aku perhatikan semua hal di ruangan ini,
dan tak lama kemudian perhatianku tersedot pada lantai yang
menopang semua benda di situ: lantai di bawah sofa tempatku
bertengger tampak putih bersih, satu dua kilau yang kadang
berkelebat membuatku tertarik mendekatinya. Beberapa saat
berdiri di atas lantai itu, aku melihat beberapa ekor semut
berjalan terburu, masing-masing memanggul sesuatu yang putih
di kepalanya. Begitu barisan itu mendekati kakiku, aku menjadi
tertarik menyantapnya. Namun tepat ketika aku hendak
menyambar salah satu dari semut-semut itu, dari bawah
tempatku berdiri ada sesosok makhluk asing yang tampaknya
juga ingin menyantap semut itu. Aku tersentak, dan langsung
melesat ke sudut kanan atas ruangan itu, lalu hinggap di atas
sebuah jam dinding tepat di atas pintu masuk. Di samping kanan
dan kiri jam dinding itu tergantung dua buah ukiran kayu
dengan motif dan bentuk yang hampir sama. Aku merasa begitu
akrab dengan kelak-kelok menyerupai huruf dalam kedua ukiran
itu, namun setelah silih berganti menatap dan mengamati
keduanya, aku masih saja gagal mengerti apa makna kelak-kelok
dalam kedua ukiran itu.
Dan ruangan ini pun segera membuatku bosan. Hamparan
berlantai putih bersih ini begitu indah dan megah, dan memiliki
cukup banyak hiasan yang menjadikannya tak tampak lompong
dan lengang: jam dinding yang mengeluarkan bebunyian setiap
satu jam, sofa beludru, ukiran nama dari kayu, vas bunga cantik,
guci antik, dan benda-benda lain yang tak mungkin kusebut satu
per satu. Dan aku mungkin bisa melakukan apa saja yang ingin
kulakukan dengan benda-benda itu. Namun aku merasa ada
sesuatu dalam diriku yang terus-menerus mendesakku untuk
segera keluar dari ruangan ini. Sesuatu yang mungkin ada di luar
bentangan berlantai putih bersih berkilau ini mungkin lebih
menarik ketimbang segala sesuatu di sini, pikirku. Dan aku pun
kembali memutari ruangan, mencari-cari apakah ada
kemungkinan keluar dari situ. Benar saja, tak lama kemudian
kutemukan lubang angin di atas pintu, yang tampaknya cukup
besar untuk aku lewati. Dan aku pun melesat meninggalkan
ruang itu, ke luar, ke sebuah wilayah tak berdinding tak beratap.
Di pagi hari, kamar tidurku dan ruang tamu itu penuh bulu-bulu
lembut ringan yang tertabur di mana-mana. Dan, dengan mata
terkatup, seonggok bangkai burung hitam terhampar di atas
keset di depan pintu masuk. Seekor kucing bersijingkat
mendekat mengendus-endus kakiku. Dengan riang, dengan salah
satu kaki depannya, dia menyentuh-nyentuh sayapku.
Di luar, hujan mengucur deras.
2009-2010
Zaim Rofiqi menulis puisi, cerita pendek, esai, dan menerjemahkan buku. Buku kumpulan puisinya berjudul Lagu Cinta Para Pendosa (2009).
Sumber : Kompas, Minggu, 22 Agustus 2010 | 03:51 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar