PIALA DUNIA
"Quo Vadis" Nasionalisme Afrika Selatan
Oleh AZYUMARDI AZRA
”Football has developed quickly in many countries because it used to be part of the politics of the pursuit of power and the ideologies it serves. Rapidly, it became the expression of nationalism, patriotism and chauvinism, even before the international federations were established. (Hendrik Hegedus, ‘Football versus Nationalism’, 12 September 2008).
Sepak bola seperti kutipan di atas sering terkait dengan nasionalisme, tidak terkecuali dengan tim sepak bola Afrika Selatan, penyelenggara Piala Dunia 2010. Lebih jauh, jika tim sepak bolanya berjaya dan sekaligus berhasil menyelenggarakan Piala Dunia dengan sukses, diharapkan dapat menggalang kepaduan nasionalisme Afrika Selatan yang selama berabad-abad pernah terpilah-pilah dalam politik apartheid.
Jika nasionalisme merupakan semangat bernyala- nyala menjayakan negara-bangsa, kenapa di tengah berlangsungnya Piala Dunia berbagai bentuk kekerasan yang mencemarkan nama negara-bangsa ini terus berlangsung di sejumlah tempat di Afrika Selatan. Quo vadis—mau ke mana—nasionalisme negara-bangsa ini?
Pencemaran nasionalisme Afrika Selatan ini dapat dilihat, misalnya, mulai dari pencurian barang-barang milik tim sepak bola tertentu di hotel, kekerasan antara petugas keamanan dan buruh yang belum dibayar di dekat Stadion Durban, sampai pada pemogokan massal para pekerja di beberapa tempat di Afrika Selatan di tengah sorak-sorai pertandingan.
Kontradiksi
Semua fenomena ini membuat orang bertanya-tanya tentang relevansi Piala Dunia 2010 dengan nasionalisme Afrika Selatan. Apa yang terjadi menunjukkan kontradiksi. Ketika legenda hidup Afrika Selatan, Nelson Mandela, memperjuangkan Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, maksudnya tidak lain agar peristiwa akbar sepak bola dunia ini dapat memperkuat nasionalisme Afrika Selatan pasca-apartheid yang masih rapuh.
Tak ragu lagi, Mandela memiliki peran khusus dalam menggalang nasionalisme bangsa Afrika Selatan melalui ajang olahraga dunia. Ini terlihat jelas ketika ia membangkitkan semangat para pemain rugbi Afrika Selatan yang hampir seluruhnya kulit putih dalam Piala Dunia Rugbi 1995 yang juga diselenggarakan di Afrika Selatan.
Menonton film Invictus yang dirilis menjelang Piala Dunia 2010, saya menyaksikan bagaimana Mandela mengubah sikap mental para pemain kulit putih yang semula ”ogah-ogahan” berjuang demi Afrika Selatan yang baru saja (1994) dipimpin seorang Presiden kulit hitam, mereka kemudian bermain mati-matian dalam pertandingan final dengan mengalahkan tim rugbi Selandia Baru, yang merupakan favorit memenangi Piala Dunia Rugbi 1995.
Akan tetapi, kini dalam Piala Dunia Sepak Bola 2010, Mandela telah sepuh dan renta. Laki-laki yang sering mengenakan kemeja batik lengan panjang ini tidak lagi bisa terlibat langsung menyemangati para pemain tim sepak bola Afrika Selatan yang hampir sepenuhnya kulit hitam.
Bahkan, Mandela tidak bisa hadir langsung menyaksikan acara pembukaan dan pertandingan pertama sepak bola antara tim tuan rumah Afrika Selatan dan Meksiko karena seorang cucunya tewas dalam kecelakaan lalu lintas.
Tak kurang pentingnya, Mandela kini tidak juga bisa lagi aktif turun langsung ke publik Afrika Selatan untuk menyadarkan mereka tentang makna Piala Dunia 2010 bagi negara-bangsa ini. Karena itu, terdapat kalangan warga Afrika Selatan yang tetap tidak melihat kaitan antara Piala Dunia 2010 dan ”nation” (bangsa), ”nationhood” (kebangsaan), ”nationalism” (nasionalisme), dan ”nation-state” (negara-bangsa) Afrika Selatan.
Bagi warga kulit putih, tim sepak bola Afrika Selatan adalah simbol kejayaan kulit hitam dengan mengorbankan kulit putih. Sementara bagi banyak warga kulit hitam yang miskin, menganggur, dan hidup di township, lingkungan kumuh, Piala Dunia 2010 di negeri mereka sendiri menjadi indikasi bahwa pemerintah lebih mementingkan proyek mercu suar miliaran dolar daripada memperbaiki nasib mereka ini.
Utopia
Dalam bacaan saya, nasionalisme Afrika Selatan bukan semakin menguat, tidak juga melalui Piala Dunia Sepak Bola 2010. Meminjam kerangka Ben Anderson dalam magnum opus- nya, Imagined Societies: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (1983; 1991), nasionalisme Afrika Selatan masih tetap berada pada tahap ”terimajinasi”—terbayangkan belaka. Nasionalisme negara ini belum lagi mengambil bentuk yang bisa diterima semua elemen bangsa, sebaliknya kian terbelah ke dalam nasionalisme sempit yang bukan tidak terkait dengan warna kulit.
Rivalitas antarwarga dengan warna kulit berbeda masih bertahan dan bahkan meningkat. Kekayaan alam Afrika Selatan yang melimpah ternyata belum juga mengangkat kesejahteraan warga kulit hitam. Konglomerat kulit putih masih menguasai sumber alam, seperti platinum (90 persen cadangan dunia), mangan (80 persen), krom (70 persen), emas (41 persen); belum lagi intan dan uranium.
Afrika Selatan juga terkenal sebagai negara pertanian dengan produksi bahan pangan yang sekitar 8 persen diekspor ke negara-negara lain. Namun, lagi-lagi sebagian besar lahan pertanian dan perkebunan dikuasai tuan- tuan tanah kulit putih, sementara warga kulit hitam lebih banyak menjadi buruh tani belaka.
Bertolak belakang
Dengan sumber-sumber ekonomi yang masih berada di tangan warga kulit putih, tidak heran kalau gaya hidup kedua puak ini terlihat bertolak belakang. Jika banyak warga kulit putih tinggal di enklave, perumahan eksklusif mewah model Pondok Indah dan Pantai Indah Kapuk, sebaliknya makin banyak warga kulit hitam tinggal di township yang kumuh, pengap, dan berdesak-desak.
Karena realitas timpang ini, tuntutan warga kulit hitam untuk nasionalisasi aset-aset pertambangan dan pertanian kian nyaring dan menjadi isu politik panas. Akibatnya, banyak kalangan khawatir kalau Afrika Selatan menjadi Zimbabwe kedua, yang mengambilalih semua aset warga kulit putih.
Mempertimbangkan semua realitas ini memang sulit berharap Piala Dunia 2010 dapat menjadi jembatan bagi terbentuknya nasionalisme Afrika Selatan yang viable—mampu bertahan.
Dan, keadaan pasti menjadi lebih jelek lagi jika tim sepak bola Afrika Selatan akhirnya hanya mampu jadi penonton di tengah gegap gempita tim-tim lain.
Azyumardi Azra.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN),
Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Penggemar Sepak Bola
Sumber : Kompas, Rabu, 23 Juni 2010 | 04:47 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar