RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Selasa, 03 Agustus 2010

PENELITIAN BIOLOGI : Jasa Monyet Ekor Panjang

PENELITIAN BIOLOGI

Jasa Monyet Ekor Panjang

Oleh ARYO WISANGGENI G

Pengidap TBC jangan harap bisa menginjakkan kaki di Pulau Tinjil, Banten. Demi kesehatan sekitar 2.000 ekor monyet ekor panjang penghuni pulau kecil di Kabupaten Pandeglang itu, kunjungan orang sangat dibatasi dan diawasi dengan ketat. Apakah ini model konservasi fasis yang lebih mementingkan satwa daripada manusia?

Semuanya berawal dari kebutuhan para ilmuwan dan kalangan peneliti untuk mendapatkan satwa primata sebagai model uji coba temuan baru mereka, semisal temuan obat malaria. Pada tahun 1980-an jumlah kebutuhan akan satwa ini melonjak seiring cepatnya penemuan penyakit, wabah penyakit, ataupun obat.

Model terbaik

Randall C Kyes, profesor primata dari University of Washington, Amerika Serikat, menuturkan, satwa primata menjadi pilihan model terbaik bagi berbagai uji coba temuan ilmiah. ”Ada banyak hewan yang dijadikan model dalam penelitian, seperti kelinci, babi, dan anjing. Akan tetapi, satwa primata adalah model terbaik karena kedekatan dan kemiripan anatomi dan fisilogisnya dengan manusia,” kata Kyes.

Primata adalah sebutan bangsa mamalia yang meliputi kera, monyet, dan juga manusia. Kera—misalnya orangutan atau simpanse—memiliki anatomi yang lebih mirip dengan manusia karena sebagai primata sama-sama tidak berekor.

”Karena pertimbangan etis, peneliti menghindari penggunaan kera sebagai model penelitian. Sebagai satwa primata berekor, tingkat kemiripan anatomi dan fisiologis monyet sudah sangat ideal dijadikan model penelitian berbagai penemuan terbaru terkait manusia, dan Indonesia adalah gudang keanekaragaman hayati primata, dengan monyet ekor panjang sebagai salah satu jenis monyet berpopulasi terbesar,” kata Kyes.

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang tersebar di Jawa dan Sumatera biasa beranak seekor bayi monyet, dan setiap tahunnya setiap induk bisa melahirkan dua kali. ”Monyet ekor panjang hidup berkelompok, dengan pola sekelompok kecil pejantan bersama-sama sekelompok besar betina, bersama dengan monyet ekor panjang yang belum dewasa. Mereka sangat mudah dibiakkan dan mudah beradaptasi dengan berbagai lingkungan baru,” kata Kyes.

Entang Iskandar, Kepala Divisi Konservasi Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) menyatakan, perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan penelitian yang kian pesat kian melonjakkan permintaan akan monyet ekor panjang. ”Agar kelestarian monyet ekor panjang terjaga, kebutuhan itu harus dipenuhi dengan pembiakan dan penangkaran. Karena itulah, PSSP bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB) meneliti sejumlah pulau kecil untuk dijadikan lokasi penangkaran,” kata Entang.

Kesendirian Pulau Tinjil yang terlindungi gelombang Samudra Hindia menjadikan pulau tak berpenghuni itu merupakan lokasi terbaik untuk membiakkan monyet ekor panjang. Pada 1987 digelar studi kelayakan untuk memastikan daya dukung pulau tak berpenghuni itu. Hasilnya, pulau seluas 600 hektar yang dikelola Perhutani itu dinilai memiliki cukup air, makanan alami, dan daya dukung untuk menjadi lokasi penangkaran.

”Pada 21 Februari 1988 dilepaskan 1 pejantan dan 50 induk betina monyet ekor panjang di Tinjil. Pelepasan monyet indukan di Tinjil dilakukan berkala, dan hingga kini telah ada 61 pejantan dan 542 induk betina monyet ekor panjang yang dilepaskan. Panen monyet ekor panjang pertama kali dilakukan pada tahun 1991, dengan terus memantau populasi di sana. Total monyet ekor panjang yang telah dipanen mencapai lebih dari 2.368 ekor,” kata Entang.

Bebas penyakit

Sebagai model penelitian berbagai penyakit, wabah penyakit, dan penemuan obat baru, monyet ekor panjang yang digunakan haruslah bebas dari penyakit. ”Itu mengapa setiap orang yang akan mengunjungi Tinjil harus di-rontgen, untuk memastikan mereka tidak mengidap TBC. Jika monyet ekor panjang tertular, monyet itu tidak lagi bernilai sebagai hewan model penelitian,” kata Entang.

Warga Muara Binuangeun, Kabupaten Pandeglang, yang menjadi pemasok logistik bagi para peneliti dan penangkar di Pulau Tinjil pun diatur ketat. ”Ada tiga kelompok warga yang beranggotakan sekitar 15 orang secara rutin menjalani permeriksaan rontgen. Mereka itulah warga dan nelayan yang bisa merapat ke Pulau Tinjil, yang juga berjasa mengirimkan logistik sekaligus mengangkut para peneliti yang menuju atau meninggalkan Tinjil,” kata Entang.

Prosedur ketat itu menghasilkan satwa primata bernilai tinggi bagi para peneliti. ”Di kalangan peneliti dunia, monyet ekor panjang Tinjil dikenal sebagai salah satu model uji coba terbaik. Monyet ekor panjang Tinjil berkontribusi penting dalam upaya memahami virus HIV yang menyebabkan AIDS,” kata Keys.

Monyet ekor panjang Tinjil tengah menjadi model untuk penemuan obat demam berdarah terbaru dan vaksin polio. Juga menjadi model bagi para peneliti malaria. Setiap tahun, 200-250 monyet ekor panjang dipanen dari Tinjil, dikirimkan ke para pemesan. Mulai dari perusahaan farmasi, perguruan tinggi seperti IPB sendiri, Universitas Indonesia, atau Universitas Atma Jaya Jakarta, juga University of Washington.

”IPB telah menjalin kerja sama dengan University of Washington, Amerika Serikat, sejak lama untuk mengembangkan Pusat Studi Satwa Primata IPB, dan hingga kini University of Washington menjadi salah satu pengguna monyet ekor panjang Tinjil. Semua ekspor dilakukan secara resmi, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” kata Entang.

Kini, monyet ekor panjang Tinjil melanjutkan jasanya menjadi model penelitian obesitas (kegemukan) dan osteoporosis (penyakit tulang akibat penuaan).

”Itu sumbangsih Indonesia bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai penemuan,” kata Keys. Sepantasnya kita juga berterima kasih atas sumbangsih para monyet itu. Terima kasih monyet ekor panjang.***

Sumber : Kompas, Senin, 2 Agustus 2010 | 03:57 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar