RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Rabu, 09 Juni 2010

KONFLIK TIMUR TENGAH : Gaza Memang Penjara

Seorang nenek Palestina sedang menanti bantuan makanan dari Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) di Gaza City, Jalur Gaza, Palestina, Minggu (6/6). (AFP/MAHMUD HAMS/KOMPAS)***

KONFLIK TIMUR TENGAH

Gaza Memang Penjara

Benar yang dikatakan oleh John Dugard, seorang pejabat PBB, ”Gaza adalah sebuah penjara dan Israel telah membuang kuncinya. Pada bulan Agustus 2005, Israel menutup permukiman Yahudi di Gaza dan memindahkan para pemukim ke wilayah Israel. Mereka juga menarik mundur pasukannya dari Gaza.” Trias Kuncahyono

John Dugard menambahkan, ”Saat itu, Pemerintah Israel menyatakan, penarikan pemukim dan pasukan itu mengakhiri pendudukan Gaza. Pernyataan itu sama sekali tidak benar!” (Saree Makdisi, Palestine Inside Out, An Averyday Occupation).

Yang dikatakan John Dugard sama dengan yang diceritakan Rami (21), seorang pemuda Gaza, di sebuah kafe di Gaza City. ”Kami seperti hidup di sebuah penjara. Gaza memang penjara. Inilah penjara terbesar di dunia, yang dihuni oleh satu setengah juta orang.” (Jalur Gaza, Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis).

Israel memang mengontrol wilayah udara, laut, dan juga perbatasan, serta semua pintu perlintasan. Ada enam perlintasan yang menghubungkan Gaza dengan dunia luar. Di bagian selatan yang berbatasan dengan Mesir ada Rafah dan Karem Shalom. Empat perlintasan lainnya adalah tiga di bagian timur, yang artinya di perbatasan Gaza dengan Israel, dan satu di utara, perbatasan Gaza dengan Israel. Tiga perlintasan di bagian timur itu adalah Sufa (di perbatasan timur bagian selatan) dan Karni serta Nahel Oze (di perbatasan timur bagian utara), dan satu-satunya di perbatasan utara adalah Erez.

Dengan kata lain, setelah kebijakan disengagement sepihak yang dilakukan Israel pada tahun 2005, Gaza justru menjadi kawasan yang disegel, yang tidak bisa dimasuki.

Tak manusiawi

Israel memblokade Gaza sejak Juni 2006, setelah Gilad Shalit, seorang serdadu Israel, ditangkap Hamas dan kemenangan Hamas dalam pemilu parlemen bulan Januari 2006. Blokade itu diperketat setelah Hamas berkuasa mulai Juni 2007. Sejak saat itu, Israel menghentikan pengiriman semua barang, kecuali makanan dan obat-obatan, ke Gaza. Itu pun diawasi.

Sebenarnya, menurut Jean Shaoul (World Socialist Web Site), blokade Israel tidak akan begitu efektif kalau saja Mesir tidak ambil bagian. Presiden Hosni Mubarak menyetujui untuk mengawasi perbatasan bagian selatan di Rafah. Bahkan, Mesir telah membangun tembok sepanjang 14 kilometer di perbatasan, yang dirancang oleh para insinyur militer AS.

Belum lama ini, Mesir juga menangkap George Galloway, anggota Parlemen Inggris yang mengorganisasi konvoi bantuan kemanusiaan ke Gaza di bawah bendera Viva Palestina, sebuah organisasi karitatif Inggris. Galloway di-”persona non grata” dan dilarang masuk Mesir lagi.

Ketika pecah Perang Gaza (27 Desember 2008-18 Januari 2009), Mesir tidak membuka Rafah kecuali untuk para korban parah. Mesir khawatir bila Rafah dibuka akan kebanjiran pengungsi Palestina. Namun, tragedi ”Gaza Freedom Flotilla”, 31 Mei lalu, yang menewaskan 9 relawan telah mendorong Mubarak membuka perlintasan Rafah sehingga bantuan kemanusiaan bisa masuk ke Gaza lewat Mesir.

Kini tinggal Israel yang harus dipaksa dengan segala cara untuk membuka blokade. Sebab, dari pertimbangan apa pun, blokade yang dilakukan Israel adalah tidak manusiawi. Akibat blokade itu—yang tujuannya adalah untuk melemahkan Hamas dan memaksa agar Hamas melepaskan Gilad Shalit—rakyat biasalah yang menderita.

Blokade telah membuat perekonomian Gaza hancur. Barang-barang yang masuk ke Gaza sangat dibatasi sesuai dengan ketentuan Israel.

PBB memperkirakan, akibat blokade itu, sekitar 60 persen dari 1,5 juta penduduk Gaza kekurangan pangan. Tujuh dari 10 orang hidup dari penghasilan kurang dari satu dollar AS dan enam dari 10 orang tak dapat memperoleh air bersih.

Tidak berlebihan kalau PBB menyebut blokade atas Gaza itu merupakan ”hukuman kolektif” oleh Israel terhadap rakyat Gaza yang tidak semuanya Hamas, yang menjadi sasaran Israel.

Kini hanya ada dua pilihan: membiarkan rakyat Palestina di Gaza semakin sengsara, membiarkan Israel mempertahankan blokade atau memaksa Israel lewat Majelis Umum PBB (bukan DK PBB yang akan mudah diveto AS), mengajak Rusia, China, Uni Eropa, Nonblok, ASEAN, OKI, dan Liga Arab untuk membongkar blokade guna menyelamatkan anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua yang tak berdaya keluar dari penjara. (Kompas)***

Sumber : Kompas, Senin, 7 Juni 2010 | 05:33 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar