RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Rabu, 09 Juni 2010

TURKI-ISRAEL : Perseteruan Dua Sahabat Lama

TURKI-ISRAEL

Perseteruan Dua Sahabat Lama

Turki dan Israel adalah kawan lama. Hubungan perkawanan mereka sudah berlangsung lama, 61 tahun! Berarti, hanya setahun setelah negara Yahudi itu, Israel, menyatakan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1948.

Akan tetapi, sebenarnya, hubungan ”Judeo-Turkic” sudah berlangsung sejak tahun 1492, ketika lebih dari 150.000 warga Yahudi Spanyol (Yahudi Sephardik) terpaksa harus meninggalkan Spanyol setelah keluar kebijakan inkuisisi (Spanish Inquisition) Raja Ferdinand II dari Aragon dan Isabella dari Castile pada tahun 1478.

Orang-orang Yahudi yang tidak mau pindah agama dipaksa keluar Spanyol. Banyak di antara mereka yang pindah ke Turki yang saat itu di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah). Para Yahudi Sephardik ini kebanyakan tinggal di Konstantinopel dan Salonika yang kemudian dikenal sebagai ”Bunda Israel” karena banyaknya orang Yahudi yang tinggal di sana.

Sejarah juga mencatat, Turki menjadi tempat transit Yahudi Eropa yang melarikan diri dari tangkapan Nazi pada tahun 1930-an dan 1940-an. Jalan panjang telah mereka lalui sebagai sekutu tradisional.

Empat periode

Secara garis besar, mengutip pendapat Slyvia Tiryaki dan Can Yirik dalam artikelnya di Todays Zaman (4/6), hubungan kedua negara dapat dibagi menjadi empat periode.

Periode pertama, 1949-1960. Hubungan mereka diwarnai kepentingan Perang Dingin yang muncul setelah PD II.

Periode kedua, 1960-1990. Hubungan mereka didominasi dengan meningkatnya ketegangan politik dan stagnasi di bidang militer, ekonomi, dan budaya. Kurangnya dukungan dari Barat, terutama dari AS, dalam menghadapi masalah Yunani dan kesulitan ekonomi akibat krisis minyak (1973) menjadi penyebab bergesernya politik luar negeri Turki ke Nonblok.

Periode ketiga, awal 1990-an hingga 2002, yang disebut sebagai ”hubungan penuh kemesraan”. Munculnya persoalan dengan negara-negara Arab, Turki terisolasi dari pergaulan di kawasan. Ini mendorong Turki ”kembali” akrab dengan Israel, bahkan berkembang menjadi kemitraan strategis.

Periode keempat, mulai tahun 2002 hubungan mereka dipengaruhi oleh tidak kunjung berakhirnya konflik Israel-Palestina. Berkuasanya Adalet ve Kalkinma Partisi (Partai Pembangunan dan Keadilan/PKP), sejak November 2002, mengubah arah kebijakan luar negeri Turki, lebih ke Palestina.

Meski demikian, sejak PKP berkuasa, tercatat sekitar 50 perjalanan tingkat menteri antara Turki dan Israel. PM Turki Recep Tayyip Erdogan tahun 2005 mengunjungi Israel dan berjabat tangan dengan PM Ariel Sharon. Kunjungan tingkat presiden dilakukan beberapa kali.

Selama periode ini disepakati serangkaian perjanjian politik, ekonomi, budaya, dan militer. Israel adalah pemasok utama persenjataan militer Turki, kerja sama intelijen, dan latihan militer.

Akan tetapi, Tragedi Mavi Marmara, 31 Mei lalu, yang menewaskan sembilan warga negara Turki telah mengubah semuanya. Turki menarik duta besarnya dan menuntut Israel minta maaf dan membongkar blokade atas Gaza.

Turki marah besar atas kebrutalan tentara Israel yang menembaki para relawan kemanusiaan yang akan masuk Gaza. Dan, merasa dikhianati Israel. Sebaliknya, Israel juga kecewa pada Turki mengapa mendukung Foundation for Human Rights and Freedoms and Humanitarian Relief (IHH singkatan dalam bahasa Turki), yang oleh Israel dicurigai membawa misi politik, bukan murni misi kemanusiaan. Itu klaim Israel.

Akankah persahabatan lama itu ambruk? Bisa jadi ya. Sebab, Israel bertindak kriminal, melanggar nilai-nilai kemanusiaan, melanggar hukum laut, dan membiarkan rakyat Gaza kelaparan.

Tidak aneh kalau dalam jumpa pers di Istanbul, Senin lalu, bersama Presiden Suriah Bashar al-Assad, Erdogan mengatakan, ”Selama masih ada pertumpahan darah dan cucuran air mata di Gaza, kami tidak dapat diam saja.” (Trias Kuncahyono/Kompas)***

Sumber : Kompas, Rabu, 9 Juni 2010 | 05:31 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar