Taufik Ikram Jamil
yang tertinggal
sukacitaku yang tertinggal
di sela-sela perbincangan ombak
biarlah menjadi pantun di teluk kalian
sambil kusiulkan gurindam tepian
sajak-sajak yang membiru
dan keinginan yang mengarus
di ujung tanjung kian menderas
untuk segera pasang di laut lain
laksana serombongan angin sakal
senantiasa kalian rasakan singgahku
sampai rindu kalian
melarung resah di segara perih
menyemburkan kenangan sebagai buih
angan-anganku berkecambah di hutan bakau
sejak lama bercampur lumpur
tetapi nelayan mengenalnya sebagai lumut
memuja selat dengan sungut
musim badai tak pernah usai
ikan dan udang dijinjing peluh
meski terhadap nasib tak hendak mengeluh
dengan puteri duyung ingin berselingkuh
pelangi yang penuh rupa
merekat kasihku berwarna-warna
sementara dayung yang menyerak riak
menggentarkan jarak tanpa sangkak
juga hasratku sepanjang pantai
melempar kail ke langit tinggi
memancing riang dengan layar
buritan dan kemudi saling puji
Taufik Ikram Jamil
bila musim berbalik musim
taman akan tahu tempat semerbak
kembang tak layu di siang
tak kuncup di petang
sila dinda merangkai wangi
tangkainya boleh seberapa saja
talinya pastilah berutas sayang
taruh khidmat beranting rimbun
dekat kasih menunggu embun
sepenuh rindu renjislah pada daun
jangan lupakan kumbang
merancang hidup berkawan-kawan
belum sempat mencium sudah berbau
aduhai moncungnya berlapis puisi
dibela pengkebun pandai menyanyi
dipupuk genap segenap jiwa
kadang-kadang tersiang bimbang
putik telah membagi sari
menebar serbuk setancap tampuk
keramahan buah tidak secercah
pahit dan manisnya tak berwilayah
tak tamat di lidah tak usai di sudah
peniaga menarik berkah
kepada pembeli beraja hati
bila musim berbalik musim
kuning menghijau hitam berhijau
berhijaulah merah
hijau
Mashuri
jika kukunyah peluru besi, kerna aku lahir dari sepi
saat logam masih kenyal dan mesiu hanya bubuk bumbu
saat gerhana, siapa tetirah di belakang rumah
: seorang hitam, bertubuh besar, berambut panjang
mungkin ketakutanku
pada malam yang membisikkan seribu kisah
dan darah bisa beku
saat bersua dengan ingatan-ingatan sendiri
silam sendiri
dan mimpi sendiri
aku sendiri bertanya pada gerahamku
adakah ia pangling pada paku, pada kaca
pada besi tua
ia mungkin akan meratakan segalanya
seperti saat sangkur mengoyak lambung
dan dunia memuja lengkung
susu
saat karaben menghambur bagai hujan
payung hitam kukibarkan
bendera kutarik setengah tiang
lalu sambil bersila dan memainkan gambang
kukatakan,
aku bisa lebih buas dari serigala
mengunyah pantat-pantat meriam
juga pantat malam
tuhan mungkin cepat datang
sehingga api lekas padam
tapi saat senja
aku masih dihantui ketakutan
seperti kisah-kisah perempuan bersusu
dengan lubang besar di tubuh
yang mampu menelan segalanya
juga dunia
Surabaya, 2009
Mashuri
maut bukan akhir dari arus laut
tengoklah perkakas-perkakas tubuh
yang ditebas; waktu dijungkir dan luluh
dari segala cakap; saat dibumihangus dari gelap;
tubuh pun diam tanpa dekap ombak, tanpa tonggak
tapi tangan gaib tak pernah raib dari percaturan
zaman masih mempersilakan tamu-tamunya
yang cemerlang tuk bertandang, di ruang, di gigir ruang
gelombang pasang kapan saja bisa datang
tanpa diundang, untuk memenuhi
seluruh tempayan
Surabaya, 2009
Mashuri
sekujur tubuh kami pualam, hitam, tenggelam
di tanah, ketika nafas kami menghirup udara pertama
kami hanya mengenal malam
kami terus berlagu bulan, karena pada bulan, kami tahu
ada yang tersimpan di sana, terpintal di antara cahya
yang lengkung dan lapang, seamsal bunda khayalan
dengan jari-jemari menjahit kantung pelakian
bila gerhana tiba, tanah kami seperti wabah
kami lalu bertalu, merasukkan antan ke lumpang kayu
agar bebunyi bisa menjelma sesaji, memecah ngeri
yang tiba-tiba berenang ke sanubari
serupa bilur luka yang mempertegas duka lama
lewat wastu puja, kami tahu
ada yang raib dan tak lewat pintu
kami seakan terusir dari tanah
dan segala tanda di sepanjang jalan, hanya rambu
yang mengingatkan kami pada pasir hisap
dan ruang bawah tanah, yang gelap
sungguh kami ‘lah dikutuk cinta
purba; sudah bermusim, kami dendangkan madah
merajut kembali ingatan-ingatan jauh
agar jiwa kami yang terbelah kembali utuh
serupa retina Tarub yang tak kunjung redup ketika di angkasa
melingkar purnama
Surabaya, 2010
Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Buku puisinya adalah Jawadwipa 3003 (2003), Pengantin Lumpur (2005), Ngaceng (2007), dan Patigeni (2009). Ia tinggal dan bekerja di Surabaya.
Taufik Ikram Jamil lahir 19 September 1963 di Telukbelitung, Riau. Buku puisinya adalah tersebab haku melayu (1995) dan tersebab aku melayu (2010). Ia mendirikan dan berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau.***
Sumber : Kompas, Minggu, 15 Agustus 2010 | 03:54 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar