RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Rabu, 09 Juni 2010

Diplomasi Tetap Jadi Salah Satu Solusi Konflik Israel-Palestina

Perlu Napas yang Panjang

Diplomasi Tetap Jadi Salah Satu Solusi Konflik Israel-Palestina

JAKARTA - Penyerangan terhadap para aktivis perdamaian untuk Jalur Gaza, Israel menyebut mereka aktivis terkait Hamas, menguakkan persoalan klasik Israel-Palestina. Persoalan itu adalah ketidakrelaan hidup berdampingan secara damai di lahan yang sama-sama diklaim.

Misi para aktivis adalah memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga di Jalur Gaza, yang mengalami blokade darat, udara, dan laut sejak tahun 2006. Hamas, penguasa Jalur Gaza, sering menyerang Israel dengan roket-roket. Israel juga membalas dengan serangan militer yang ”keterlaluan”.

Tidak hanya itu. Israel menyumbat akses persenjataan ke Jalur Gaza dengan blokade. Aksi ini mengundang simpati para relawan dunia, termasuk dari Amerika Serikat, untuk melakukan perjalanan ke Jalur Gaza walau diserang dan menghebohkan dunia.

Krisis terakhir ini hanya bagian kecil dari sejarah panjang pertikaian Israel-Palestina, yang menguras emosi, sensitivitas, dan sering fatal. Belum ada pihak yang bisa memberikan solusi bagaimana krisis harus diakhiri. Presiden AS Barack Obama dengan janji era baru di Timur Tengah tak juga mampu mengatasi konflik alot, untuk tidak mengatakan abadi.

Akar persoalan bisa dikatakan semakin menonjol semenjak zionisme mencanangkan pendirian negara Israel. Gerakan zionisme berasal dari kata zion (sion), yang berarti Jerusalem. Kata sion berakar pada benak Yahudi diaspora, merujuk ”kerinduan” ke Tanah Terjanji.

Derita Yahudi diaspora melahirkan zionisme politik, dengan salah satu tokoh utama Theodore Herzl. Zionisme politik mendambakan negara Israel, dengan pilihan wilayah di Afrika utara bahkan Argentina. Namun, dominasi zionisme politik memutuskan Palestina sebagai lokasi Israel. Ide Theodore Burnbaum, tokoh zionis yang menolak berdirinya negara Israel, pudar di tengah arus utama zionisme politik.

Deretan panjang aksi bentrokan makin mencuat setelah Deklarasi Balfour dinyatakan Inggris pada 2 November 1917. Deklarasi yang mengambil nama Arthur James Balfour, mantan Menteri Luar Negeri Inggris, ditentang keras Arab dan juga oleh sebagian parlemen Inggris dengan suara 60-29. Lewat deklarasi itu, Inggris menyatakan secara resmi kesediaan menyetujui berdirinya negara Israel.

Deklarasi itu menjadi salah satu pijakan utama berdirinya Israel sekaligus awal prahara, yang penganut altruisme Muslim, Kristen, Yahudi pun tak berdaya mengatasinya. Paus Benediktus XVI kembali menekankan pentingnya hak hidup bagi Yahudi dan Arab Palestina di tanah Israel-Palestina. Seruan ini belum terwujud.

Perang yang menjadi berita atau perang berskala kecil, tetapi rutin terus terjadi di antara dua kubu, yang sama-sama merupakan keturunan Nabi Ibrahim. Ada banyak konflik yang berlangsung lama, tetapi tidak sepelik prahara Israel-Palestina, dan yang sering menyeret sentimen kepercayaan masing-masing, meski kepercayaan itu mendambakan hal sama, perdamaian.

Serangan berbalasan

Ada banyak perundingan damai yang dicoba dilakukan, tetapi tidak juga menghasilkan perdamaian. Tidak sedikit yang mencoba melakukan terobosan. Folke Count Bernadotte, keponakan Raja Swedia, Gustav V, pernah ditunjuk pada 1948 oleh Dewan Keamanan PBB sebagai mediator. Namun, ia kemudian dibunuh ekstremis Yahudi karena salah satu usulannya, yakni hak untuk kembali pengungsi Palestina yang tergusur dari wilayah yang kini menjadi Israel.

Terus bermunculan upaya perdamaian untuk gugur lagi, dan melahirkan kembali serangan berbalasan, seimbang atau tak seimbang. Konflik ini bahkan telah menelan korban, tidak saja di pihak Palestina, tetapi juga PM Israel Yitzhak Rabin yang tewas di tangan seorang ekstremis Yahudi.

Setelah penyerangan terhadap kapal perdamaian, Senin pekan lalu, kecaman dunia bermunculan. Kecaman tidak kunjung mengubah sikap Israel. Sebuah kapal bernama Rachel Corrie juga kembali diciduk oleh tentara Israel, Sabtu, dan dibawa ke Pelabuhan Ashdod di Israel. Tidak tanggung-tanggung, kapal itu diikuti oleh Mairead Corrigan, peraih Hadiah Nobel Perdamaian 1976 atas jasanya untuk upaya perdamaian Katolik dan Protestan di Irlandia Utara. PM Benjamin Netanyahu mengatakan, Israel akan memblokir setiap kapal asing menuju Jalur Gaza.

Pemimpin Hamas di Jalur Gaza Ismail Haniyah, setelah serangan itu, kembali menyuarakan kesediaan mengakui Israel dengan syarat Israel kembali ke perbatasan 1967. Israel bertahan dengan posisi Jerusalem harus dikuasai total, padahal Jerusalem ada di luar perbatasan 1967. Tidak ada sikap yang beranjak dari posisi itu.

Ada sinyal kesediaan AS mencari solusi atas krisis itu. Sejumlah pejabat AS kepada New York Times dan The Washington Post mengungkapkan, AS berencana menekan Israel agar mengizinkan lebih banyak lagi komoditas masuk ke Jalur Gaza. ”Kita harus menemukan solusi untuk pencabutan blokade,” kata Menteri Sosial Israel Isaac Hertzog, dari Partai Buruh. PM Israel Benjamin Netanyahu mulai berpikir meringankan blokade laut atas Jalur Gaza.

Namun, blokade ini hanya salah satu masalah. Masalah utama adalah kesepakatan perbatasan final Israel-Palestina, yang masih jauh dari titik terang dan dengan mudah membangkitkan amarah.

Mantan PM Inggris Tony Blair dan Obama mengatakan, situasi di Timur Tengah tidak bisa dipertahankan. Keduanya mengatakan, negosiasi menuju perdamaian adalah langkah penting.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali menegaskan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mendorong langkah-langkah diplomasi. Presiden menyampaikan hal itu ketika membuka Musabaqah Tilawatil Quran Nasional (MTQN) XXIII di Bengkulu, Sabtu (5/6) malam.

Sekretaris Jenderal Konferensi Internasional Cendekiawan Islam (International Conference of Islamic Scholar/ICIS) KH A Hasyim Muzadi mengatakan, upaya perdamaian tetap menjadi pilihan. Indonesia memiliki kesempatan menengahi konflik, salah satunya dengan memanfaatkan hubungan AS-Indonesia, untuk ”menjinakkan” Israel.

Guru Besar Ilmu Sejarah Pemikiran Islam, Fakultas Adab, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Abdul A’la yang pernah berkunjung ke Israel akhir 2007 mengatakan ada banyak warga Yahudi di Israel yang menentang keras kekerasan yang dilakukan pemerintahnya. Mereka berjuang untuk mewujudkan perdamaian.

Tidak mudah untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan napas yang panjang. (DAY/MON/MTH/MZW/Kompas)***

Sumber : Kompas, Senin, 7 Juni 2010 | 06:27 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar