Menjadi Pemimpin
Oleh KRISTI POERWANDARI, PSIKOLOG
Kelangkaan pemimpin
Di usia Republik yang 65 tahun, percakapan kita akhir-akhir ini banyak diisi kekecewaan mengenai berbagai persoalan yang tak terselesaikan, dan makin bertambah saja. Sumber masalahnya tentu banyak sekali, tetapi salah satu yang terpenting tampaknya adalah persoalan pemimpin.
Karena merasa heran dan tertekan mengenai situasi Indonesia dan fenomena ”pemimpin” ini, saya membaca buku Leadership Secrets of the World’s Most Successful CEOs’ tulisan Eric Yaverbaum (2006) yang diisi oleh padatan wawancaranya kepada 100 eksekutif top dunia. Saya langsung jatuh pada halaman 175 (saya terjemahkan bebas):
”Salah satu yang paling awal saya pelajari mengenai kepemimpinan adalah melangkah lebih jauh dan melampaui isu ’memberi perintah’ dan pengendalian. Itu malah jadi resep untuk terjadinya bencana.”
Pembelajaran konteks kita: jika bicara soal kekuasaan, perilaku ”berkuasa” atau ”menuntut kekuasaan”, tampaknya Indonesia sangat berkelebihan pemimpin.
Di halaman lain ada beberapa kata kunci: ”pemimpin itu membongkar status quo”; ”tak pernah membiarkan situasi tak terkendali”; ”menelaah ulang praktik-praktik yang ada”; ”berani mengambil sikap dan putusan tegas”; ”memberi rasa aman”, serta ”memiliki (dan membagikan) visi dan nilai-nilai jelas yang memberi arah”.
Tentang ini baru saya mengerti, meski kita berkelebihan pemimpin, kita juga mengalami kelangkaan akan pemimpin. Sangat sulit menemukan pemimpin di lingkungan kita yang menunjukkan karakteristik kunci di atas, malah yang terjadi sebaliknya. Kita dibiarkan kehilangan kepercayaan dan rasa aman karena sistem perkoncoan untuk mempertahankan kekuasaan, gas mbledug yang menimbulkan kematian, kecacatan, kehancuran tempat tinggal, dan kehancuran hidup.
Ada pula (mantan) pejabat yang naif divonis korupsi, sementara banyak penyeleweng kekuasaan makin mantap posisinya. Yang paling menakutkan: apabila pemimpin kehilangan keberanian malah dikooptasi dan bekerja sama dengan kelompok-kelompok intimidatif yang melanggar hukum.
Pemimpin yang amanah
Definisi saya mengenai pemimpin adalah sosok yang kuat ”visi kebangsaan” (untuk tingkat negara) atau setidaknya kuat ”visi kelembagaan” (untuk level lembaga) sehingga jelas kita dituntun oleh visi tersebut dan mampu menuntun orang-orang lain dengan visi tersebut.
Pemimpin yang tidak berdiri di atas semua golongan, menggunakan sistem kekeluargaan dan perkoncoan, serta sibuk dengan ambisi pribadi akan menghancurkan lembaga yang dipimpinnya sendiri. Para pemimpin yang diwawancara Yaverbaum bicara soal ”integritas”, dapat dipercaya, jujur, dan terbuka. Jika perlu bicara terbuka mengenai berita yang tidak baik, justru agar anak buah tetap dapat mempertahankan kepercayaan, memiliki pengendalian atas diri sendiri dan lingkungan, mampu berencana, serta bersedia memberikan dukungan untuk mengatasi persoalan sulit bersama-sama.
Tentang integritas, yang kemudian paling sering disinggung adalah lead by example, melakukan apa yang diomongkan, memberi contoh hidup dan keteladanan mengenai apa pun hingga hal terkecil. Pemimpin yang sibuk memberi petuah dan bicara hal-hal baik, tetapi tidak melakukan apa yang diomongkannya (mohon maaf) dapat menimbulkan rasa muak pada anak buahnya. Akibatnya, anak buah jadi tidak peduli dan apatis, sibuk menyelamatkan diri masing-masing.
Dampak lebih makro dan berjangka panjang adalah bahwa kekuatan kebangsaan atau kelembagaan tergerogoti, dan tanpa kita sadari rumah yang kita tempati ternyata telah nyaris rubuh karena dimakan jutaan rayap. Ketika kita terkaget dan ingin melakukan pembenahan, kita gemetar karena telanjur berdiri di ujung jurang, dan tidak dapat kembali.
Persoalan telah demikian ribet seperti permainan jaring laba-laba yang sering kami latihkan ketika bicara soal kemiskinan dan isu perempuan: jauh lebih mudah dan sangat cepat untuk menciptakan masalah, tetapi sangat sulit dan butuh waktu sangat lama untuk menguraikan solusinya.
Memimpin diri sendiri
Kita berkelebihan pemimpin (maaf, yang buruk) dan sangat langka pemimpin (yang baik). Agar kita—apalagi yang merasa berpendidikan dan ada di kelompok kelas menengah—tidak menambahi persoalan bangsa dengan hanya sibuk mengeluh dan menuntut, mungkin kita perlu selalu ingat untuk bicara soal pemimpin ini tidak saja mengenai orang lain, tetapi juga mengenai diri sendiri.
Lagipula, satu-satunya cara untuk tetap dapat mengembangkan visi positif di tengah inflasi pemimpin yang buruk adalah jika kita yakin bahwa masih ada (calon) pemimpin-pemimpin yang amanah di lingkungan kita. Jika kita menunggu atau menuntut orang lain saja untuk jadi pemimpin yang baik, tampaknya kita tidak memberi nilai tambah apa-apa, baik terhadap diri sendiri apalagi pada lingkungan.
Saat saya bertanya tentang ”memimpin diri sendiri”, seorang bawahan saya menjawab ”menjadi pemimpin bagi diri sendiri sangat sulit mengingat kebiasaan kita sebagai anak buah yang bekerja atas perintah atasan dan kadang hanya bekerja (sungguh-sungguh) jika ada atasan (agar dinilai baik)”. Saya jadi mulai berkaca dan bertanya-tanya kepada diri sendiri: ”Apakah aku telah berbuat jujur, tidak mengutamakan kepentinganku sendiri, tidak asal pemimpin senang, berani mengatakan kebenaran, memiliki integritas dan paham amanah yang ku emban?”
Kita sangat merindukan pemimpin yang amanah. Semoga kita tetap dapat berpikir positif, bertindak positif, dan menjadi pemimpin yang amanah bagi diri sendiri dan dalam lingkup ”kekuasaan” yang dititipkan pada kita.***
Sumber : Kompas, Minggu, 15 Agustus 2010 | 03:46 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar