PUISI AVIANTI ARMAND
Kejadian 38:6
Tamar
Sesudah itu Yehuda mengambil bagi Er, anak sulungnya, seorang istri,
yang bernama Tamar.
Di tempat ia berdiri, tanah menjauh dari telapaknya
yang telanjang. Bayangan melata dari pasir
sebelum menjelma selubung
yang berkabung – memanjat, melibat.
Angin berdebar.
Padang kehilangan diam
dan tepi.
Dari utara berhembus
kata-kata:
”Re adalah iblis. Tapi mereka memanggilnya Er –
agar kamu mengenalnya dan
tertipu.”
Re. Er. Re. Er. Re. Er.
Seperti gumam air di kerongkongan batu.
Seperti simpul-simpul sungai
yang berwarna perak dan perak
yang menghitam di bawah mata.
Ia mendongak dan melihat:
Tak ada langit.
Di atasnya, laut bergulung-gulung menelan bintang
dan gugus awan. Matahari jatuh ke ujung palung.
Tapi jari pusaran menggigit daging, mengoyak
dari empat penjuru.
Empat belas Tamar terkelupas. Satu-satu.
Bulan mati bersama para pengembara,
sisa merah pada jubah, wangi bunga liar di rambut
dan rambut yang beriak punggung domba
dan kukur merpati di celah batu.
Waktu tenggelam. Juga tanda tentangnya.
Lalu hari melemah
seperti usia.
Dari padang-padang Adulam
mereka mengambilnya
ketika musim masih muda
dan mimpi terdampar di tepi-tepi daun.
”Cuci kakimu, perempuan! Kenakan kasutmu!
Bergegaslah, sebelum hari jadi gelap!
Seekor keledai telah disiapkan untuk kau tunggangi.
Seorang lelaki sudah menunggu
untuk menunggangimu.”
Di tempat ia berdiri, semua sudah selesai.
Kejadian 38:7
Tetapi Er, anak sulung Yehuda itu, adalah jahat di mata Tuhan,
maka Tuhan membunuh dia.
Menjelang subuh, mereka mengurapi tubuhku
dengan wangi kemenyan
dan membasuhnya
dengan minyak narwastu.
Sejak itu, ia bukan lagi milikku.
Seorang Kallah telah jadi.
Di antara ranum susunya diselipkan
sebungkus mur. Bibirnya sejalin
pita kirmizi.
Dari biang malam dijumput celak
penghitam mata dan mimpi dikikir
dari kuku jari.
Lalu mereka menabur emas di mangkuk gelas
dan manik perak pada kerincing lengan
untuk menghalau
masa lalu.
Lewat tengah hari, sebelum meninggalkannya
sendiri, sehelai kain dilekapkan ke wajahnya.
Ke sayapnya.
Dan ia tak terbang lagi.
Ia memandang ke ruas yang jauh.
Hujan pernah jatuh dan pergi
dari kebun-kebun anggur Eh Gedi.
Gurun kembali kering.
Di ambang pintu ada kabar yang menanti.
”Mempelai datang! Mempelai datang!”
Perempuan-perempuan bergegas menebar
daun-daun palma di jalan dan di ruang ini
mencawiskan puja-puji.
”Moleklah pipimu di tengah permata
dan lehermu yang dibuhul
seutas nama”
Setelah itu pesta rebak. Rebana terdengar.
Salam berlabuh di pipi, memantul di dinding-dinding.
Tubuh-tubuh bergerak. Warna terserak.
Senyum berenang di alir arak. Tawa tumpah.
Gendang mendetak-detak.
Hingar kian tak reda.
Di pelaminan, sebuah pertunjukan boneka.
Tapi di balik cadar tak ada
apa-apa.
Apa yang kumengerti?
Hari yang tak akan usai akan mendorong mereka
ke dalam ruang tak bernetra.
Lalu hanya aku yang tahu
segala sesuatu
setelah itu.
Pasir. Pasir. Namaku.
Pada detik itu
Tamar gemetar oleh gentar dan gairah.
Susut oleh takut
dan remang sumbu. Tapi di tanah
ada jejak tanda tanya
yang mendekat.
Lalu mereka berhadapan.
Chatan dan Kallah.
Lelaki itu menjamah
Mata. Pipi. Bibir. Leher. Lalu –
”Ini?”
”Susu,” jawab perempuan itu.
Lelaki itu pun menunduk, menjulurkan lidah
dan melingkari puting dengan ujungnya
yang runcing.
Lalu seperti bayi
mengulumnya.
Perempuan itu seketika berubah:
pohon kurma dengan gugus buah
yang menggelantung
dan menetes-neteskan madu
dan getah
dari bawah.
Minyaknya lebih harum dari segala macam rempah
yang ia rekah
dan mabuk.
Mereka mabuk
dan belajar bahwa
kulit hanya jangat dari sesuatu
yang sangat asing
dan rentan
mungkin binatang yang melenguh saat disentuh,
daging liat dan magma yang tak mati
bahkan di beku dini hari.
Lelaki itu terengah,
guruh menggeram –
dan tiba-tiba
bintang-bintang terlepas
gagap menyelusup
ke lipatan langit.
Gerak terpatah dari pasir yang berpusar, brutal,
menarik mereka ke satu titik hitam yang menakutkan
tapi indah.
Ketika tanah seperti rekah
di punggung lelaki itu dingin naik
merayapi tengkuk.
Ia gemetar
sesuatu dalam tubuhnya akan meledak
dan mereka akan bersama
meledak.
Aku takut.
Mungkin aku
mati.
Er, lelaki itu,
terisak.
Dari antara kakinya menetes-netes panas
yang mengalir ke depan pintu.
Tapi perempuan yang telah tersingkap auratnya itu
masih semu merah.
Ia berseru:
”Siapakah engkau yang merenggut hakku atas benih?”
Dan perempuan itu berdiri.
Ia tiang awan hitam
yang limbung.
Ia jatuh
dan pecah
jadi keping
dan keping jadi gagak
yang mengepak gugup
ke arah lelaki itu,
merutuk, mematuk,
hingga
dari antara kakinya menetes-netes merah
yang mengalir ke depan pintu.
Selebihnya subuh.
Dan matahari yang patuh
menyeka kembali
jari-jarinya.
Perempuan itu membaringkan tubuhnya
dan mengatupkan mata yang lelah.
Di langit timur, terbuat nubuat,
”Tuhan adalah tangan yang terayun. DitebasNya
siapapun yang jahat di mataNya.”
Ia memang berkata: ”Aku adalah pedang.”
Catatan :
Chatan: mempelai laki-laki dalam adat Yahudi.
Kallah: mempelai perempuan dalam adat Yahudi.
Avianti Armand tinggal di Jakarta. Kumpulan prosanya berjudul Negeri Para Peri (2009). Puisi di atas, terilhami kisah tentang Tamar dalam Kitab Perjanjian Lama, adalah salah satu karyanya dalam antologi Perempuan-Perempuan dalam Kitab yang akan terbit tahun ini.
Sumber : Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010 | 05:30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar