KEMELUT INTERNASIONAL
Mengapa Israel Sulit Ditekan?
Salah seorang penasihat politik PM Turki Recep Tayyip Erdogan—dalam wawancara dengan televisi satelit Al Jazeera beberapa hari lalu—mengatakan, dia sama sekali tidak menduga kalau Israel akan bertindak brutal dalam menghadapi Flotilla Gaza yang hanya membawa bantuan kemanusiaan.
Dia menambahkan, jika Israel bisa sangat brutal terhadap Turki, negara Islam pertama yang mengakui negara Israel tahun 1949, bagaimana pula perilaku Israel atas negara lain yang tak memberi jasa apa pun terhadap Israel.
Mengapa Israel berani?
Setidaknya ada tiga faktor mengapa Israel berani bersikap brutal dan tak gentar atas tekanan dunia.
Pertama, Israel secara psikologis merasa sebagai negara di atas hukum.
Sekjen Liga Arab Amr Moussa dalam sebuah forum pertemuan ekonomi di Doha, Qatar, awal Juni ini, mengatakan, ”Israel selalu berani berbuat semena-mena karena Israel secara psikologis sudah merasa sebagai negara di atas hukum, di mana semua tindakannya sepanjang sejarah tidak pernah mendapat sanksi, bahkan selalu memperoleh perlindungan dari adidaya, AS.”
PM Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut Israel sebagai negara tiran sehingga bisa berbuat semaunya tanpa bisa dicegah.
Bothaina Shaaban, penasihat urusan pers untuk Presiden Suriah Bashar al-Assad, mengatakan, sangat naif bagi Barat memperlihatkan sikap lemah dan bahkan mengambil sikap membisu terhadap serangan militer Israel terhadap kapal kemanusiaan Gaza. Ia menuduh telah terbangun secara rapi konspirasi Barat-Israel.
Shaaban menyatakan, tuntutan Barat agar dibentuk komite penyidik independen hanya dagelan politik. Komite itu tidak akan bekerja sebaik sebuah komite, yang dipimpin mantan jaksa Afrika Selatan, Richard Goldstone, tentang kejahatan perang Israel di Jalur Gaza.
Ia menegaskan, jika komite yang dipimpin Goldstone berakhir tanpa kabar, bisa digambarkan komite penyidik Flotilla Gaza, bila dibentuk, berakhir serupa. Menurut dia, komite penyidik apa pun yang akan dibentuk tidak akan pernah sampai ke DK PBB yang bisa menjatuhkan sanksi atas Israel karena tindakan itu akan diveto AS.
Kedua, adalah faktor komposisi koalisi pemerintah PM Israel Benjamin Netanyahu, saat ini yang notabene dari kubu agama dan nasionalis radikal. Komposisi koalisi pemerintahan Israel saat ini tidak hanya menolak terciptanya perdamaian, tetapi juga berpotensi menimbulkan kekerasan. Aksi kekerasan terhadap armada kapal misi kemanusiaan Gaza itu tidak terlepas dari komposisi koalisi pemerintah Netanyahu itu.
Bandingkan dengan koalisi pemerintah kubu tengah pimpinan PM Ehud Olmert, yang pernah mengizinkan kapal misi kemanusiaan mencapai Jalur Gaza. Kebijakan Olmert itu ternyata menguntungkan semua pihak, baik Israel maupun kapal kemanusiaan itu.
Pendekatan keamanan
Ketiga, faktor ideologi soal keamanan yang dianut sejak Israel berdiri tahun 1948. Ada dua pendekatan keamanan yang jadi acuan Israel. Pertama, pendekatan keamanan terhadap Palestina. Kedua, pendekatan keamanan terhadap musuh-musuh lebih luas di Timur Tengah, seperti Iran, Suriah, Hezbollah, dan Hamas.
Pendekatan keamanan Israel terhadap Palestina sudah jelas. Sejak bergulirnya gerakan Zionisme, Israel selalu berusaha menekuk Palestina dan mengusirnya dari tanah yang diklaim Israel milik nenek moyangnya.
Pascaperang 1967, Israel dengan dalih keamanan segera menggerakkan proyek permukiman Yahudi di seantero Palestina dan terus berlanjut di berbagai pemerintahan Israel.
Dalam upaya ekspansi, Israel selalu berusaha menghindari perundingan serius dengan Palestina. Bagi Israel, keberhasilan perundingan tergantung pada pemberian konsesi tanah kepada Palestina.
Serangan militer Israel terhadap misi kemanusiaan Gaza, 31 Mei lalu, merupakan upaya Israel menggagalkan perundingan tidak langsung yang sedang berjalan. Jika Presiden Mahmoud Abbas membekukan perundingan tidak langsung, yang digalang utusan khusus AS George Mitchell, berarti Abbas masuk skenario Israel. Kubu garis keras Israel memiliki kepentingan, yaitu macetnya perundingan damai.
Pendekatan keamanan Israel di Timur Tengah sudah dirancang David Ben Gurion sebelum negara Israel berdiri tahun 1948. Ben Gurion kemudian menjadi PM pertama negara Israel.
Pendekatan keamanan Israel di tengah musuh-musuhnya di Timur Tengah itu adalah Israel harus unggul secara militer dan tidak boleh terlihat lemah, ragu menggunakan kekuatan militer menghadapi segala ancaman, termasuk aktivis perdamaian pro-Palestina tak bersenjata.
Koalisi Pemerintah Israel saat ini berintikan kubu garis keras. Serangan terhadap misi kemanusiaan Gaza adalah salah satu korbannya. Di antara korban serangan itu, termasuk relawan Indonesia, diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (8/6) di kantornya, bukan di Istana Negara, Jakarta. (mth/Kompas)***
Sumber : Kompas, Kamis, 10 Juni 2010 | 05:06 WIB
Ada 8 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
dani @ Jumat, 11 Juni 2010 | 00:01 WIB
no comment
zato 2 @ Kamis, 10 Juni 2010 | 19:40 WIB
sertifikat tanah itu ditandatangani oleh TUHAN. dont play play = artinya bebas ambil tanah tetangga dunk...hahaha
Adi @ Kamis, 10 Juni 2010 | 18:59 WIB
Dari berdirinya Israel klaim yang digunakan adalah klaim agama bagaimana mungkin kita bisa membahas masalah Israel-Palestina tanpa melibatkan isu agama.
bagus multitalent @ Kamis, 10 Juni 2010 | 15:16 WIB
makanya punya anak satu aja, biar bumi ga cepet penuh, !!! agama kok dijadikan alasan kepentingan politis etnis tertentu !!! salaman dunk, hidup campur, kawin
vin @ Kamis, 10 Juni 2010 | 14:52 WIB
Mending jangan bawa-bawa nama Tuhan ke masalah ini deh, buat tambah ribet aja. Ini masalah kemanusiaan bukan masalah agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar