DARAH TIANANMEN
Membawa Bangsa Menyeberangi Modernisasi Kolonial
Oleh RENÉ L PATTIRADJAWANE
Menyaksikan darah, menghirup bau daging manusia terbakar, dan membawa mahasiswi korban luka tembak ke rumah sakit masih tetap membayangi setelah 22 tahun peristiwa berdarah Tiananmen 1989 dengan korban yang masih belum diketahui secara pasti jumlahnya.
Sampai hari ini, tidak banyak keluarga China berupaya untuk mencari tahu nasib korban tewas di Lapangan Tiananmen. Dan sampai hari ini juga, tidak ada orang lagi yang tertarik untuk membahas peristiwa berdarah itu, apalagi melakukan unjuk rasa menuntut pertanggungjawaban penguasa yang silih berganti.
Mahasiswi yang tertembak di leher yang dibawa Kompas ke rumah sakit sampai sekarang pun tidak jelas nasibnya. Pihak rumah sakit di kawasan Wangfujing di belakang Lapangan Tiananmen juga tidak pernah mau membahas korban-korban yang berjatuhan, 3-4 Juni 1989. Wangfujing pun sudah jauh berubah menjadi kawasan pertokoan modern, merobohkan bangunan-bangunan kaku arsitektur monolit komunisme ala Rusia.
Harian ini ingin merenung kembali peristiwa 22 tahun lalu, memaknai apa yang telah dihasilkan dari darah-darah anak manusia Tionghoa yang tercecer di Lapangan Tiananmen bagi modernisasi dan reformasi pembangunan China. Termasuk, inspirasi yang dilahirkan merontokkan rezim komunisme di berbagai penjuru dunia, kecuali di RRC sendiri.
Selama dua dekade ini, pikiran pun terbawa pada sebuah titik yang menghadirkan kesadaran bahwa tidak ada ceteris paribus yang bisa diberlakukan di daratan China dalam segala bidang. Kemajuan ekonomi, tumbuhnya kelas menengah, maraknya perdagangan, meningkatnya cadangan devisa, dan segala potensi positif tidak serta-merta menghadirkan perubahan yang diharapkan dunia.
China tidak menjadi demokratis. Partai Komunis China (PKC) tidak ikut terguling seperti di Uni Soviet lama atau negara-negara Eropa Timur yang menandai berakhirnya Perang Dingin. China tumbuh dan berkembang asimetris, tidak seperti yang diharapkan oleh negara maju dan juga tidak menjadi negara berkembang dalam persaingan globalisasi.
Kelompok intelektual
China menjadi sebuah kekuatan asimetris di berbagai bidang, termasuk ekonomi, perdagangan, keamanan, dan politik yang terus diperdebatkan dan dianalisa di mana-mana. Dalam konteks ini kita ingin melihat ulang apa yang dihasilkan oleh orang-orang Tionghoa ketika mereka menebar darah di Lapangan Tiananmen 1989.
Kita pun melihat adanya satu faktor yang tidak tertangkap oleh Christianto Wibisono, Chairman Global Nexus Institute, ketika menulis ”Tampaksiring versus Beijing” memperdebatkan perbedaan pembangunan dalam apa yang disebut sebagai Konsensus Washington dan Konsensus Beijing, tentang model pembangunan melalui sistem demokrasi seperti yang sedang terjadi di Indonesia (lihat Kompas 14/5).
Faktor tersebut adalah hubungan antara kelompok intelektual dan penguasa, sebuah warisan ribuan tahun dari masa Konfusius, Mencius, Laozi, dan para pemikir China tradisional lain dalam konteks hubungannya dengan kekaisaran penguasa berbagai dinasti. Sejarah China penuh dengan konteks hubungan intelektual-penguasa yang silih berganti, dan terus bertahan sampai sekarang.
Konteks intelektual-penguasa ini pun masih ditambah dengan dimensi kebudayaan yang mampu membawa China melalui sebuah tahapan transisi yang mempertahankan sendi-sendi ketionghoaan, baik itu peralihan dinasti, perubahan strategis desakan demokrasi di tengah transisi reformasi dan keterbukaan (kaige kaifang), maupun pergantian generasi kepemimpinan di lingkungan PKC yang berlangsung tanpa gejolak.
Dimensi kebudayaan dalam konteks Konsensus Beijing yang dicetuskan pertama kali oleh Joshua Copper Ramo dalam monogram yang diterbitkan tahun 2004 dalam mencari jawaban alternatif atas Konsensus Washington tentang model pembangunan negara berkembang, menekankan pentingnya keseimbangan harmonis antara individual di dalam berbagai kelompok kepentingan melalui rekonsiliasi dan mempromosikan kerja sama.
Berkarakterisitk China
Faktor hubungan intelektual-penguasa yang dikemas dalam dimensi kebudayaan nasional mewarnai pertumbuhan ekonomi China selama 16 tahun terakhir ini tumbuh lebih dari sembilan persen setiap tahun. Tahun 1989 pada saat terjadinya Peristiwa Tiananmen, PDB China tercatat sekitar 1,7 triliun yuan (sekitar Rp 2.125 triliun) dan pada akhir tahun 2006 PDB China berlipat menjadi 20,9 triliun (Rp 26,125 triliun).
Dalam periode sama, pada tahun 1989 total perdagangan luar negeri China mencapai 415 miliar dollar AS dan pada akhir tahun 2006 jumlahnya terus meningkat drastis menjadi 1,76 triliun dollar AS. Dan modernisasi yang dijalankan oleh China tidak hanya ada di Beijing atau Shanghai, tapi juga kota-kota pedalaman lain, seperti di Suzhou dan Wuxi di Provinsi Jiangsu, Wenzhou di Provinsi Zhejiang, Chengdu dan Chongqing di Provinsi Sichuan, dan kota-kota provinsi lainnya.
Dalam konteks ini kita memahami slogan yang disebut sebagai membangun sosialisme dengan karakteristik China yang tidak hanya mencakup persoalan ideologi dan strategi pembangunan ekonomi di tengah arus globalisasi, tapi juga memiliki dimensi budaya yang kental khas Tionghoa yang tidak dikenal di tempat lain.
Awalnya, kita percaya kalau pilihan platform ideologi dan sistem politik ikut menentukan jalannya pembangunan ekonomi mengikuti asas Konsensus Washington melakukan reformasi pembangunan ekonomi menuju titik demokrasi dengan segala turunannya seperti yang dituangkan oleh tulisan Christianto Wibisono.
Tapi pada sisi lain, kita melihat kalau demokrasi yang diinginkan tidak memiliki pola yang sama dan pada akhirnya menjadi tidak penting sebagai platform pembangunan. Di kawasan Asia, demokrasi menjadi asimetris memiliki ciri instabilitas sosial, korupsi, pengangguran, ketidakpercayaan pada pemerintah, serta meningkatnya problem populasi secara pesat (lihat Kompas 19/5).
Modernisasi kolonial
China pascaperistiwa Tiananmen memang tidak serta-merta memberikan pemahaman yang luas bagi kita untuk melihat bagaimana kombinasi noveau riche elite menengah China di wilayah perkotaan dan kelas miskin di pedesaan dan perkotaan lainnya, tidak menghadirkan sebuah kontraversi yang mempertanyakan arah reformasi yang ditempuh.
Melihat pembangunan ekonomi China dalam rumusan Konsensus Beijing dan Peristiwa Tiananmen yang menghadirkan percepatan modernisasi RRC, setidaknya menghadirkan empat titik permasalahan. Secara politik, pertama, bagaimana caranya China mampu mempercepat pemulihan sistem politik akibat pertikaian di kalangan elitenya yang menjatuhkan Sekjen PKC Zhao Ziyang dan menghadirkan kesadaran baru dengan menempatkan Jiang Zemin sebagai inti?
Kedua, ketika kaum intelektual China mengkritik kekuasaan pemerintah secara tajam yang bermuara pada Peristiwa Tiananmen pada akhir tahun 1980-an, terjadi perubahan pandangan atas kekhawatiran posisi RRC. Kelompok intelektual Tionghoa berubah menjadi sangat nasionalistik sejak permulaan dekade 1990-an dan lebih bisa menerima peranan negara dan partai dalam keseluruhan sistem kehidupan RRC.
Dan yang lebih menarik, ketiga, hubungan kelompok intelektual dan negara dan partai pun ikut berubah. Joseph Fewsmith dalam bukunya China Since Tiananmen: From Deng Xiaoping to Hu Jintao (Cambridge University Press, 2008) menyebutkan hubungan intelektual dan penguasa menjadi semakin rumit karena alamiah kedua pihak ini juga ikut berubah.
Dan keempat, perubahan sosial yang menghasilkan kelas baru masyarakat setelah Peristiwa Tiananmen menyebabkan posisi negara menjadi semakin sulit untuk menanggapi berbagai perubahan karena desakan elite menengah yang mempunyai pandangannya sendiri tentang agenda sosial.
Orang-orang Tionghoa di daratan China menyebutnya dalam ungkapan mozhe shitou guo he, menyeberangi sungai dengan merasakan batu-batunya. Peristiwa Tiananmen yang mengucurkan darah banyak orang ingin kita lihat sebagai proses panjang dan terukur ke luar dari modernisasi kolonial, sebagai sebuah pilihan dan perjuangan di tengah globalisasi yang memarjinalkan kebodohan, kemiskinan, dan keserakahan. ***
Sumber : Kompas, Sabtu, 5 Juni 2010 | 02:51 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar