Herma (21), mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menyumbangkan darahnya di Kantor PMI, Kramat Raya, Jakarta, Kamis (10/6). Aksi menyumbangkan darah bukan hanya menolong sesama, melainkan juga menyehatkan tubuh sang donor. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)***
DONOR
Tetes Darah untuk Napas Kehidupan Orang Lain
Labirin gang-gang sempit di kawasan Matraman, Jakarta Pusat, itu akhirnya berujung juga di sebuah rumah kecil semipermanen beratap rendah. Sebagian atap rumah tua itu berlubang dan dalam perbaikan. Partikel debu tampak melayang-layang di dalam ruangan lantaran tertimpa sinar matahari pagi yang menerobos masuk.
Suwandi (53) tertatih-tatih menuju ruang tamu didampingi istrinya, Siti Rohmah (42). Dia mengucapkan salam dengan suara terpatah-patah dan menyorongkan tangannya yang bergetar. Suwandi pun bersusah payah duduk. ”Setahun lalu, bapak terkena stroke. Separuh badannya sempat lumpuh,” ujar Siti Rohmah.
Stroke itu pula yang menyebabkan pria tersebut untuk sementara berhenti mendermakan darahnya. Selama tiga puluh tahun lebih, atau setidaknya seratus kali, Suwandi menyumbangkan darahnya.
Suwanndi menyumbangkan darahnya pertama kali dilakukan akhir tahun 1970-an. Dengan setia, dia berangkat ke Kantor Palang Merah Indonesia Jakarta menyumbangkan darahnya tiga atau empat bulan sekali. Pernah suatu kali
Suwandi dihubungi pihak Palang Merah Indonesia (PMI) pukul 01.00 lantaran ada yang mendadak membutuhkan darah golongan B. Stok darah sedang kosong.
Tanpa pikir panjang, Suwandi berangkat ke PMI untuk diambil darahnya.
Seorang tetangganya juga terselamatkan jiwanya berkat darah Suwandi. ”Acih harus operasi miom [tumor jinak dinding rahim] dan butuh darah. Suami saya ke PMI supaya Acih bisa dapat darahnya,” kata Siti.
Hanya tetes darah
Harta benda tidak selalu menjadi ukuran untuk dapat menolong orang lain. Suwandi tidak mempunyai materi apa pun untuk disumbangkan. Yang ada hanya tetes darahnya.
Pendapatan Suwandi selama lebih dari 30 tahun menjadi sopir bus metromini ”cabutan” selalu habis untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan ketiga anaknya. Seorang anak Suwandi sudah lulus SMA dan bekerja sebagai office boy, seorang masih di SMK, dan si bungsu di kelas V SD. Istrinya bekerja sebagai baby sitter atau
mengurus rumah orang sesekali.
”Saya ingin menolong orang lain dengan [menjadi] donor darah,” ujarnya pelan.
Nurdin, warga Kebon Sirih, juga beramal dengan menyumbang darah. ”Satu tetes darah sangat berarti bagi yang membutuhkan,” ujarnya ketika ditemui sedang mangkal menunggu penumpang ojek di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Menemukan pangkalan tempat Nurdin bekerja lebih mudah ketimbang mencari rumahnya yang tersempil di gang-gang ”tikus” Kebon Sirih Barat.
Pria itu tercatat 122 kali ke Kantor PMI Jakarta mendermakan darahnya. Ia menyumbangkan darahnya pertama kali pada 23 April 1962. Apalagi, menurut Nurdin, menyumbangkan darah tidak berefek samping dan justru bermanfaat bagi kesehatan. ”Biar darahnya baru terus,” ujarnya.
Keinginan membantu sesama pula yang mendorong Ohim, warga Kebon Kosong, Kemayoran, menyumbangkan darah. ”Orang butuh darah itu urusannya hidup dan mati, paling enggak saya bisa bantu hidup orang,” kata Ohim yang lebih dari 100 kali menjadi donor itu.
Kesetiaan para donor itu berbuah penghargaan Satyalancana Kebaktian Sosial dan cincin emas seberat lima gram dari pemerintah. Di tengah kehidupan yang berat, cincin itu hanya dimiliki sesaat.
Cincin Suwandi, kini tersimpan di Pegadaian lantaran keluarga itu membutuhkan dana untuk pengobatan Suwandi. Cincin Nurdin pun berpindah tangan. Hasil penjualan untuk membeli televisi 14 inci sebagai pengganti televisi lama yang dijual guna biaya masuk sekolah anak. ”Sisanya, bayar utang di warung dan biaya sekolah,” ujarnya.
Cerita Ohim pun serupa. Cincin segera dijualnya untuk biaya kehidupan. Sejak lama, Ohim menganggur dan bekerja serabutan. Uang hasil penjualan cincin sudah habis, tetapi mereka tetap rutin menjadi donor dengan semangat.
Darah masih kurang
Sumbangan darah mereka dan banyak donor lain yang telah diskirining agar tidak mengandung penyakit itu telah memberikan kesempatan hidup.
Tiap tetes darah sangatlah berarti bagi penderita talasemia, ibu melahirkan yang mengalami perdarahan, korban kecelakaan, pasien cuci darah, dan penderita gangguan darah lainnya. Sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ketersediaan darah setidaknya 2 persen dari jumlah penduduk atau empat juta kantong darah untuk Indonesia.
”PMI baru mengumpulkan dua juta kantong darah,” ujar Kepala Subdivisi Hubungan Masyarakat PMI Ria Thahir.
Semakin banyak donor, semakin bertambah pula jiwa yang bisa tertolong. PMI dalam waktu dekat akan mendirikan 100 gerai di keramaian dan kampus guna mendekatkan pelayanan bagi penderma darah.
Suwandi harus menunggu pulih agar dapat menjadi donor kembali. Harapan Suwandi, ada orang lain yang tergerak mengisi tempatnya. (INDIRA PERMANASARI)***
Sumber : Kompas, Jumat, 11 Juni 2010 | 04:16 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar