RAIH KEMENANGAN KLIK DI SINI

Jumat, 25 Juni 2010

Vuvuzela Jebol Gendang Telinga

LAGAK RAGAM

Vuvuzela Jebol Gendang Telinga

Tiap ada tayangan Piala Dunia, orang-orang sudah tahu bahwa pertandingan itu sudah main atau sudah selesai. Sebab, sejak awal dan akhir nomor laganya, pesawat televisi sudah berbunyi dengung bising sekali, mirip-mirip bunyi mem-prepet sebarisan gajah liar sedang marah, atau suara dengung lebah berbunyi lengkingan preet preeet preeet.…

Bunyi bising itu bukan kesalahan teknis pesawat TV, melainkan gara-gara puluhan ribu penonton meniup tabung plastik yang bernama vuvuzela, terompet macam corong warna-warni berukuran sekitaran satu meteran. Vuvuzela, yang katanya khas Afrika Selatan, bukan hanya menjadi masalah. Sejak berlangsung kejuaraan bola di Afsel sekitar tahun 2000-an, suporter Afsel sudah berciri khas dengan membunyikan terompet tradisional ini. Bahkan, sejak tahun 2001 sudah ada perusahaan Masincedane Sport khusus untuk produksi massal alat bunyi ini.

Vuvuzela, sebagai alat musik tiup, prinsipnya mengeluarkan suara getar karena impitan bibir atas dan bibir bawah, lalu bergeletar karena tiupan udara dengan bunyi getar yang keras dan bernada polos. Alat tiup ini katanya tradisional karena bagi masyarakat pedalaman dan peternak sapi angon, vuvuzela ini dilengkingkan sebagai tanda keberadaannya, serta bunyi nyaring mirip suara ”terompet” kawanan gajah liar.

Bunyi bising itu juga alat komunikasi dengan rekan pengembala lainnya di savana luas, mengandung bunyi dengan pesan sapaan, juga bunyi darurat dan panggilan tanda bahaya. Calling sound atau bunyi panggilan macam ini pernah menjadi obyek studi pakar etnologi Afrika Selatan karena suara vuvuzela yang tanpa irama itu sesungguhnya sangkakala instrumen komunikasi sesama tribal di Afsel.

Setiap sub-suku bangsa atau tribe memiliki ciri bunyi panggilannya, di samping bunyi bising standar untuk permintaan bantuan, tanda bahaya atau alarm, serta bunyi pengusir hewan predator singa buas. Sangkakala ini juga menjadi alat bunyi ritual serta bunyi panggilan untuk suatu acara adat. Jadi, vuvuzela itu bukan alat bunyi musik tiup orkestra, apalagi instrumen musik pop.

Sayangnya, benda bunyi ini suaranya memang super bising kalau dibunyikan ramai-ramai. Nada tunggal yang dibunyikan tanpa notasi memang lama-kelamaan akan mengganggu pendengaran orang normal. Bunyi vuvuzela kalau diukur intensitas suaranya dengan ukuran decibel (dB) serta mengukur frekuensi atau pitch dengan hertz (Hz), bunyi terompet plastik dengan ukuran faktor kekerasan, pitch serta lamanya paparan, sudah terhitung kategori bising dan membahayakan.

Badan Pengelola Keamanan dan Kesehatan Kerja (Occupational Safety and Health Administration-OSHA) sudah mematok pekerja atau perusahaan kalau ada paparan kebisingan 85 dB selama delapan jam kerja sehari, paparan bising itu mengancam gendang telinga. Orang-orang itu harus pakai penutup telinga (earmuff) yang model tutup penuh atau penutup telinga model sumpel (earplug).

Vuvuzela yang mendengung dan mem-prepeet terus macam koor gajah-gajah ngamuk, terus terang tidak enak didengar dan kebisingannya mengganggu sekali. Apalagi terbukti bunyi sangkakala itu tingkat kebisingannya sampai 127 dB. Lebih keras dari airhorn, tambur, dan peluit. Vuvuzela itu lebih keras dari sirene ambulans (120 dB) dan gergaji listrik (100 dB). Malah hampir sebising suara pesawat jet tempur saat take off yang 140 dB.

Jagonya musik

Untung panitia lokal dan FIFA tidak libatkan OSHA karena nanti ada aturan baru lagi, semua pemain di arena harus membekap telinganya. Atau memang sudah ada maksud tersembunyi supaya setiap penonton membeli vuvuzela buat jadi suporter fanatik, biar lawan keder dan kupingnya rada pekak. Sementara itu, sempat ada wacana melarang vuvuzela, tetapi dibantah dan dianggap melanggar hak asasi manusia Afsel yang tuan rumah. Tiup terompet kok dilarang, katanya.

Kalau dipelajari dalam-dalam, sebetulnya orang ”hitam” Afsel itu amatlah musikal. Nelson Mandela sebagai Bapak Afsel pernah berkata: ”Juru selamat bangsa kami itu musik! Hanya musik yang menghibur rasa luka dan menanamkan rasa cinta negeri ini, selama menghadapi dan melawan dari kepahitan hidup dan penindasan apartheid kejam. Selama itu kami menyanyikan lagu kemerdekaan, senandungkan kidung keadilan, menyuarakan harapan hidup dengan irama musik yang dekat kepada keindahan alam dan kekayaan tanah air. Musik, itulah napas dan roh Afrika Selatan.”

Pasang telinga baik-baik, tidak ada udara yang bebas dari dengungan suara bising vuvuzela yang mirip gabungan bunyi bising ”terompet” gajah dan dengung lebah raksasa. Bunyi bising itu merasuki denyut arena sepak bola dunia. Tanpa suara bising itu, memang tidak terasa suasana Afsel. Tetapi, kalau terlalu bising, vuvuzela bisa menjebol gendang telinga, iya enggak! (RUDY BADIL, Wartawan Senir/Kompas)***

Sumber : Kompas, Jumat, 25 Juni 2010 | 03:49 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar