RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Minggu, 15 Agustus 2010

PUISI-PUISI : Taufik Ikram Jamil dan Mashuri

PUISI

Taufik Ikram Jamil

yang tertinggal

sukacitaku yang tertinggal

di sela-sela perbincangan ombak

biarlah menjadi pantun di teluk kalian

sambil kusiulkan gurindam tepian

sajak-sajak yang membiru

dan keinginan yang mengarus

di ujung tanjung kian menderas

untuk segera pasang di laut lain

laksana serombongan angin sakal

senantiasa kalian rasakan singgahku

sampai rindu kalian

melarung resah di segara perih

menyemburkan kenangan sebagai buih

angan-anganku berkecambah di hutan bakau

sejak lama bercampur lumpur

tetapi nelayan mengenalnya sebagai lumut

memuja selat dengan sungut

musim badai tak pernah usai

ikan dan udang dijinjing peluh

meski terhadap nasib tak hendak mengeluh

dengan puteri duyung ingin berselingkuh

pelangi yang penuh rupa

merekat kasihku berwarna-warna

sementara dayung yang menyerak riak

menggentarkan jarak tanpa sangkak

juga hasratku sepanjang pantai

melempar kail ke langit tinggi

memancing riang dengan layar

buritan dan kemudi saling puji

Taufik Ikram Jamil

bila musim berbalik musim

taman akan tahu tempat semerbak

kembang tak layu di siang

tak kuncup di petang

sila dinda merangkai wangi

tangkainya boleh seberapa saja

talinya pastilah berutas sayang

taruh khidmat beranting rimbun

dekat kasih menunggu embun

sepenuh rindu renjislah pada daun

jangan lupakan kumbang

merancang hidup berkawan-kawan

belum sempat mencium sudah berbau

aduhai moncungnya berlapis puisi

dibela pengkebun pandai menyanyi

dipupuk genap segenap jiwa

kadang-kadang tersiang bimbang

putik telah membagi sari

menebar serbuk setancap tampuk

keramahan buah tidak secercah

pahit dan manisnya tak berwilayah

tak tamat di lidah tak usai di sudah

peniaga menarik berkah

kepada pembeli beraja hati

bila musim berbalik musim

kuning menghijau hitam berhijau

berhijaulah merah

hijau

Mashuri

jika kukunyah peluru besi, kerna aku lahir dari sepi

saat logam masih kenyal dan mesiu hanya bubuk bumbu

saat gerhana, siapa tetirah di belakang rumah

: seorang hitam, bertubuh besar, berambut panjang

mungkin ketakutanku

pada malam yang membisikkan seribu kisah

dan darah bisa beku

saat bersua dengan ingatan-ingatan sendiri

silam sendiri

dan mimpi sendiri

aku sendiri bertanya pada gerahamku

adakah ia pangling pada paku, pada kaca

pada besi tua

ia mungkin akan meratakan segalanya

seperti saat sangkur mengoyak lambung

dan dunia memuja lengkung

susu

saat karaben menghambur bagai hujan

payung hitam kukibarkan

bendera kutarik setengah tiang

lalu sambil bersila dan memainkan gambang

kukatakan,

aku bisa lebih buas dari serigala

mengunyah pantat-pantat meriam

juga pantat malam

tuhan mungkin cepat datang

sehingga api lekas padam

tapi saat senja

aku masih dihantui ketakutan

seperti kisah-kisah perempuan bersusu

dengan lubang besar di tubuh

yang mampu menelan segalanya

juga dunia

Surabaya, 2009

Mashuri

maut bukan akhir dari arus laut

tengoklah perkakas-perkakas tubuh

yang ditebas; waktu dijungkir dan luluh

dari segala cakap; saat dibumihangus dari gelap;

tubuh pun diam tanpa dekap ombak, tanpa tonggak

tapi tangan gaib tak pernah raib dari percaturan

zaman masih mempersilakan tamu-tamunya

yang cemerlang tuk bertandang, di ruang, di gigir ruang

gelombang pasang kapan saja bisa datang

tanpa diundang, untuk memenuhi

seluruh tempayan

Surabaya, 2009

Mashuri

sekujur tubuh kami pualam, hitam, tenggelam

di tanah, ketika nafas kami menghirup udara pertama

kami hanya mengenal malam

kami terus berlagu bulan, karena pada bulan, kami tahu

ada yang tersimpan di sana, terpintal di antara cahya

yang lengkung dan lapang, seamsal bunda khayalan

dengan jari-jemari menjahit kantung pelakian

bila gerhana tiba, tanah kami seperti wabah

kami lalu bertalu, merasukkan antan ke lumpang kayu

agar bebunyi bisa menjelma sesaji, memecah ngeri

yang tiba-tiba berenang ke sanubari

serupa bilur luka yang mempertegas duka lama

lewat wastu puja, kami tahu

ada yang raib dan tak lewat pintu

kami seakan terusir dari tanah

dan segala tanda di sepanjang jalan, hanya rambu

yang mengingatkan kami pada pasir hisap

dan ruang bawah tanah, yang gelap

sungguh kami ‘lah dikutuk cinta

purba; sudah bermusim, kami dendangkan madah

merajut kembali ingatan-ingatan jauh

agar jiwa kami yang terbelah kembali utuh

serupa retina Tarub yang tak kunjung redup ketika di angkasa

melingkar purnama

Surabaya, 2010

Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Buku puisinya adalah Jawadwipa 3003 (2003), Pengantin Lumpur (2005), Ngaceng (2007), dan Patigeni (2009). Ia tinggal dan bekerja di Surabaya.

Taufik Ikram Jamil lahir 19 September 1963 di Telukbelitung, Riau. Buku puisinya adalah tersebab haku melayu (1995) dan tersebab aku melayu (2010). Ia mendirikan dan berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau.***

Sumber : Kompas, Minggu, 15 Agustus 2010 | 03:54 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar