Kebrutalan dan Terorisme Israel
Oleh Hamid Awaludin
Dini hari, Senin (31/5), adalah dini hari malapetaka kemanusiaan. Di saat itu, sejumlah orang dengan misi kemanusiaan dari sejumlah bangsa dan latar belakang diserang oleh pasukan Israel tatkala mereka sedang terlelap tidur di atas kapal.
Apa pun alasan Israel, semua tidak ada legitimasi dan pembenarannya. Serangan itu hanya bisa digambarkan dengan kata: kejam dan semena-mena.
Bagaimana tidak, sejumlah anak manusia yang memiliki komitmen kemanusiaan untuk membantu dan meringankan beban bangsa Palestina di jalur Gaza—yang diblokade oleh Israel selama beberapa tahun—tiba-tiba ditembaki Israel. Kejadian ini menambah deretan daftar kekejaman lain yang telah dilakukan sebelumnya.
Kejam karena mereka diserang saat subuh tatkala sedang tidur. Kejam karena mereka diserang dari udara dengan helikopter saat masih di tengah laut. Kejam karena mereka diserang oleh pasukan katak yang muncul dari bawah laut melompat ke atas kapal. Kejam karena mereka adalah penduduk sipil dan yang menyerang adalah pasukan khusus Angkatan Laut dengan peralatan modern yang andal. Malah, kapal-kapal misi kemanusiaan tersebut sudah menaikkan bendera putih, tanda menyerah, tetapi Israel tetap menyerang.
Kejam karena misi mereka adalah kemanusiaan, sementara mereka tidak diperlakukan secara manusiawi. Kejam karena Israel memutus komunikasi sehingga tidak ada yang bisa melacak dan mengetahui apa yang sesungguhnya dan bagaimana nasib anak-anak dunia tersebut.
Kejam karena serangan itu adalah kebijakan Pemerintah Israel. Bukan keteledoran komandan dan pembangkangan orang per orang dalam pasukan tersebut. Ini adalah kekejaman yang didesain oleh negara Israel.
”Pasukan kami diserang,” kata Letkol Avital Leibovitch, juru bicara militer Israel. Sebuah alasan yang bukan hanya tidak masuk akal, tetapi juga mencederai penalaran dan akal sehat manusia. Aktivis dunia tersebut berada dalam posisi bergerak untuk tujuan kemanusiaan, bukan untuk menabuh genderang perang.
Kapal memang bergerak, tetapi mereka sedang tidur. Bagaimana mungkin mereka berada dalam posisi menyerang Israel. Yang sesungguhnya terjadi, pasukan Israel menggempur mereka dari atas dan menyerang dari bawah laut dengan senjata. Yang berhak mengklaim pembelaan diri justru mereka para peserta misi kemanusiaan itu. Bukan sebaliknya.
Alibi
Sebagaimana biasanya, Israel mahir membangun alibi untuk membenarkan tindakannya. Tidak tertutup kemungkinan, Israel sedang menyelundupkan amunisi dan senjata ke dalam kapal-kapal yang kini dikontrolnya itu. Dengan senjata dan amunisi itu, Israel akan mengatakan: ”Nih, kami menemukan senjata dan amunisi yang mereka akan pakai untuk menyerang kami.”
Israel ingin membenarkan tindakannya dengan alasan self-defense (pembelaan diri) yang dalam perspektif hukum internasional memang dapat dibenarkan. Namun, penggunaan kekerasan dengan dalih pembelaan diri haruslah memenuhi sejumlah persyaratan.
Masalah penggunaan kekerasan untuk pembelaan diri, hukum internasional mengacu pada kasus Amerika Serikat lawan Kanada pada tahun 1837. Kasus yang terkenal dengan nama Caroline Case itu menyangkut sebuah kapal milik Amerika Serikat yang dibakar Inggris di sungai Niagara, antara Kanada dan Amerika Serikat.
Saat itu, sejumlah pemberontak mendeklarasikan berdirinya negara Kanada. Amerika Serikat mendukung para pemberontak itu dan mengirimi mereka uang, makanan, dan amunisi, yang diangkut oleh kapal Caroline. Inggris meradang dan terjadilah peristiwa pembakaran tersebut. Di situ untuk pertama kalinya muncul ajaran yang membenarkan necessary of anticipatory self-defense. Sebuah dogma hukum yang membenarkan penggunaan kekerasan untuk mengantisipasi adanya serangan lawan.
Dalam penyelesaian kasus ini, disebutkan bahwa pembelaan diri dengan kekerasan hanya boleh dilakukan bila ancaman tersebut bersifat mendadak. Pihak yang terancam harus segera mengambil langkah kekerasan untuk membela diri.
Kriteria berikutnya adalah harus ada ancaman kekerasan nyata yang keterlaluan (armed attack occurred yang sudah overwhelmed). Bila ini terpenuhi, kriteria lain muncul lagi, yakni tidak ada pilihan lain selain melakukan kekerasan (leaving no choice of means). Persyaratan terakhir untuk menggunakan kekerasan dengan alasan membela diri adalah bila pintu bernegosiasi tidak ada (no moment for deliberation).
Maka, dalih Israel menyerang para aktivis kemanusiaan tersebut sama sekali tidak memenuhi persyaratan yuridis. Para aktivis tersebut tidak menunjukkan gelagat penyerangan yang membahayakan Israel. Mereka bekerja dalam wilayah niat untuk membantu secara kemanusiaan, sekelompok orang yang dianiaya oleh Israel. Ancaman dan bahayanya di mana? Di sini, lagi-lagi Israel memang menunjukkan tindakan semena-menanya.
Terorisme negara
Amat mengherankan, penilaian kita atas serangan Israel kali ini hanya fokus pada aspek kebrutalan. Dunia seolah enggan melabel Israel sebagai teroris, padahal yang dilakukan adalah state terrorism karena tindakan Israel tersebut merupakan kebijakan negara.
Terrorism adalah kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan dengan mengorbankan manusia atau barang, yang menimbulkan rasa takut dan kengerian (Richard English, Terrorism: How To Respond, 2003).
Amerika Serikat dan sejumlah negara besar selalu mengecam kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok tertentu, tetapi state terrorism seperti yang dilakukan oleh Israel ini seolah tidak dijadikan agenda.
Belakangan ini, dunia juga mengecam praktik bajak laut yang terjadi di Somalia oleh sekelompok orang. Namun, kebijakan bajak laut yang dilakukan oleh negara Israel terhadap aktivis kemanusiaan ini luput dari pengamatan dunia.
Dengan serangan kali ini— yang mengorbankan relawan kemanusiaan dari sejumlah bangsa dengan latar belakang yang majemuk—Israel hanya memiliki sebuah kategori: tidak berperikemanusiaan, wajib dikecam dan diberi sanksi. Pasalnya, yang dikorbankan adalah warga tak berdosa dari sejumlah negara dan bangsa, maka inilah saatnya dunia secara penuh memberikan sanksi.
Sayang, gerakan global untuk kecaman ini terkesan lamban. Dunia seolah masih berkalkulasi politik tentang untung ruginya mengecam kelakuan Israel. Banyak pemimpin dunia seakan hanya bermain selancar dengan papan semantik: mencari terminologi yang tepat agar di satu sisi bisa memuaskan rakyat masing- masing dan di sisi lain tidak bertabrakan dengan kekuatan lain yang mendikte dunia, yang punya kepentingan untuk tidak memojokkan Israel.***
Hamid Awaludin,
Duta Besar RI untuk Rusia
Sumber : Kompas, Sabtu, 5 Juni 2010 | 03:06 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar